Kelestarian Burung Berkicau Terancam karena Perburuan dan Perdagangan
Berdasarkan pemantauan Yayasan Planet Indonesia (YPI), 202 jenis burung berkicau diperdagangkan secara daring pada Juli 2019-Maret 2022. Sebanyak 57 di antaranya termasuk jenis dilindungi.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Burung berkicau marak diburu dan diperdagangkan sebagai satwa peliharaan serta digunakan dalam perlombaan. Hal tersebut mengancam kelestariannya. Padahal, burung berkicau berperan sebagai penyerbuk alami, penyebar biji, pengendali hama, serta indikator perubahan lingkungan hingga perubahan musim.
Berdasarkan pemantauan Yayasan Planet Indonesia (YPI), 202 jenis burung berkicau diperdagangkan secara daring (online) pada Juli 2019-Maret 2022. Sebanyak 57 di antaranya termasuk jenis dilindungi. Nilai perputaran uang yang dihasilkan mencapai Rp 164,63 juta.
YPI merupakan salah satu lembaga konservasi non-pemerintah yang berfokus pada perlindungan satwa liar di Kalimantan Barat, khususnya jenis burung berkicau. Manajer Konservasi YPI Muhammad Wahyu Putra dalam Media Gathering Yayasan Planet Indonesia di Pontianak, Kalbar, Rabu (22/6/2022), mengatakan, perlindungan terhadap jenis-jenis burung di Kalbar, khususnya burung berkicau, tidak bisa dipandang sebelah mata.
”Burung merupakan bagian dari ekosistem dengan fungsi ekologis penting. Kerugian akibat perburuan dan perdagangan burung berkicau secara ilegal tidak dapat diukur secara ekonomi karena dampaknya bagi kelestarian lingkungan dan ekosistem akan sangat signifikan,” ungkap Wahyu.
Spesies burung secara ekologis berfungsi sebagai penyerbuk alami (pollinator) dan penyebar biji (seed dispersal). Selain itu, burung juga berfungsi sebagai pengendali hama, indikator perubahan lingkungan, dan indikator perubahan musim.
Perlindungan terhadap spesies burung berkicau diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Hal itu juga diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Di Indonesia, sanksi bagi yang melanggar aturan tersebut adalah hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Dari persidangan kasus perdagangan burung berkicau terakhir pada April 2022, pelaku hanya divonis 3 bulan penjara dan denda Rp 5 juta, subsider 1 bulan kurungan.
Penanganan terhadap burung berkicau menghadapi permasalahan kompleks, antara lain sanksi yang rendah dan sulitnya aparat dalam mengidentifikasi spesies burung sebagai satwa dilindungi atau tidak. Masalah yang lain, belum maksimalnya kerja sama antarlembaga berwenang serta perilaku masyarakat umum yang masih suka memelihara dan memperjualbelikan burung berkicau.
”Penegakan hukum yang kuat dan putusan yang tegas atas pelanggaran diperlukan untuk mencegah perburuan dan perdagangan ilegal jenis burung berkicau,” ujarnya.
Koordinator Wildlife Trade Unit YPI Anang Aditiya menuturkan, jenis burung berkicau yang sering diperdagangan adalah kucica kampung/kacer (Copsychus saularis), kucica hutan/murai (Copsychus malabaricus), dan cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus).
Jika berbagai jenis burung kicau tidak dilestarikan, akan ada beberapa kerugian, antara lain kepunahan lokal suatu spesies, kehilangan keanekaragaman hayati/genetik, dan wabah penyakit akibat kenaikan hama.
Selain itu, proses penyerbukan tanaman terganggu berakibat hasil panen terganggu. Kemudian, hutan yang sunyi (silent forest) yang bisa diartikan pula indikator isu kerusakan hutan dan gagalnya proses suksesi hutan menyangkut stok karbon dan plasma nutfah.
YPI menyediakan fasilitas pendukung dalam upaya penyelamatan burung berkicau hasil sitaan dari aktivitas perdagangan ilegal. Pusat penyelamatan dan rehabilitasi burung berkicau merupakan yang pertama di Kalimantan yang menyediakan mekanisme dan dukungan infratruktur untuk penyitaan, penyelamatan (perawatan dan rehabilitasi), repatriasi, serta pelepasliaran.
Diperlukan perhatian, pemahaman, dan upaya bersama dalam mengatasi permasalahan tentang perlindungan burung berkicau di Kalbar. YPI juga melaksanakan kampanye perubahan perilaku melalui pendekatan religius, pengawalan kasus persidangan terkait peredaran satwa liar, termasuk penyerbarluasan edukasi melalui pemberitaan media.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar Sadtata, dihubungi secara terpisah, menuturkan, pihaknya melaksanakan sesuai batas-batas kewenangan upaya menjaga kelestarian burung berkicau. Untuk itu, sudah ada pos-pos di pelabuhan dan bandara untuk melakukan pemantauan. Tim di pos pelabuhan mencegah pengiriman burung ke luar.
BKSDA tidak mempunyai kewenangan penyidikan hukum. Namun, yang dilakukan BKSDA berupa pencegahan dan sosialisasi. Sadtata mengatakan, melakukan proses-proses hukum saja bukan solusi jangka panjang.
Ia menuturkan lebih lanjut, tidak bisa dimungkiri, masyarakat masih ada yang menggantungkan penghasilan dari penjualan burung, terlepas legal atau tidak. Di Kalbar ada penangkaran burung yang legal. ”Kalau masyarakat mau berjualan burung, didorong membuat penangkaran dengan izin,” ujarnya.
BKSDA juga mencoba menggalakkan desa ramah satwa. Program tersebut dalam bentuk mengondisikan desa supaya banyak burung di alam bebas sehingga tamu yang datang dapat melihatnya. Pihaknya masih terus menyosialisasikan program tersebut.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Kalbar Komisaris Besar Jansen Avitus Panjaitan mengatakan, pada prinsipnya Polda Kalbar mengedepankan langkah persuasif melalui peran serta masyarakat agar bisa memahami aturan mana hewan yang dilindungi. Apabila ada masyarakat yang melanggar aturan, akan ada proses secara hukum. Polda Kalbar juga akan tetap berkoordinasi dengan instansi terkait, baik BKSDA maupun instansi lain.
Namun, penegakan hukum merupakan langkah terakhir. Upaya utama yang dilakukan adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran masyarakat. Apalagi, ada hewan yang berkategori dilindungi, artinya ada klasifikasi keunikan dan kelangkaan. Maka, hal ini harus dipahami masyarakat untuk menjaga dan melestarikannya.