Kekerasan Seksual di Palangkaraya Libatkan Guru Agama dan Ayah Kandung
Kalimantan Tengah masih dilanda kasus kekerasan seksual dengan korban remaja perempuan. Seminggu terakhir, Polres Kota Palangkaraya menahan dua pria pelaku kekerasan seksual.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
Apa yang dilakukan dilakukan H (30), guru ngaji di Kota Palangkaraya, sungguh jauh dari peran seorang pendidik. Ia ditangkap polisi pada Senin (27/6/2022) oleh aparat Polres Kota Palangkaraya atas kasus pencabulan muridnya.
Penangkapan dilakukan polisi setelah menerima laporan warga dan keluarga korban. Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Kota Palangkaraya Komisaris Ronny M Nababan menjelaskan, pelaku mencabuli korban yang berumur 16 tahun. Kejadian terjadi tahun 2020.
Peristiwa itu bermula saat korban mengikuti pelajaran agama di salah satu tempat ibadah, tempat H mengajar. Saat belajar, H mendekati korban dan menyentuh bagian-bagian vital korban. Pelaku juga mengarahkan tangan korban menyentuh bagian tubuhnya. “Saat diperiksa, tersangka mengaku melakukan hal itu karena sering menonton film porno,” kata Ronny pada Rabu (29/6/2022).
Kasus itu baru terungkap saat ini karena korban takut dan malu untuk melaporkan kejadian itu, bahkan kepada keluarga. Namun, setelah hampir dua tahun memendam trauma, korban akhirnya bicara dan pelaku ditangkap.
Kini, tersangka telah ditahan di Polres Kota Palangkaraya untuk penyidikan lebih lanjut. Dalam pemeriksaan pelaku sudah mengakui perbuatannya itu.
Pelaku dikenakan Pasal 82 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang perlindungan anak, dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara. “Jadi karena terduga pelaku sebagai tenaga pendidik, jadi hukumannya ditambah sepertiga dari umur terduga pelaku,” ujarnya.
Tiga hari sebelum menangkap H, aparat Polres Kota Palangkaraya juga menangkap M (38), warga Kota Palangkaraya atas dugaan kekerasan seksual terhadap anak kandungnya.
M (38) sudah empat kali menikah dan semuanya gagal. Pernikahannya selalu kandas di meja hijau dengan cara yang sama, ia dituntut cerai istrinya. Pernikahannya yang terakhir berakhir pada akhir 2021.
Warga Kota Palangkaraya itu setiap hari bekerja serabutan. Di rumahnya, ia tinggal bersama anak perempuannya yang berumur 14 tahun, anak kadungnya dari istri pertamanya. Belum setahun menduda, pelaku menyetubuhi anaknya itu.
“Pelaku awalnya meminta korban untuk memijat. Di saat korban sedang memijat itu pelaku melancarkan aksi bejatnya,” tambah Ronny.
Semuanya dilakukan di rumahnya sendiri. Polisi menangkap M, setelah keluarga juga tetangga rumah M melaporkan perbuatannya itu. Ia meniduri putrinya setidaknya 10 kali sejak akhir tahun 2021. Polisi langsung menangkap pelaku
“Pengakuan korban, ia disetubuhi pelaku bukan satu dua kali tetapi 10 kali. Niat itu muncul saat mereka berdua saja di rumah,” kata Ronny.
Kini, pelaku telah ditahan di Kantor Polres Kota Palangkaraya untuk menjalani proses hukum selanjutnya. Polisi juga melakukan penyidikan mendalam dalam kasus tersebut.
“Pelaku dijerat Undang-undang Perlindungan anak dengan ancaman 15 tahun penjara ditambah sepertiga hukuman karena pelaku merupakan orang tua kandung,” tambah Ronny.
Kondisi darurat
Sejak tahun 2020, Polda Kalteng menilai Provinsi Kalimantan Tengah masih dalam kondisi darurat kekerasan seksual karena tingginya angka kasus tersebut. Pelakunya, sebagian besar bahkan merupakan orang-orang dekat para korban.
Tahun 2020, Polda Kalteng mencatat, setidaknya terdapat 38 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Kalteng. Jumlah itu meningkat di tahun 2021. Sub Direktorat IV Remaja, Anak, dan Wanita Polda Kalteng mencatat tahun 2021 jumlah kasus kekerasan seksual yang ditangani mencapai 85 kasus dan 22 kasus kekerasan fisik. Kabupaten Katingan dan Kotawaringin Barat menjadi dua wilayah dengan dua kasus kekerasan seksual terbanyak sepanjang tahun 2021 dengan masing-masing 11 dan 15 kasus.
Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan (SP) Mamut Menteng Kalteng Margaretha Winda Febiana Karotina mengungkapkan, pada kasus guru, korban yang merupakan anak muridnya mengalami trauma mendalam sampai tidak mampu melaporkan kejadian itu. Begitu juga korban pada kasus ayah kandung.
Menurut Winda, dalam penanganan kasus kekerasan seksual tidak cukup hanya dengan proses hukum. Perlu ada upaya juga untuk mendampingi korban. “Hampir setiap hari berita kekerasan seksual mewarnai pemberitaan di Kalteng, tetapi belum ada upaya nyata untuk bisa melihat kasus ini lebih serius,” kata dia.
Dalam kasus kekerasan seksual, pemerintah perlu menyediakan rumah aman dengan fasilitas dan pelayanan kesehatan fisik dan mental bagi para korban. Rumah aman juga mampu menyediakan sarana edukasi untuk keluarga agar menghindari atau mengantisipasi kejadian berulang di masa depan.
“Rumah aman itu penting sekali, sayangnya di Kalteng ini hanya ada di Palangkaraya. Kami khawatir korban menjadi sosok yang brutal di masa depannya jika tidak ditangani serius psikologinya,” ungkap Winda.