Sebagian warga Desa Sarang Tiung di kawasan Bukit Mamake, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, menggantungkan hidup pada pekerjaan mengolah nira menjadi gula aren. Pembuatan gula aren turut memaniskan hidup mereka.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·5 menit baca
Baharuddin (60), warga Desa Sarang Tiung, memasukkan beberapa potong kayu bakar ke tungku perapian, Selasa (5/7/2022). Dengan sepotong bambu, ia meniup-niup bara di tungku perapian hingga kayu yang baru dimasukkan ikut terbakar.
Ketika api sudah menyala, ia meletakkan sebuah kawah di atas tungku perapian, kemudian menuangkan nira dari empat jeriken berkapasitas masing-masing 5 liter ke dalam kawah kawah atau wajan besi. Nira yang sudah memenuhi kawah selanjutnya diaduk-aduk oleh Hasnawati (52), istrinya, dengan menggunakan sendok kayu.
”Memasak nira membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Kami biasa masak dari pukul 09.00 sampai pukul 13.00,” kata Bahar, yang tinggal di kawasan Bukit Mamake, Desa Sarang Tiung, Kecamatan Pulau Laut Sigam, Kotabaru. Desa tersebut terletak di utara Pulau Laut dan berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat Kotabaru atau sekitar 320 kilometer dari Kota Banjarmasin.
Untuk membuat gula aren, nira yang baru dipanen dari pohon aren atau enau harus dimasak terlebih dahulu sampai kental dan berubah warna jadi kecoklatan. Bahar bertugas mengatur perapian selama pemasakan nira, sedangkan Hasna bertugas mengaduk-aduk nira di dalam kawah. Mereka biasa memasak 20 liter nira setiap hari untuk menghasilkan 35 biji gula aren.
Setelah nira menyusut dan mengental, mereka berdua memindahkan kawah dari atas tunggu perapian. Hasna segera mencedok nira yang sudah masak dan menuangkannya ke dalam cetakan gula aren. Setelah didiamkan sekitar 5-10 menit, Bahar mencungkil dengan pisau untuk mengeluarkan gula aren dari cetakan kayu.
”Dalam sehari kami biasa membuat tujuh bungkus gula aren. Satu bungkus berisi lima buah gula aren dan dijual Rp 20.000 per bungkus,” ujar Bahar.
Menurut Bahar, nira yang diolah menjadi gula aren diperoleh dari pohon aren yang ada di sekitar rumah. Ia pun harus memanjat pohon aren setinggi 10 hingga 20 meter untuk mendapatkan nira. Ia menggunakan sebatang bambu sebagai alat bantu untuk memanjat. Bambu itu dilubangi hanya untuk pijakan jempol kakinya saat naik maupun turun.
Memanjat pohon enau dilakukan Bahar dua kali dalam sehari, yakni pagi dan sore. Nira yang baru dipanen langsung dimasak untuk menghasilkan gula aren dengan kualitas bagus. ”Jika dibiarkan, nira akan mengalami proses fermentasi dan berubah menjadi tuak. Rasanya tidak lagi manis dan segar seperti lahang atau nira yang baru dipanen,” tuturnya.
Hasna mengatakan, ia ikut membuat gula aren dari awal menikah dengan Bahar sampai mereka memiliki tiga anak. Mereka pun selalu menjaga kualitas gula aren yang diproduksi supaya pelanggan tak berpaling, bahkan terus bertambah. ”Setiap hari gula aren yang kami buat selalu habis terjual. Kebanyakan pembeli datang langsung ke rumah,” ujarnya.
Memiliki izin
Ketua Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Aren Sarang Tiung, Syahrian menyampaikan, ada cukup banyak pembuat gula aren di kawasan Bukit Mamake. Sebagian berada di Desa Sarang Tiung, sebagian lagi berada di Desa Tirawan. Mereka memanfaatkan nira dari pohon aren, yang banyak tumbuh di kawasan Bukit Mamake.
”Aren adalah salah satu tanaman hutan yang dijaga dengan baik dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk meningkatkan perekonomian,” katanya.
Pohon aren setinggi 10-20 meter banyak terlihat di belakang rumah warga, ataupun di kiri dan kanan jalan menuju ke puncak Bukit Mamake sepanjang 1,2 kilometer. Dari pohon aren tersebut, warga tak hanya memanen nira, tetapi juga memanen buah aren yang selanjutnya diolah menjadi kolang kaling.
Menurut Syahrian, warga bisa menikmati aren dari hutan di Bukit Mamake karena ada izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHKm) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 5617/MENLHK-PSKL/PKPS/PSLO/10/2017 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hutan seluas 500 hektar pada kawasan lindung di Desa Sarang Tiung.
Aren adalah salah satu tanaman hutan yang dijaga dengan baik dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk meningkatkan perekonomian
IUPHKm tersebut diberikan kepada Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Mutiara Sarang Tiung sehingga warga di sana tetap bisa memanfaatkan potensi hasil hutan bukan kayu, yaitu aren, yang sudah puluhan tahun dikembangkan masyarakat. ”Gula aren dari tempat kami sudah cukup terkenal di Kotabaru karena kualitasnya memang bagus,” ujarnya.
Namun, karena produksinya yang masih terbatas, gula aren dari Bukit Mamake hanya dipasarkan di wilayah Kotabaru. Pembeli dari kota bahkan kerap mendatangi lokasi pembuatan gula aren untuk mengambil langsung pesanannya. Para pembuat gula aren pun tidak perlu repot memasarkan gula aren ke kota.
”Para pembuat gula aren bisa setiap hari memproduksi gula aren. Bahkan, produksi kadang-kadang dilakukan dua kali dalam sehari,” kata Syahrian.
Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Sarang Tiung Bahtiar mengatakan, pemasaran gula aren semakin mudah karena kawasan Bukit Mamake kini menjadi salah satu destinasi wisata. Akses menuju puncak Bukit Mamake sepanjang 1,2 kilometer dibuat melalui Sarang Tiung. Jalan menuju puncak, yang kini dalam tahap pengerasan, sudah nyaman dilalui dengan sepeda motor dan mobil.
”Kalau akses dan fasilitas obyek wisata Bukit Mamake sudah bagus, para pembuat gula aren bisa menjual gula aren di pinggir-pinggir jalan untuk jadi oleh-oleh bagi wisatawan,” katanya.
Mendapat dukungan
Menurut Bahtiar, usaha pembuatan gula aren di kawasan Bukit Mamake mendapat dukungan dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan, Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disparpora) Kotabaru, dan PT Arutmin Indonesia North Pulau Laut Coal Terminal (NPLCT).
Dengan adanya dukungan berbagai pihak tersebut, KUPS Aren Sarang Tiung mendapat bantuan peralatan untuk mengolah gula aren menjadi gula semut. Namun, produksi gula semut belum bisa berjalan karena keterbatasan sumber daya manusia dan ketiadaan gudang penyimpanan.
”Untuk saat ini, memang lebih mudah menjual gula aren daripada menjual gula semut. Permintaan gula semut hanya dari hotel-hotel, sementara hotel di Kotabaru juga tidak banyak,” ujarnya.
Di samping itu, lanjut Bahtiar, ongkos produksi gula semut juga besar. Sebab, peralatan yang digunakan harus menggunakan listrik. ”Dengan kapasitas produksi yang ada saat ini, kalau dihitung-hitung, masyarakat masih lebih untung menjual gula aren daripada menjual gula semut meskipun harga gula semut lebih mahal,” katanya.
Syahrian memastikan, warga siap memproduksi gula semut untuk memberikan nilai tambah pada gula aren jika permintaan pasar memang tinggi. Sumber daya manusia dan sarana prasarana yang mendukung segera disiapkan sehingga warga tetap bisa memanen kemanisan aren untuk kehidupan ekonomi yang lebih baik.