Kalteng Butuh Rumah Aman dan Unit Perlindungan untuk Hadapi Kekerasan Seksual
Kalimantan Tengah belum lepas dari situasi darurat kekerasan seksual. Oleh karena itu, pemerintah didesak lebih serius dalam menangani kasus kekerasan seksual, terutama pada pemulihan dan perlindungan korban.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Di tengah meningkatnya kasus kekerasan seksual di Kalimantan Tengah, upaya pemerintah melindungi anak dan perempuan dinilai masih minim. Kalteng belum memiliki rumah aman ideal dan unit perlindungan di tiap kabupaten/kota.
Hal itu terungkap dalam diskusi daring memperingati Hari Antikekerasan terhadap Perempuan yang digelar Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, Senin (13/12/2021). Digelar di Palangkaraya, Kalteng, tema yang diambil adalah ”Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Provinsi Kalimantan Tengah”.
Tahun lalu, Polda Kalteng mencatat, ada 38 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Tahun 2021, Subdirektorat IV Remaja, Anak, dan Wanita Polda Kalteng mencatat ada 85 kasus kekerasan seksual dan 22 kasus kekerasan fisik. Kabupaten Katingan dan Kabupaten Kotawaringin Barat memiliki kasus kekerasan seksual terbanyak, masing-masing 11 kasus dan 15 kasus.
Sandy Simamarta dari LBH Palangka Raya mengungkapkan, semua pihak harus bertumpu pada pemulihan dan hak korban kekerasan seksual. Pemulihan harus diberikan bersamaan dengan proses hukum yang sedang berjalan. Oleh karena itu, keberadaan rumah aman sangat diperlukan untuk tempat perlindungan sementara korban.
Rumah aman merupakan tempat perlindungan sementara atau kediaman baru korban kekerasan seksual yang dirahasiakan. Rumah ini diawasi dan dijaga selama 24 jam oleh aparat keamanan. Rumah aman juga harus didukung pekerja sosial, psikolog klinis, konselor, petugas pendamping, dan petugas pramu sosial.
”Standar dan aturannya harus diatur. Maka dari itu, pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual perlu segera dilakukan, sampai saat ini kan belum. Artinya, pemerintah belum serius menangani kasus kekerasan seksual,” kata Sandy.
Hal serupa disampaikan Herta Sihombing dari Solidaritas Perempuan (SP) Mamut Menteng Kalteng. Menurut dia, Kalteng hanya memiliki Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC) di dinas sosial. Jangka waktunya, kata dia, hanya tujuh hari. Herta menyampaikan, harus menyediakan rumah aman sendiri saat mendampingi perempuan dan anak korban kekerasan seksual.
”Karena hanya bisa ditempati selama tujuh hari, setelah itu harus keluar. Kecuali, kami ajukan lagi berkasnya untuk memperpanjang masa tinggal korban di rumah aman,” katanya.
Kepala Seksi Tindak Lanjut dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kalteng Rensi mengungkapkan, pihaknya bekerja sama dengan Dinas Sosial Kalteng menyediakan rumah aman bagi korban kekerasan seksual.
Rensi melanjutkan, sampai saat ini, baru ada tujuh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) dari 14 kabupaten/kota di Kalteng. Pihaknya terus mendorong pemerintah kabupaten/kota membentuk UPT PPA. Tujuannya, agar penanganan kasus tidak tertumpuk di Palangkaraya dan edukasi soal kekerasan seksual bisa dilaksanakan secara masif.
”Memang belum semua daerah punya UPT. Hal ini tentu memengaruhi penanganan dan pemulihan korban. Namun, kami terus berupaya semaksimal mungkin untuk bisa menangani semua kasus yang muncul ke permukaan,” kata Rensi.
Rensi mengungkapkan, hingga kini, kekerasan seksual masih belum terdeteksi dan terdata dengan baik karena banyak faktor. Salah satunya, minimnya kesadaran orang-orang di sekitar korban untuk mengungkap kasus kekerasan seksual.
”Korban juga tidak bisa langsung melaporkan kejahatan itu, apalagi kalau pelakunya orang terdekat. Maka dari itu, edukasi dan jaminan perlindungan terhadap korban itu sangat penting,” kata Rensi.
Penanganan kasus kekerasan seksual, menurut Rensi, tidak bisa dibebankan kepada satu atau dua instansi, tetapi semua pihak. Mengungkap dan melindungi korban kekerasan seksual merupakan tanggung jawab kemanusiaan.
”Makanya, banyak kasus yang ditangani saat ini ternyata kejadiannya sudah bertahun-tahun yang lalu,” kata Rensi.