Gajah Jeni Mati setelah Dipasangi Kalung GPS oleh BKSDA Jambi
Gajah betina bernama Jeni mati setelah tiga hari dipasangi kalung GPS oleh tim dokter BKSDA Jambi. Penyebab pasti kematian satwa dilindungi itu masih didalami.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Seekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) mati setelah tiga hari dipasangi alat sistem pemosisi global atau GPS oleh tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi. Hingga Senin (18/7/2022), BKSDA Jambi masih menunggu hasil uji sampel organ untuk mengetahui penyebab kematian gajah liar tersebut.
Gajah betina bernama Jeni itu sebelumnya dipasangi alat GPS collar atau kalung GPS pada 29 Juni 2022 di ekosistem Hutan Harapan, Jambi. Pemasangan kalung GPS itu bertujuan untuk memantau pergerakan gajah tersebut.
Namun, dua hari setelah pemasangan itu, tim mendapati pergerakan gajah tampak statis. ”Gajah itu hanya bergerak sekitar 50 meter dari posisinya terdahulu,” ujar Manajer Perlindungan Hutan Harapan TP Damanik.
Karena curiga mendapati pergerakan yang statis itu, tim dokter BKSDA Jambi berupaya mendatangi kembali gajah tersebut. Saat itu, kondisinya sudah tampak lemah. Tim dokter berupaya memberi obat-obatan kepada gajah itu.
Akan tetapi, gajah Jeni akhirnya mati pada 2 Juli 2022. Setelah mengambil sejumlah sampel organ tubuh gajah untuk diperiksa di laboratorium, tim lalu mengubur satwa tersebut.
Menurut Manik, sebelum memasangkan kalung GPS, tim dokter BKSDA Jambi menembakkan bius ke gajah Jeni. Pembiusan dilakukan untuk mempermudah pemasangan alat tersebut. Sebelum pembiusan dilakukan, tim memang tidak mengecek terlebih dahulu kondisi kesehatan gajah karena Jeni merupakan gajah liar.
Setelah pembiusan dilakukan dan gajah berada dalam kondisi setengah sadar, tim memasang kalung GPS pada leher gajah. Setelah itu, tim menyuntikkan antidot untuk menghilangkan efek bius. Tak lama setelah diinjeksi antidot, gajah Jeni pun kembali bangun dan menjelajah hutan.
Kepala Subbagian Tata Usaha BKSDA Jambi Teguh Sriyanto membenarkan gajah Jeni mati setelah dipasangi kalung GPS. Dia menyatakan, kematian gajah tersebut bukan karena konflik dengan manusia.
Meski demikian, Teguh mengatakan belum dapat memastikan penyebab kematian gajah Jeni karena masih menunggu hasil uji laboratorium. Kemungkinan kaitan pemasangan kalung GPS dan kematian gajah Jeni juga masih perlu didalami. ”Hasil uji laboratoriumnya belum keluar,” katanya.
Kematian gajah di ekosistem hutan itu merupakan kasus kedua. Tahun 2019, gajah betina bernama Karina yang berusia 45 tahun mati setelah menjalani proses translokasi oleh tim BKSDA Jambi. Proses translokasi yang memakan waktu 10 jam itu diperkirakan menyebabkan gajah stres dan akhirnya mati.
Kala itu, Kepala BKSDA Jambi Rahmad Saleh mengatakan, timnya memang telah berhari-hari mendekati Karina di pinggir kawasan hutan. Ia menduga, pada hari kelima saat Karina berhasil didekati dan dibius oleh tim, kondisi fisiknya sudah lemah.
Pemasangan GPS dan translokasi merupakan upaya mitigasi terhadap satwa liar dilindungi. Hutan Harapan di Jambi dinilai paling layak untuk membentuk habitat baru gajah karena tutupan hutannya yang cukup baik.
Gajah itu hanya bergerak sekitar 50 meter dari posisinya terdahulu. (TP Damanik)
Tahun 2017, seekor gajah jantan bernama Haris juga telah menjalani translokasi di ekosistem hutan yang sama. Translokasi berlanjut pada gajah jantan lainnya bernama El Rahmad pada akhir 2018. Kedatangan dua gajah jantan dipandang perlu karena saat itu wilayah tersebut hanya dihuni gajah-gajah betina.
Kedatangan gajah-gajah tamu berjenis kelamin jantan diharapkan menambah populasi kantong spesies sehingga perkawinan sekerabat (in-breeding) dapat dihindari. Pembauran dalam ragam unsur genetika memberi peluang terciptanya regenerasi yang lebih baik.