Sengkarut Penyaluran Pupuk Bersubsidi di Sumsel Mulai Dipetakan
Sengkarut masalah penyaluran pupuk bersubsidi di Sumatera Selatan mulai dipetakan. Permasalahan sudah muncul ketika pembuatan rencana hingga pada penyaluran yang tidak tepat sasaran.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Sengkarut masalah penyaluran pupuk bersubsidi di Sumatera Selatan mulai dipetakan. Permasalahan sudah muncul ketika pembuatan rencana hingga pada penyaluran (distribusi) yang tidak tepat sasaran. Disparitas harga pupuk yang tinggi juga membuka lebar peluang penyelewengan. Perbaikan tata cara penyaluran harus segera dilakukan guna meminimalkan kerugian petani.
Hal ini mengemuka dalam Rapat Pengawasan dan Evaluasi Distribusi Pupuk Bersubsidi Sumsel, Kamis (30/6/2022), di Palembang. Rapat ini dihadiri Sekretaris Daerah dan Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) dari 17 kabupaten/kota di Sumsel serta instansi terkait.
Kepala Bidang Prasarana dan Sarana Pertanian Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sumsel Ilfantria menyebutkan, permasalahan distribusi pupuk sudah mulai terjadi sejak perencanaan. Masih ada daerah yang tidak melampirkan rencana definitif kebutuhan kelompok tani (RDKK) manual. Padahal, ini merupakan salah satu syarat mutlak sebagai dasar pengajuan pupuk bersubsidi kepada pemerintah pusat.
Dari hasil pemantauan di lapangan, banyak daerah yang belum melampirkan RDKK manual. Di Sumsel masih ada empat kabupaten yang belum mengajukan, yakni Kabupaten Muara Enim, Lahat, Penukal Abab Lematang Ilir, dan Kota Pagar Alam. Padahal, RDKK manual harus segera diajukan untuk selanjutnya diverifikasi untuk dijadikan RDKK elektronik (E-RDKK) yang harus tuntas paling lambat Oktober mendatang.
”Dari E-RDKK itulah pemerintah pusat menetapkan kuota pupuk bersubsidi di suatu provinsi. Jangan sampai banyak yang protes karena namanya tidak tercantum sebagai penerima pupuk bersubsidi,” ujarnya.
Di Sumsel, ungkap Ilfantria, terdata baru 525.878 petani yang mengajukan RDKK manual, jauh dari data Sistem Informasi Penyuluh Pertanian (Simluhtan) sebanyak 789.509 petani. Banyak penyebab yang membuat hal itu terjadi, antara lain belum semua petani memiliki KTP elektronik, belum tergabung dalam kelompok tani, atau memang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan pupuk bersubsidi.
Permasalahan selanjutnya muncul pada saat penyerapan dan penyaluran pupuk bersubsidi. Banyak kasus ditemukan jumlah pupuk yang dialokasikan oleh produsen tidak sesuai dengan jumlah yang diterima petani.
Dari data Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sumsel, ungkap Ilfantria, ada selisih tonase yang cukup signifikan antara jumlah pupuk subsidi yang dikeluarkan produsen dan pupuk yang diterima petani. Bahkan, jumlahnya mencapai 3.000 ton pada tahun 2021.
Tentu ini bukan jumlah yang sedikit. Jika ada orang yang mengambil keuntungan Rp 3.000 saja per kilogram, itu berarti sudah ada penyelewengan hingga Rp 9 miliar. Masalah ini muncul lantaran banyak pupuk bersubsidi yang tidak diserap oleh petani.
Penyebabnya, mereka tidak mampu menunjukkan dokumen administrasi yang diperlukan untuk mengambil pupuk bersubsidi atau ada masalah lain, seperti sudah melewati masa tanam ataupun kendala kondisi geografis di wilayah tersebut. Kondisi ini tentu akan dimanfaatkan untuk mengalihkan pupuk ke petani lain.
”Dengan disparitas harga yang begitu tinggi antara pupuk bersubsidi dan nonsubsidi, tentu pengalihan ini akan sangat diincar oleh petani yang membutuhkan pupuk walau harus membayar harga lebih mahal,” ungkap Ilfantria. Saat ini untuk urea bersubsidi, harga eceran tertinggi (HET) mencapai Rp 2.250 per kilogram, sedangkan untuk pupuk urea nonsubsidi harganya sudah mencapai sekitar Rp 10.000 per kilogram.
Sejak dua tahun terakhir tidak ada anggaran bagi KP3 dalam melakukan tugasnya.
Di sisi lain, ungkap Ilfantria, fungsi pengawasan dari KP3 juga belum optimal lantaran tidak adanya alokasi anggaran bagi mereka untuk melakukan pengawasan di lapangan. ”Sejak dua tahun terakhir tidak ada anggaran bagi KP3 dalam melakukan tugasnya,” ucapnya.
Kepala Unit I Subdit I Tindak Pidana Indagsi Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sumsel Ajun Komisaris Hadi Sutrianto menyebutkan, bentuk penyelewengan yang tengah ditangani saat ini adalah adanya pemindahan lokasi penyaluran pupuk bersubsidi yang tidak sesuai dengan usulan E-RDKK. Bentuk penyelewengan lain adalah adanya pupuk yang tidak terdaftar (ilegal).
Khusus untuk kasus pupuk ilegal, berkasnya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Sumsel. Hadi mengatakan, pihaknya akan terus mengawal penyaluran pupuk bersubsidi agar tepat sasaran, tentu dengan melibatkan pihak terkait, terutama KP3.
Tak sesuai usulan
Manajer Penjualan PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) Cabang Sumsel Amani Muthi’ah menjelaskan, pada tahun 2022 alokasi pupuk bersubsidi di Sumsel mencapai 146.140 ton urea dan 82.378 ton NPK. Jumlah ini hanya memenuhi 65 persen untuk urea dan 26 persen NPK dari usulan yang ada di E-RDKK. ”Memang karena keterbatasan dana, alokasi pupuk bersubsidi lebih rendah dari yang diusulkan,” ucapnya.
Kondisi ini yang membuat petani menganggap bahwa pupuk langka di pasaran. Menurut Amani, kondisi ini diperparah dengan rumitnya proses administrasi yang membuat penyerapan alokasi pupuk bersubsidi belum optimal. Ini, misalnya, terkait E-RDKK yang tidak sesuai dengan kondisi fisik di lapangan.
Risiko penyelewengan juga terjadi akibat rendahnya margin untuk distributor dan pengecer pupuk bersubsidi. Hingga saat ini, keuntungan yang diterima pengecer sekitar Rp 75 per kilogram dan untuk distributor sekitar Rp 50 per kilogram. Angka ini tidak pernah berubah sejak terakhir dilakukan penyesuaian pada tahun 2008.
”Padahal, tugas pengecer dan distributor tidak mudah, yakni memastikan pupuk bersubsidi disalurkan tepat sasaran dengan memeriksa dokumen secara rinci. Sebab, jika terjadi kesalahan, bisa menjadi temuan karena semua itu tertuang dalam surat perjanjian jual beli antara produsen, yakni PT Pusri, dan distributor,” ujarnya.
Melihat beratnya tugas pengecer dan distributor, jumlah pengecer di Sumsel tidak merata, bahkan di Kota Prabumulih tidak ada pengecer. Padahal, di sana juga telah ditetapkan alokasi pupuk bersubsidinya.
Subkoordinator Pengawasan Pupuk dan Pestisida Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian Karmila menyebutkan, pihaknya akan mengoptimalkan lagi peran KP3 untuk meminimalkan risiko penyimpangan dalam penyaluran pupuk bersubsidi. Dia mengakui, saat ini belum ada anggaran untuk KP3. Kondisi ini menyebabkan peran KP3 di beberapa daerah seakan mati suri. Padahal, peran mereka sangat penting.
Di sisi lain, Kementan juga akan melakukan perampingan dalam tubuh KP3 agar lebih fokus dalam proses pengawasan, mulai dari perencanaan sampai penggunaan pupuk bersubsidi oleh petani di lapangan. ”Jangan sampai akibat kurangnya pengawasan, petani yang dirugikan,” ucapnya.