Harga Komoditas di Palembang Berangsur Turun walau Masih Memberatkan
Setelah Idul Adha, harga sejumlah komoditas di Palembang mulai turun walau dinilai masih memberatkan. Kondisi ini membuat omzet pedagang turun hingga 50 persen karena berkurangnya daya beli masyarakat.
PALEMBANG, KOMPAS
—
Setelah Idul Adha, harga sejumlah komoditas di Palembang mulai turun walau dinilai masih memberatkan. Kondisi ini membuat omzet pedagang turun hingga 50 persen karena berkurangnya daya beli masyarakat.
Di dua pasar di Palembang, Sumatera Selatan, yakni Pasar KM 5 dan Pasar Lemabang, harga cabai merah dan cabai rawit berkisar Rp 110.000 sampai Rp 120.000 per kg.
Angka tersebut lebih rendah ketimbang dua hari sebelum Idul Adha yang sempat menyentuh Rp 150.000 per kg. ”Harga cabai baru turun hari ini,” ujar Dodi (38), pedagang sayur di Pasar KM 5 Palembang, Rabu (13/7/2022).
Selain cabai merah dan cabai rawit, harga bawang merah juga turun dari yang semula Rp 80.000 per kg menjadi Rp 70.000 per kg. Walau turun, ujar Dodi, banyak pelanggan yang menganggap harga komoditas tersebut masih mahal dibandingkan dengan harga normal.
Pada Februari 2022, harga cabai rawit dan cabai merah hanya Rp 40.000 per, begitu pun bawang merah yang hanya Rp 25.000 per kg. Hal yang paling memberatkan adalah tingginya harga terbilang konstan sejak dua bulan lalu.
Karena tingginya harga komoditas tersebut, lanjut Dodi, omzetnya menurun hingga 50 persen. ”Karena harga komoditas naik, banyak pelanggan yang mengurangi belanjaan,” ucap Dodi yang sudah berjualan di pasar itu sejak 12 tahun lalu.
Sementara untuk pelanggan yang membuka usaha biasanya mereka mencampur rawit burung untuk menambah pedas makanan. ”Cabai rawit burung diincar karena harganya hanya Rp 60.000 per kg,” ujarnya.
Kondisi ini membuat Dodi mengurangi pasokan sayur yang ia jual hingga 30 persen. Tujuannya agar tidak merugi karena banyak yang bersisa. ”Untuk sayur bisa bertahan paling lama tiga hari. Jika banyak yang busuk, kami merugi,” ucap Dodi.
Terlalu lama
Pedagang sayur di Pasar Lemabang, Elvayeni, mengutarakan, kenaikan harga ini merupakan yang terlama ketimbang tahun-tahun sebelumnya. ”Kalau tahun lalu, kenaikan harga hanya terjadi paling lama satu bulan. Untuk saat ini, kenaikan harga sudah hampir tiga bulan lamanya,” ujar Dodi.
Baca juga: Perencanaan Produksi Pangan Perlu Data Akurat
Menurut dia, kenaikan harga ini disebabkan oleh banyak faktor, seperti gagal panen di sentra produksi serta harga pupuk dan herbisida yang naik. ”Pasokan turun akhirnya harga pun naik,” ujarnya. Kondisi ini tentu sangat memberatkan, apalagi beberapa makanan khas Palembang membutuhkan cabai dan bawang merah.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru berpendapat, kenaikan harga ini menjadi momentum bagi warga Sumsel untuk mulai menanam komoditas yang rentan mengalami kenaikan, seperti cabai merah dan cabai rawit. ”Mulai sekarang pola pikir warga harus diubah yang sebelumnya konsumtif sekarang menjadi produktif,” ujarnya.
Karena itu, sejak satu tahun lalu, pemerintah sudah mencanangkan Gerakan Sumsel Mandiri Pangan (GSMP) yang mengajak semua pihak berbasis komunitas untuk menanam tanaman hortikultura.
Di sisi lain, Herman berharap instansi terkait mulai menciptakan sentra produksi hortikultura di sejumlah daerah agar ketergantungan Sumsel pada komoditas tertentu dapat dikurangi. ”Misalnya, bawang merah, kenapa kita tidak tanam saja di Sumsel. Kalau perlu bawa saja orang Brebes-nya ke sini untuk mengajari kita menanam bawang merah,” jelasnya.
Selain itu, ujar Herman, perlu ada keseragaman komoditas di suatu wilayah agar pemerintah dapat memberikan bantuan guna menyokong produksi, misalnya dengan tempat pendingin. ”Sekarang dipetakan saja daerah mana yang bisa ditanami komoditas yang potensial,” ucapnya.
Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Provinsi Sumatera Selatan Bambang Pramono menuturkan, sejak dua tahun lalu sebenarnya Sumsel sudah memulai untuk menanam sejumlah komoditas strategis di beberapa daerah. Misalnya, bawang merah yang dinilai cukup cocok dengan kondisi di Sumsel.
Untuk sayur bisa bertahan paling lama tiga hari. Jika banyak yang busuk, kami merugi. (Dodi)
Di beberapa daerah sudah mulai memproduksi, seperti Kabupaten Ogan Ilir, Ogan Komering Ulu Timur, dan Kota Pagar Alam. Hanya saja memang belum dilakukan secara masif sehingga masih digunakan untuk jumlah yang terbatas. Berbeda dengan cabai merah yang sekarang sudah surplus dan telah dikirim ke beberapa daerah, seperti Lampung dan Sumatera Barat.
Baca juga: Harga Cabai Merah di Semarang Tembus Rp 100.000 Per Kilogram
Direktur Perbenihan Hortikultura Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian Inti Pertiwi Nashwari menuturkan, tingginya harga sejumlah produk hortikultura disebabkan oleh terbatasnya hasil panen akibat hujan yang terjadi pada musim kemarau. ”Perubahan iklim ini membuat hasil panen tidak optimal,” ucapnya.
Kondisi ini tentu harus diantisipasi dengan beragam program kemandirian pangan, termasuk mencari sentra pertanian baru di beberapa daerah potensial. Dengan begitu, ketika terjadi sesuatu di daerah tertentu, bisa segera dialihkan menggunakan produk dari daerah lain.
Inti menerangkan, ada sekitar 556 komoditas hortikultura di Indonesia. Dirinya yakin beberapa di antaranya bisa dibudidayakan di Sumsel. ”Kami akan siap membantu untuk menyediakan benih yang dibutuhkan,” ucap Inti.