Harga Pupuk Terus Naik, Produksi Beras di Sumsel Terancam
Keterbatasan pupuk bersubsidi dikhawatirkan dapat berdampak pada penurunan produksi beras di Sumsel. Hal ini disebabkan ketidakmampuan petani membeli pupuk nonsubsidi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Keterbatasan pupuk bersubsidi dikhawatirkan dapat berdampak pada penurunan produksi beras di Sumatera Selatan akibat ketidakmampuan petani membeli pupuk nonsubsidi. Langkah strategis harus segera diambil untuk mengantisipasi keterbatasan pupuk bersubsidi ini, misalnya dengan penggunaan pupuk organik dengan konsep pertanian terintegrasi.
Hal ini disampaikan Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Sumsel Zain Ismed di Palembang, Kamis (19/6/2020). Dia berpendapat, saat ini petani di Sumsel dihadapkan pada kenaikan harga pupuk nonsubsidi di tengah keterbatasan pupuk bersubsidi.
”Yang paling terdampak adalah petani padi. Harga gabah tidak naik, harga pupuk terus naik, bahkan sekarang kenaikannya mencapai 100 persen,” katanya. Sebelum pandemi, harga pupuk nonsubsidi sekitar Rp 250.000 per karung berisi 50 kilogram, sekarang harga pupuk di lapangan bisa lebih dari Rp 500.000 per karung, bahkan lebih.
Kondisi ini membuat petani harus membatasi penggunaan pupuk yang pada akhirnya berdampak pada menurunnya produksi beras. ”Jika hal ini terus terjadi, produksi beras di Sumsel akan anjlok,” ucapnya.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sumsel, sejak harga pupuk naik pada 2021, produksi beras pun menurun dari yang semula 1,56 juta ton pada 2020 menjadi 1,46 juta ton pada 2021. Jika tidak diantisipasi, ujar Zain, dikhawatirkan, produksi beras di Sumsel akan terus turun.
Oleh karena itu, ujar Zain, sudah seharusnya pemerintah dan pihak terkait mengambil langkah cepat agar penurunan produksi ini tidak terjadi lagi.
Belajar dari Lampung yang sudah memanfaatkan konsep pertanian terintegrasi, di mana sawah di sana sudah menggunakan pupuk organik berbahan baku kotoran sapi. ”Dengan begitu, petani tidak mengalami penurunan produksi gabah walau pupuk bersubsidi dikurangi,” ucap Zain.
Berdasarkan data dari Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sumsel, walau didapuk sebagai daerah lumbung pangan nasional, produktivitas lahan pertanian Sumsel masih rendah, yakni sekitar 5,7 ton gabah kering giling (GKG) per hektar. Angka itu masih di bawah produktivitas Lampung yang mencapai 7,2 ton GKG per hektar dan Sumatera Utara yang mencapai 6,5 ton GKG per hektar.
Petani di Muara Telang, Kabupaten Wawan, menuturkan, kenaikan harga pupuk sudah terjadi sejak dua tahun lalu. Kenaikannya pun bertahap. Dari yang semula 250.000 per karung menjadi Rp 500.000-Rp 550.000 per karung. Di sisi lain, harga pupuk bersubsidi juga dijual jauh di atas harga yang ditetapkan. Harga pupuk bersubsidi biasanya dijual Rp 150.000 per karung, sekarang menjadi Rp 300.000 per karung. ”Pupuk pun dikirim oleh pedagang dari luar Muara Telang yang bukan pengecer,” ucapnya.
Agar tidak merugi, ujar Wawan, dirinya mengurangi jumlah penggunaan pupuk. Biasanya, dalam satu hektar, petani menggunakan delapan karung pupuk per musim tanam. Sejak harga pupuk melonjak, penggunaan pupuk hanya empat karung per hektar sekali musim tanam. Akibat pengurangan ini, produksi gabah menurun dari 7 ton per hektar sekarang hanya 5,5 ton per hektar. ”Kami benar-benar terpukul,” ucapnya.
Di sisi lain, harga gabah kering panen hanya Rp 3.500-Rp 3.700 per kg. Akibat kenaikan harga pupuk dan rendahnya harga gabah, pendapatan yang diperoleh petani sangat minim. ”Sekali musim tanam, kami hanya memperoleh keuntungan Rp 1 juta per bulan,” ucapnya.
Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir dalam kunjungannya di Palembang, Minggu (19/6/2022), menyatakan, banyak anak muda yang tidak ingin jadi petani karena melihat pendapatan yang diperoleh orangtuanya rendah. ”Lebih baik main media sosial yang sudah pasti ada uangnya,” ucap Erick.
Dia menjelaskan, pascapandemi, Indonesia dihadapkan pada disrupsi global yang berdampak pada kenaikan harga komoditas pangan yang cukup signifikan. Mulai dari minyak nabati yang naik 91 persen dari harga sebelum pandemi Covid-19, biji-bijian menyentuh 111 persen, hingga yang paling tinggi kenaikannya adalah pupuk, yakni mencapai 156 persen. Kenaikan ini dipengaruhi sejumlah faktor, seperti pemulihan permintaan yang tidak diimbangi dengan pasokan dan kendala rantai pasok.
Dari kenaikan harga ini, petani punya kemampuan untuk membeli pupuk
Belum lagi, ketegangan geopolitik, terutama terkait invasi Rusia ke Ukraina dan adanya upaya negara melakukan perlindungan ketat terhadap sumber daya yang dimilikinya. ”Karena itu, kita harus berinovasi agar tidak lagi bergantung pada impor,” ucapnya.
Khusus untuk pupuk, kenaikan harga disebabkan oleh melonjaknya harga bahan baku, terutama fosfat. ”Kalau bisa, kita buat pupuk tanpa fosfat,” ungkapnya. Di sinilah keberadaan teknologi pertanian sangat dibutuhkan.
Mobil laboratorium lingkungan juga bisa digunakan untuk mengukur kondisi tanah sehingga komposisi pupuk bisa lebih tepat guna. Di sisi lain, pengawasan terhadap penyaluran pupuk bersubsidi juga harus diperkuat agar tidak salah sasaran. Berdasarkan penelitian di Nusa Tenggara dan Bali, 28 persen penyaluran pupuk tidak tepat sasaran.
Penyimpangan pupuk bersubsidi sangat rentan terjadi karena disparitas harga yang terlalu jauh. ”Karena itu, digitalisasi data petani sangat krusial agar pupuk bersubsidi benar-benar diterima bagi mereka yang memerlukan,” ucapnya.
Direktur Utama PT Pupuk Sriwidjaja Tri Wahyudi Saleh mengatakan, langkanya pupuk bersubsidi karena alokasi untuk pupuk bersubsidi tidak sesuai dengan yang diusulkan. Berdasarkan rencana definitif kebutuhan kelompok elektronik (e-RDKK) tani, kebutuhan pupuk sekitar 24 juta ton, tetapi alokasi pupuk bersubsidi hanya sekitar 9 juta ton.
”Hanya saja, petani bisa menggunakan pupuk nonsubsidi karena jumlahnya tidak terbatas," ucap Tri. Menurut dia, dengan menggunakan pupuk nonsubsidi bisa berdampak pada peningkatan produksi karena kualitasnya yang baik. ”Jadi, kenaikan harga pupuk dapat didanai dengan kenaikan angka produksi gabah,” ucapnya.
Hal ini bisa dibuktikan dengan Program Makmur, di mana mulai dari hulu hingga hilir petani didampingi perihal mengelola lahannya sehingga produksi lahan bisa meningkat dengan menggunakan pupuk nonsubsidi. Untuk di wilayah Sumatera bagian selatan, ditargetkan ada 52.000 hektar lahan yang akan dikelola dengan Program Makmur, tetapi baru terealisasi 18.000 hektar. Di lahan tersebut, produksi sejumlah komoditas pangan bisa meningkat hingga dua kali lipat.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru berpendapat, kenaikan harga pupuk dapat disubstitusikan dengan menaikkan harga gabah. ”Dari kenaikan harga ini, petani punya kemampuan untuk membeli pupuk, ucapnya.
Di sisi lain, Herman berharap” pihak perbankan memberikan bantuan pembiayaan bagi petani untuk bisa mulai menggarap lahan sehingga mereka tidak terbebani ketika harus membeli pupuk dengan harga yang lebih mahal. Dengan begitu, penurunan produksi padi tidak akan terjadi dan Sumsel akan tetap menyandang status lumbung pangan nasional.