Danau Kaolin, Pesona Bekas Tambang di Bangka Tengah
Danau Kaolin, lahan bekas tambang di Kabupaten Bangka Tengah, dikelola menjadi tempat wisata oleh badan usaha milik desa. Hasilnya, pendapatan dari sektor wisata tersebut mencapai puluhan juta rupiah per bulan.
Lahan bekas tambang timah di Desa Nibung, Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung, dikelola menjadi tempat wisata oleh badan usaha milik desa. Hasilnya, pendapatan dari sektor wisata tersebut kini mencapai puluhan juta rupiah per bulan.
Selasa (19/7/2022), suasana tempat wisata Danau Kaolin tampak sepi. Hanya ada dua kelompok yang beraktivitas. Satu kelompok seperti membuat video klip kegiatan sekolah. Namun, di akhir pekan atau hari libur lainnya, tempat itu dipadati wisatawan. Pemandangan hamparan air dan lingkungan sekitarnya menjadi oase penyejuk bagi jiwa-jiwa penat juga menjadi lokasi tepat bagi pemburu foto-foto apik.
Danau Kaolin adalah sebutan umum bagi kulong/kolong atau cekungan bekas tambang yang kemudian menjadi penampungan air dengan warna biru-kehijauan terang di Desa Nibung. Menurut warga setempat, lahan danau itu semula dikelola sebuah perusahaan tambang timah. Setelah perusahaan berhenti beroperasi, lahan dikembalikan ke pemerintah dan oleh desa diminta untuk dikelola desa.
Keindahan Danau Kaolin sudah dikenal wisatawan setempat dan luar daerah. Jumlah pengunjungnya pada akhir pekan bisa mencapai 1.000-an orang per hari. Mereka akan menikmati suasana danau dengan warna tosca dan kehijauan nan indah. Pengelola tempat wisata juga menyediakan perahu wisata sehingga pengunjung bisa berperahu di danau tersebut.
Baca juga : Menambang Pelajaran dari Danau Kaolin
Warna danau tersebut berbeda karena ada danau yang bisa ditumbuhi ganggang dan dijadikan ternak ikan nila (warna kehijauan). Adapun cekungan berwarna biru/tosca tidak bisa dihuni ikan.
”Sejak tahun 2016 lahan ini sudah jadi milik desa. Desa mengajukan permohonan untuk memperoleh lahan seluas 7,5 hektar tersebut. Setelah melalui proses panjang, akhirnya lahan ini menjadi milik desa,” kata Juni, seorang perangkat Desa Nibung sekaligus pengelola tempat wisata itu.
Kini, tempat wisata itu dikelola oleh BUMDes Nibung Jaya Abadi. Secara bertahap, Juni mengakui bahwa desa berusaha mengelola tempat wisata itu dengan baik, termasuk menjaga lingkungan sekitar.
Awalnya pengunjung tidak dikenai tarif retribusi per orang, tetapi per kendaraan. Oleh karena dengan sistem tersebut pemasukan ke desa dinilai tidak maksimal, akhirnya desa mengenakan retribusi masuk Rp 2.000 per orang. Hal itu tertuang dalam Peraturan Desa Nomor 5 Tahun 2019.
”Hasilnya kini lumayan. Dalam sebulan kami bisa mendapatkan Rp 20 juta. Uang itu dibagi antara BUMDes dan desa,” kata Juni.
Baca juga : Belajar Sejarah ke Muntok
Ketua Karang Taruna Desa Nibung, Haidir (21), mengatakan bahwa keberadaan tempat wisata dikelola desa dinilainya sangat bermanfaat. Anak-anak muda sepertinya bisa turut mengelolanya sekaligus belajar berusaha.
”Saya sebagai anggota BUMDes bisa ikut belajar mengelola tempat wisata di sela-sela kuliah saya,” katanya.
Tidak lagi jadi penonton
Haidir menambahkan, dengan dikelolanya lokasi wisata tersebut oleh desa, desa akhirnya turut merasakan manfaatnya. Sebelumnya, desa hanya jadi penonton. Sebab, hasil timah pun menjadi milik perusahaan swasta.
Sebagaimana diketahui, Bangka Belitung dikenal sebagai produsen timah. Menurut Kajian Fiskal Regional Bangka Belitung 2019 yang dibuat oleh Kementerian Keuangan, tampak bahwa struktur perekonomian Bangka Belitung, menurut lapangan usaha, didominasi lima lapangan usaha utama.
Kelimanya, yaitu industri pengolahan Rp 14,85 triliun (19,59 persen); pertanian, kehutanan, dan perikanan Rp 13,60 triliun (17,94 persen); perdagangan besar dan eceran, seperti reparasi mobil dan sepeda motor Rp 11,97 triliun (15,79 persen); konstruksi Rp 7,86 triliun (10,37 persen); serta pertambangan dan penggalian Rp 7,2 triliun (9,49 persen).
Baca juga : Pariwisata Belitung Mencari Jati Diri
Di sektor pertambangan, Bangka Belitung disebut memiliki potensi tanah yang mengandung mineral bijih timah dan bahan galian lain, seperti pasir kuarsa, pasir bangunan, kaolin, batu gunung, tanah liat, dan granit. Provinsi ini sudah dikenal sebagai penghasil timah putih (stanum) yang di pasar internasional dikenal dengan merek dagang Bangka Tin. Penambangannya sebagian besar masih diusahakan oleh PT Timah, Tbk.
Namun, sejak diberlakukan moratorium ekspor logam timah pada akhir 2011, andil industri logam dasar terus berkurang dari tahun ke tahun. Hingga pada 2019 kontribusinya hanya 9 persen. Penurunan kontribusi ini sejalan dengan penurunan produksi logam timah yang ditandai dengan pertumbuhan negatif dari tahun 2012 hingga 2015.
Setelah dikelola menjadi tempat wisata, pendapatan pengelolaan bekas tambang Danau Kaolin, kata Haidir, 60 persennya menjadi pemasukan desa. Sisanya kemudian akan menjadi hak BUMDes untuk membayar pegawai dan membiayai operasional BUMDes.
”Semoga ke depan tempat wisata ini bisa dikelola lebih baik lagi sehingga pendapatan desa terus meningkat. Apalagi, setelah pandemi, mulai ada harapan sektor wisata akan kembali bagus,” katanya.
Kala sektor tambang makin meredup dengan menyisakan lahan yang menganga sia-sia, kreativitas dan usaha keras diperlukan untuk membalikkan situasi. Mengelola bebas tambang menjadi seperti Danau Kaolin tidak hanya berguna bagi warga, tetapi juga diharapkan turut menjamin kelestarian lingkungan setempat.
Baca juga : Taman Bumi Global Belitong untuk Kesejahteraan Warga Lokal