Nasida Ria dan Energi Kasidahan Semarang
Musik kasidah mengiringi peradaban masyarakat pantai utara Jawa, termasuk Semarang, dengan lagu-lagu bermuatan pesan ringan sekaligus relevan. Meski berbasis musik religi, musik kasidah bisa dinikmati semua kalangan.
Eksistensi musik kasidah tak lepas dari kiprah Nasida Ria asal Kota Semarang, Jawa Tengah. Lewat kelompok ini, kasidah mengiringi peradaban masyarakat pantai utara Jawa dengan lagu-lagu bermuatan pesan ringan sekaligus relevan.
”Marilah mari hai kawan, nikmati indahnya bulan. Bersukaria berdendang asyik santai kasidahan”.
Lagu berjudul ”Asyik Santai” dari Nasida Ria berkumandang di sebuah warung soto di Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jumat (24/6/2022) siang. Musik itu berasal dari seperangkat televisi dan pelantang mini di bagian tengah warung.
Mendengar suara tabuhan gendang, kaki Mustika (42), warga Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang, otomatis bergoyang. Tak terasa, kepalanya manggut-manggut mengikuti alunan musik. Sementara mulutnya tetap mengunyah semangkuk soto ayam di depannya.
”Yang bikin ketagihan mampir di sini itu bukan cuma sotonya yang enak, tetapi juga suasananya. Rasanya nikmat sekali menyantap soto sambil mendengar lagu-lagu kasidah diputar. Kota Semarang yang panas mendadak jadi terasa sejuk,” ujar Mustika, disusul tawa pengunjung lain.
Setiap melintasi Kota Semarang, Mustika selalu menyempatkan diri mampir di warung soto yang pernah menjadi markas grup Nasida Ria tersebut. Kalau sedang beruntung, Mustika bisa berjumpa dengan personel Nasida Ria di warung itu. Perut kenyang, hati pun senang.
Nasida Ria tak bisa lepas dari jejak musik kasidah di Kota Lumpia. Kelompok yang dibentuk Mohammad Zain pada 1975 itu, belakangan ini, menggegerkan jagat media sosial. Setelah sempat meredup, popularitas Nasida Ria bersinar seusai tampil di acara pembukaan Documenta Fifteen di Kassel, Jerman, Sabtu (18/6/2022). Warganet gaduh. Kelompok kasidah yang semua anggotanya perempuan itu pun sempat masuk trending topic Twitter.
Penampilan Nasida Ria di Kassel mampu memukau para penonton yang mayoritas warga negara Jerman dan sekitarnya. Dalam video berisi cuplikan penampilan Nasida Ria, para penonton terlihat ikut bergoyang. Beberapa di antara mereka juga berteriak memanggil nama kelompok itu. ”Nasida Ria! Nasida Ria! Nasida Ria!” teriak mereka.
Bukan tanpa alasan para penonton larut dalam dendangan Nasida Ria. Mereka mampu menangkap pesan-pesan yang disampaikan dalam lirik-lirik lagu berbahasa Indonesia dan Arab. Kepada penyelenggara, Nasida Ria meminta disediakan layar besar berisi terjemahan lirik lagu. Sepuluh lagu dibawakan, yakni ”Perdamaian”, ”Kota Santri”, ”Tahun 2000”, ”Bom Nuklir”, ”Asyik Santai”, ”Intaha Umri”, ”Kemana Aku Lari”, ”Dunia Dalam Berita”, ”Pantun Gembira”, dan ”Keadilan”.
Baca juga: Lagu Religi Pelemas Ketegangan
Lintas genre
Meski konsisten di jalur musik kasidah, Nasida Ria acapkali diundang dalam berbagai festival musik aneka genre. Pada 2016, misalnya, mereka tampil dalam RRREC Fest di Sukabumi, Jawa Barat. Kemudian 2017, mereka diundang tampil dalam acara Holy Market di Jakarta. Sementara 2018 dan 2019, Nasida Ria turut meramaikan panggung musik Syncronize Fest. Kala itu, mereka bergantian tampil dengan musisi lain, mulai dari Jamrud, Noah, hingga almarhum Didi Kempot.
Nasida Ria adalah salah satu grup kasidah tertua di Indonesia. Hingga kini, kelompok kasidah yang beranggotakan 12 orang itu sudah beregenerasi hingga angkatan keempat. Di usianya yang ke-47, Nasida Ria sudah mengeluarkan 36 album, dengan lebih dari 350 lagu. Artinya, dalam 1-1,5 tahun sekali, mereka mengeluarkan album baru. Sangat produktif.
Lagu-lagu yang dinyayikan Nasida Ria juga cukup populer. Hampir semua orang di negeri ini pasti pernah mendengar, setidaknya lagu ”Perdamaian”. Lagu itu pernah diyanyikan ulang oleh grup musik Gigi pada 2005 dengan gaya musik pop.
Road Manager Nasida Ria Zuhad Mahdi mengatakan, saat dibentuk, Nasida Ria beranggotakan sembilan orang. Mereka, antara lain, adalah Mudrikah Zain, Mutoharoh, Rien Jamain, Umi Kholifah, Musyarofah, Nunung, Alfiyah, Kudriyah, dan Nur Ain. Saat itu, semuanya adalah para santri yang belajar qiraah atau seni membaca Al Quran di tempat Mohammad Zain di Kelurahan Kauman, Semarang Tengah. Supaya para santrinya tidak bosan, Zain mulai mengajarkan mereka bermain musik dan berkasidah sebagai aktivitas selingan.
”Awalnya, alat musik yang dipakai itu rebana. Seiring waktu, ditambah alat musik modern, seperti gitar, bas, kendang, biola, tamborin, seruling, dan mandolin. Setelah sering tampil di acara-acara internal, Nasida Ria mulai tampil di beberapa acara, kemudian rekaman dan mengeluarkan album,” kata Zuhad.
Hanya Nasida Ria yang konsisten karena memang itu genre mereka. Setelah itu, tidak ada kelompok kasidah lain yang mampu menandingi dan sekonsisten Nasida Ria di kancah nasional.
Pada masa-masa album pertama dan kedua, lagu-lagu Nasida Ria didominasi lagu-lagu berbahasa Arab. Supaya pesan-pesannya mudah dipahami dan musiknya diterima lebih banyak kalangan, Nasida Ria kemudian mulai melantunkan lagu-lagu berbahasa Indonesia pada album ketiga dan seterusnya.
Penyegaran anggota juga terus dilakukan. Dalam satu manajemen yang sama, ada dua grup kasidah lain yang diharapkan jadi tempat magang calon personel baru Nasida Ria. Dua grup itu adalah Ezzura dan Qasidah Tanpa Nama (QTN).
”Anggota Ezzura saat ini ada 12 orang, sebagian merangkap jadi anggota generasi keempat Nasida Ria. Latar belakang mereka berbeda-beda, ada yang kami temukan saat audisi, ada yang dari rekomendasi guru qiraah, terus ada juga yang diantar orangtuanya ke basecamp kami. Kalau untuk QTN, anggotanya ada lima orang," ucap Zuhad.
Baca juga: Pesan Harmoni dari Ambon, Kota Musik Dunia
Tradisional
Menurut pengamat musik di Kota Semarang, Bambang Iss Wirya, sebelum Nasida Ria, seni kasidah sebenarnya sudah lebih dulu dipopulerkan oleh seseorang bernama Rofiqoh Darto Wahab. Rofiqoh yang berasal dari Pekalongan memopulerkan kasidah tradisional. Kala itu, alat musik pengiringnya adalah rebana.
Rofiqoh tercatat telah mengeluarkan belasan album, yang mayoritas berisi lagu-lagu berbahasa Arab. Isi lagunya lebih kurang puji-pujian kepada Allah SWT. Adapun beberapa lagunya yang populer, seperti ”Hamawi Ya Mismis”, ”Ya Asmar Latin Sani”, dan ”Balada Nabi Saleh”.
”Rofiqoh mulai memopulerkan kasidah tradisional di masa sebelum Nasida Ria, sekitar akhir 1960-an hingga awal 1970-an. Seiring menurunnya popularitas Rofiqoh, Nasida Ria muncul dengan konsep kasidah modern yang lebih banyak digandrungi masyarakat,” ujar Bambang.
Kehadiran Nasida Ria di kancah musik nasional kala itu membuat seni kasidah semakin naik daun. Bambang menyebut, sejumlah musisi bergenre pop kala itu mulai ikut-ikutan demam kasidah. Beberapa kelompok musik, seperti Bimbo, Koes Plus, hingga Panbers, tercatat mengeluarkan sejumlah lagu, bahkan album berisi musik-musik kasidah.
”Fenomena itu tidak bertahan lama karena memang hanya tren dagang. Hanya Nasida Ria yang konsisten karena memang itu genre mereka. Setelah itu, tidak ada kelompok kasidah lain yang mampu menandingi dan sekonsisten Nasida Ria di kancah nasional,” ucapnya.
Sementara itu, di pelosok-pelosok kampung di Semarang dan sekitarnya, nama Nasida Ria juga harum. Kiprah mereka di belantika musik Tanah Air turut menginspirasi ibu-ibu kelompok pengajian berlatih kasidah. Kelompok kasidah ibu-ibu pengajian itu biasanya tampil di acara-acara hajatan di sekitar kampung mereka. Tren tersebut langgeng hingga kini.
”Di Semarang bagian atas (selatan), seperti di daerah Gunungpati, kelompok kasidah ibu-ibu pengajian ini masih aktif dan cukup sering tampil di lingkungan mereka. Berbeda dengan Nasida Ria yang menggunakan alat musik modern, mereka cenderung mengadopsi gaya tradisional dengan dukungan alat musik seperti rebana dan darbuka,” ujar Bambang.
Terlepas dari pilihan alat musik pengiringnya, modern ataupun tradisional, musik kasidah yang digambarkan sederhana oleh Nasida Ria tetap akan menemani para penikmatnya dalam segala kondisi. Jadi, jika mampir ke Semarang, sesekali silakan menyantap segarnya soto ayam sambil berdendang kasidahan.