Perlu dipikirkan dahulu apakah pariwisata Belitung akan diposisikan sebagai pariwisata kreatif berbasis pengalaman turis, pariwisata olahraga, pariwisata budaya, atau ekowisata?
Oleh
Mohammad Hamsal
·5 menit baca
Pascapandemi pariwisata Belitung mulai menggeliat. Negeri Laskar Pelangi ini sejatinya butuh jati diri baru yang tak lekang oleh waktu dan dinamika perubahan lingkungan. Tidak relevan rasanya pengembangan pariwisata Belitung masih dikaitkan dengan kesuksesan film Laskar Pelangi.
Belitung yang digadang-gadang akan menjadi “Bali Baru” bersama sembilan destinasi prioritas lainnya menawarkan Tanjung Kelayang, Tanjung Tinggi, Pulau Lengkuas, Bukit Berahu, Danau Kaolin, Pulau Siadong, Kopi Belitung, dan sebagainya. Belitung memiliki tiga ikon yang dapat menjadi modal utama sebagai keunikan tambahan, yaitu kawasan pantai Tanjung Kelayang ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), taman bumi, dan ekowisata yang ramah lingkungan.
Namun, Belitung dan pulau tetangganya Bangka seolah-olah masih dibelenggu oleh daya tarik penambangan timah yang sampai kini masih merasuki bukan saja aspek pertumbuhan ekonomi, kehidupan sosial, dan perilaku budaya, namun tercermin hingga pola pikir dan perilaku masyarakat di provinsi kepulauan ini. Seolah-olah sektor pariwisata tidak menarik untuk dilirik, apalagi sebagai sandaran hidup dan mata pencaharian penduduk.
Berbeda dengan pengembangan pariwisata di daerah lain, Belitung mengawali kebangkitan pariwisatanya berdasarkan film Laskar Pelangi. Inisiatif pembangunan pariwisata melalui pendekatan ini tidak langgeng di masa kini. Pendekatan ini tidak menjamin keberlanjutan pariwisata Belitung, karena perubahan tuntutan zaman dan generasi. Belitung yang diidentikkan dengan nostalgia Laskar Pelangi mulai kehilangan jati diri dan daya tariknya.
Berdasarkan kurun waktu, pariwisata Belitung dapat dibagi menjadi tiga periode. Masa lalu dicirikan dengan glory of the past. Selain kejayaan timah sejak zaman kolonial dan belakangan film Laskar Pelangi, Belitung lengkap dianugerahi Sang Pencipta dengan adagium klasik dalam pariwisata, yaitu sun, sea, dan sand. Belitung sebagai destinasi wisata memiliki pulau, pantai, dan pasir putih dengan hamparan batu-batu granit berwarna hitam keputihan yang menambah pesona.
Namun apakah keunikan ini bisa menjadi tema dan selanjutnya jati diri Belitung dalam pengembangan pariwisatanya?
Ibarat “raksasa tidur” pariwisata Belitung sebenarnya memiliki potensi besar untuk berkembang, tetapi terlelap karena hegemoni timah. Karena berbagai kendala klasik seperti terbatasnya anggaran, pariwisata Belitung dikembangkan secara sporadis dan tidak terintegrasi. Karena berjalan sendiri-sendiri, tidak ada keberlanjutan antara program wisata yang satu dengan yang lainnya.
Boleh dikatakan pariwisata Belitung dikembangkan melalui pola mass tourism yang dicirikan dengan minimnya kreasi dan inovasi. Padahal pendekatan ini mulai ditinggalkan di negara-negara yang berbasis pulau dan pantai, karena dampak negatif terhadap lingkungan dan berdampak kecil terhadap pertumbuhan ekonomi.
Di masa kini, pariwisata Belitung mulai bangkit menghadapi era normal baru. Prahara pandemi perlahan terasa hilang dan kunjungan wisatawan mulai meningkat. Akan tetapi sandaran ekonomi dan kehidupan, utamanya tetap berasal dari sektor pertambangan timah, bukan pariwisata bahari. Seolah-olah hal ini mendukung tirani “atau” bukan “dan”, karena ada sektor yang diprioritaskan. Padahal negara yang kaya sumber daya minyak bumi seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab telah mengembangkan sektor pertambangan migas dan pariwisata secara berdampingan.
Saat ini event-event pariwisata di Belitung tetap dijalankan secara lokal dan sporadis serta banyak dimotori oleh pelaku pariwisata sebagai inisiator. Bulan September nanti Belitung pun akan menjadi tuan rumah perhelatan G20 dengan tagline “Belitong for G20”. Tentu saja perhelatan ini tidak dapat dijadikan tema apalagi jati diri pariwisata Belitung di kemudian hari karena bersifat temporer dan tidak berkelanjutan.
Di masa depan pariwisata Belitung membutuhkan identitas yang baru dan kekinian diikuti dengan rebranding yang sesuai dengan kebutuhan saat nanti. Pengembangan pariwisata Belitung harus beralih kepada creative tourism (pariwisata kreatif) memuat tema, alur cerita, kemasan, dan tentu saja jati diri baru.
Harapan wisatawan, pariwisata Belitung ke depan sarat dengan konten kreatif dan inovatif berlandaskan experiencing (pengalaman) bukan sekadar seeing (pemandangan). Hal ini menjawab sekaligus dua isu klasik dalam pariwisata, yaitu peningkatan jumlah wisatawan yang berkunjung dan peningkatan lama berkunjung di destinasi wisata.
Belitung dapat menyontoh Thailand, yang sudah lama beralih kepada pariwisata kreatif yang memungkinkan turis kembali ke negeranya dengan pengalaman memasak tom yam, Thai Massage, Muay Thai dan sebagainya.
Oleh karena itu, pengembangan pariwisata Belitung beralih dari pariwisata berwujud menuju pariwisata nirwujud yang relevan dalam jangka panjang. Komponen pariwisata massal berdasarkan warisan, museum, monumen, pemandangan alam, pulau serta makanan dan minuman lokal perlu diperkaya pula dengan citra, jati diri, gaya hidup, atmosfir, narasi, kreativitas, dan peran media.
Strategi untuk mendukung pengalihan dan penguatan ini memerlukan kesadaran para pemangku kepentingan pariwisata Belitung meningkatkan kemampuan berjejaring dan inovasi yang didukung ko-kreasi. Kemampuan ini akhirnya bermuara pada peningkatan digitalisasi, logistik, dan sumber daya manusia dalam balutan regulasi yang bersahabat dan pro pariwisata kreatif serta kolaboratif.
Digitalisasi bisnis pariwisata sangat dibutuhkan bukan hanya untuk mempercepat proses pemasaran, reservasi, visitasi, dan finalisasi kunjungan wisatawan, namun akan mereduksi biaya operasional bagi pelaku pariwisata yang terlibat di Belitung. Karena lokasi yang unik sebagai pulau terpisah, pembenahan manajemen rantai pasok dan logistik sangat dibutuhkan antar serta intra pulau Belitung. Hal ini dapat memperlancar arus barang dan pasokan bahan makanan, buah-buahan, serta perikanan yang vital bagi layanan pelanggan yang ditawarkan oleh pelaku pariwisata, terutama hotel, resor, dan restoran.
Di sisi lain, kelemahan sumber daya manusia dari sisi kuantitas dan kualitas perlu segera dicarikan pemecahannya. Tenaga pelaksana di hotel-hotel masih berasal dari luar pulau dan keterbatasan sekolah kejuruan yang ada.
Perlu dipikirkan dahulu apakah pariwisata Belitung akan diposisikan sebagai pariwisata kreatif berbasis pengalaman turis, pariwisata olahraga, pariwisata budaya, atau ekowisata? Dari sini kemudian jati diri bagi pariwisata Belitung ke depan dapat ditentukan.
Mohammad Hamsal adalah dosen Program Doktor Manajemen BINUS Business School dan anggota Indonesia Strategic Management Society.