Masyarakat pesisir di Sumut semakin jauh tertinggal. Kerusakan lingkungan dan perubahan iklim membuat ekonomi nelayan maupun petani tambak di pesisir kian merosot. Mereka jauh dari kemajuan teknologi dan digitalisasi.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Kehidupan masyarakat pesisir di Sumatera Utara semakin masih jauh tertinggal. Kerusakan lingkungan dan perubahan iklim membuat ekonomi nelayan dan petani tambak di pesisir kian merosot. Kehidupan mereka jauh dari hiruk-pikuk kemajuan teknologi dan digitalisasi.
Usman (36) baru saja pulang melaut dan menambatkan kapalnya di Kelurahan Nelayan Indah, Kecamatan Medan Labuhan, Kota Medan, Rabu (22/6/2022). Nelayan dengan kapal motor berukuran 5 x 1 meter itu pun langsung mengantarkan hasil tangkapannya berupa beberapa jenis udang.
Usman mendapat total 6 kilogram udang dengan melaut dari pukul 05.00 sampai 15.00. Sang tengkulak menyebut hasil tangkapan Usman Rp 150.000 dan langsung dipotong Rp 100.000 yang sebelumnya sudah diterimanya untuk membeli biosolar dan perbekalan. Ia pun hanya membawa Rp 50.000 untuk pulang ke rumah.
”Setiap tahun, hasil tangkapan kami menurun karena ikan semakin sulit didapat dan banyak jenis ikan yang hilang. Sampah semakin banyak di laut, ikan pun pergi,” kata Usman.
Usman adalah gambaran kehidupan sebagian besar nelayan di pesisir Sumatera Utara, seperti Medan, Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, hingga Tanjungbalai. Kerusakan lingkungan dan perubahan iklim membuat hasil tangkapan mereka terus berkurang.
Usman mengatakan, belasan tahun lalu, ia masih bisa mendapat 20 kilogram udang sekali melaut dengan penjualan Rp 400.000–Rp 600.000. Ketika itu, sampah yang bermuara ke laut tidak sebanyak sekarang. Hutan mangrove juga masih cukup baik.
Hal serupa juga dialami nelayan lain di Kelurahan Nelayan Indah, Jamaluddin (70). ”Kalau hanya mengandalkan tangkapan ikan, saya hanya bisa mendapat Rp 30.000–Rp 70.000 dalam sehari. Sebelumnya, saya bisa mendapat hingga Rp 300.000 per hari,” kata Jamaluddin, yang mempunyai kapal lebih kecil.
Jamaluddin menyebut, penurunan hasil tangkapan terjadi dalam belasan tahun terakhir karena sampah dari sungai-sungai yang bermuara ke laut semakin banyak. Beberapa jenis ikan, seperti ikan tengar, senangin, dan tomok, hampir tidak pernah lagi ditemukan. Ikan-ikan ini biasanya hidup di sekitar muara sungai.
Di saat-saat tertentu, perahu mereka pun kesulitan melewati muara sungai yang dipenuhi sampah. ”Kalau sampah sedang banyak, saya cari sampah botol plastik di laut,” kata Jamaluddin.
Ia pun bisa mengumpulkan hingga enam karung botol plastik di perahunya yang kecil. Hasil dari mengumpulkan sampah plastik kadang lebih banyak ketimbang menangkap ikan. ”Saya sering sedih karena dulunya menangkap ikan sekarang jadi mencari sampah,” kata Jamaluddin.
Manajer Penelitian dan Pemonitoran Yayasan Gajah Sumatera (Yagasu) Grace Yanti Pandjaitan mengatakan, ekonomi masyarakat di pesisir timur Sumatera Utara terus menurun dalam beberapa tahun belakang ini khususnya karena kerusakan lingkungan hidup, perubahan iklim, dan minimnya edukasi di pesisir.
Yagasu, lembaga yang berfokus mendampingi masyarakat pesisir itu, melihat dampak perubahan iklim sangat nyata di masyarakat pesisir. ”Kini permukiman di pesisir yang terendam banjir rob semakin luas. Musim hujan pun kian panjang dan sulit diperkirakan,” kata Grace.
Masyarakat pesisir pun kini tidak bisa lagi memanfaatkan air tanah di area permukimannya untuk keperluan air minum dan kebutuhan sehari-hari karena sudah payau. Sebagian besar masyarakat pesisir harus membeli air bersih dalam galon untuk keperluan sehari-hari di tengah pendapatan yang menurun.
Grace mengatakan, kerusakan lingkungan hidup karena sampah plastik dan limbah lain dari sungai juga sangat memengaruhi kehidupan masyarakat pesisir. Tangkapan nelayan setiap tahun semakin berkurang. Mereka pun harus melaut semakin jauh agar bisa mendapatkan ikan. Restorasi hutan mangrove pun sulit dilakukan karena sampah dan limbah yang kian banyak.
Grace mengatakan, edukasi di masyarakat pesisir Sumut masih sangat minim sehingga hampir tidak muncul inovasi apa pun tanpa dampingan pemerintah atau lembaga lain. Para nelayan, misalnya, masih sangat jauh dari digitalisasi pasar. Mereka masih mengandalkan pasar yang sangat konvesional. ”Nelayan bahkan sangat sulit lepas dari tengkulak,” kata Grace.