Tangki CPO Sumut Sudah 80 Persen, Bisa Penuh dalam Lima Hari
Arus ekspor CPO melambat karena banyak perusahaan kesulitan melaksanakan kebijakan memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri (DMO) dengan harga yang ditentukan pemerintah (DPO).
Oleh
NIKSON SINAGA
·2 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Pabrik kelapa sawit di Sumatera Utara masih beroperasi normal di tengah pembatasan ekspor minyak kelapa sawit atau CPO. Namun, keterisian tangki timbun pabrik-pabrik sudah 70-80 persen. Harga tandan buah segar sawit di tingkat petani pun turun karena penyerapan yang terbatas.
”Tangki timbun CPO di Sumut sudah hampir penuh. Dalam lima hari ke depan mungkin bisa penuh jika ekspor tidak lancar,” kata Sekretaris Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia Sumut Timbas Prasad Ginting, Jumat (24/6/2022).
Timbas mengatakan, arus ekspor CPO melambat karena banyak perusahaan kesulitan melaksanakan kebijakan memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri (DMO) dengan harga yang ditentukan pemerintah (DPO). Tangki timbun pun akhirnya penuh karena ekspor tersendat.
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumut Gus Dalhari mengatakan, petani sawit sangat terdampak dari tersendatnya arus ekspor CPO. ”Pabrik-pabrik mulai membatasi pembelian tandan buah segar (TBS) dari petani dengan alasan tangki timbun hampir penuh,” kata Dalhari.
Dalhari menyebut, dalam beberapa hari ini harga TBS di tingkat petani di Sumut terus menurun. Di beberapa daerah, harga turun sampai di bawah Rp 1.000 per kilogram. Harga pun tidak terkendali dan bisa berbeda jauh dari satu pabrik ke pabrik lain.
”Banyak pabrik yang menawar harga dengan tidak masuk akal hingga di bawah Rp 1.000. Namun, petani terpaksa menjual karena TBS-nya ditolak di mana-mana,” kata Dalhari.
Dalhari menyebut, penurunan harga TBS di dalam negeri dirasa menjadi ironi karena terjadi di tengah melambungnya harga CPO di pasar dunia. ”Lebih menyedihkan lagi, harga minyak goreng pun masih mahal juga di dalam negeri,” kata Dalhari.
Menurut Dalhari, penurunan harga TBS yang cukup signifikan juga disebabkan banyaknya pungutan dana yang dilakukan pemerintah. Untuk percepatan ekspor pun, pengusaha harus menyetor 200 dollar AS per ton kepada pemerintah. Ini di luar pungutan ekspor dan bea keluar. ”Ini semua ujungnya pasti dibebankan ke rantai pasok di hulu, yakni petani. Pasti harga TBS petani yang ditekan,” kata Dalhari.
Dalhari mengatakan, para petani meminta pemerintah membuat kebijakan menyeluruh untuk menyelamatkan industri sawit nasional dari hulu ke hilir. Kebijakan yang berubah-ubah dalam waktu singkat dan tanpa arah dinilai memukul industri sawit.