Setengah Mati Warga Gebang Ilir Melawan Terjangan ”Perampok Lautan”
Banjir rob terus mengancam hidup dan masa depan warga Cirebon, Jabar. Butuh solusi dan adaptasi tepat untuk mengatasi masalah yang semakin pelik ini.
Warga di Desa Gebang Ilir, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, habis-habisan menghadapi banjir rob yang kian sering datang. Mereka terpaksa begadang, mengeluarkan banyak uang, hingga membangun sistem kewaspadaan sendiri. Tanpa adaptasi, rob pasti mudah ”merampok” harapan dan masa depan warga.
Nuramah (66) bangkit dari duduknya saat melihat air memasuki pekarangan rumahnya di Blok Balong, Desa Gebang Ilir, Senin (20/6/2022) siang. Sambil membungkuk, nenek 16 cucu itu menutup lubang drainase, sumber masuknya air, dengan bongkahan batu dan kantong plastik, yang sudah ia siapkan.
Inilah salah satu kebiasaan Nuramah untuk mencegah banjir rob. Air keruh itu berasal dari muara, sekitar 5 meter dari rumahnya. Jarak dari laut berkisar 1 kilometer.
Hampir setiap hari, air itu membasahi halamannya. Saking seringnya, batako depan terasnya basah dan berlumut.
Jika air laut pasang, banjir rob masuk ke dalam rumahnya hingga lebih dari 30 sentimeter. Bahkan, Senin dan Selasa (23-24/5) lalu, banjir rob merendam jalan permukiman setempat hingga lebih dari 60 cm. ”Saya pulang dari jualan kepiting, rumah kebanjiran,” ucapnya.
Baca juga : Nelayan di Cirebon Keluhkan Rekomendasi Solar Bersubsidi
Air yang menggenangi permukiman sejak maghrib itu baru surut sepenuhnya pukul 01.00 atau lebih dari enam jam. ”Saya sampai nyewa pompa Rp 50.000 supaya air cepat keluar. Semua di sini kurang tidur karena membersihkan bekas banjir. Dengkul dan pinggang sakit semua,” katanya.
Anaknya yang bekerja di Kota Cirebon pun terpaksa absen karena menangani banjir rob di rumah. Nurahmah, ibu enam anak yang membuka warung kecil-kecilan di rumahnya itu, juga harus libur. Waktu itu tidak ada ular yang masuk ke rumahnya seperti banjir rob beberapa waktu sebelumnya.
Selain mengganggu aktivitasnya, banjir rob juga telah merusak perabotannya. Bagian bawah kulkasnya berkarat. Kaki lemari dan meja belajar anak dari kayu pun lapuk dan keropos terkena rembesan air. Aneka barang itu merupakan hasil keringat almarhum suaminya.
Menurut Nuramah, banjir rob kian parah selama lima tahun terakhir. Apa penyebabnya, ia tak tahu. Namun, seingatnya, sejak pertama membangun rumah di Blok Balong tahun 1984, daerah itu dipadati tambak dan mangrove. Belakangan, area itu beralih fungsi menjadi rumah penduduk.
Banjir rob pun mulai menghampiri permukiman warga. Bahkan, katanya, pekarangan rumahnya hampir saban hari terdampak rob saat air laut pasang. Sebagai keluarga nelayan seperti warga lainnya, Nuramah tidak mungkin pindah karena tempat tinggalnya dekat pesisir.
Oleh karena itu, Nuramah berusaha beradaptasi. Tidak hanya menyumpal drainase, ia membuat tanggul setinggi 10 cm di depan pintunya dan pembatas lebih tinggi di pagarnya. ”Rumah ini juga dulu sudah ditinggiin pakai 10 truk pasir. Mungkin habis puluhan juta rupiah,” katanya.
Rumah-rumah baru juga pondasinya lebih tinggi agar terbebas dari ancaman rob. Namun, semua usaha yang dilakukan tidak menjamin bebas dari ancaman air laut.
”Rumah yang itu sudah kosong lagi. Capek, sih, harus bersihin rumah terus karena banjir. Orangnya pindah ke rumah kakaknya,” ucapnya sambil menunjuk bangunan semipermanen depan rumahnya.
Baca juga : Semarang Lautnya Banjir
Sistem kewaspadaan
Sulaeman, Ketua Desa Tanggap Bencana di Gebang Ilir, mengatakan, lebih dari 100 rumah di Blok Balong dan Blok Karangdogolan rentan terdampak banjir rob. Menurut dia, banjir rob semakin menjadi-jadi setelah tahun 2000. Sebelum itu, rob tidak masuk ke rumah warga.
Oleh karena itu, pihaknya mencoba membuat sistem kewaspadaan dini. Sulaeman, misalnya, hampir setiap hari mengecek tinggi pasang air laut via aplikasi Fishing Point di gawainya. Aplikasi itu memprediksi potensi air pasang dan surut di sebuah daerah beserta waktunya.
”Siang ini saja tinggi pasang 0,22 meter. Nanti sore bisa 0,7 meter. Kalau tingginya begini, biasanya sudah masuk permukiman,” ucap pehobi pancing ini sambil menunjukkan aplikasi di telepon pintarnya.
Data itu menjadi rujukan Sulaeman untuk memberi tahu warga potensi rob. Menurut dia, selain pasang air laut, banjir rob di Gebang Ilir juga dipicu pendangkalan Sungai Ciberes dan Sungai Balong.
Baca juga : Banjir Masih Mengancam Cirebon
Saking dangkalnya, perahu nelayan kerap kandas saat air laut surut. Rendahnya tanggul, rusaknya beberapa pintu air, hingga sampah plastik turut memperburuk rob.
Rob juga memperlambat banjir surut di Gebang Ilir. Jika daerah Waled banjir karena luapan Sungai Ciberes sore hari, air sampai ke Gebang subuh hari. ”Makanya, pukul 01.00 malam, saya sudah ketuk-ketuk rumah warga. Mereka sudah tahu harus siap-siap banjir kiriman,” katanya.
Kuwu (Kepala Desa) Gebang Ilir Selamat telah mengajukan permohonan pengerukan sungai ke Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung. Katanya, sungai terakhir dikeruk tahun 2015. Pihaknya juga telah meminta anggota DPRD Jabar menangani banjir rob.
”Desa enggak mampu (mengeruk dan meninggikan tanggul), dan itu bukan wewenang kami,” katanya. Pihaknya berharap pemerintah pusat bisa turun tangan menuntaskan persoalan banjir rob yang menahun di Gebang.
Semakin terdampak
Secara terpisah, Kepala Lembaga Riset Kebencanaan Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas mengatakan, perubahan iklim, pasang surut air laut, dan penurunan tanah menyebabkan banjir rob. Selain Cirebon, kondisi serupa juga terjadi di daerah pesisir Jawa Tengah.
”Semakin ke sini, semakin banyak daerah terdampak. Di Indonesia, ada 112 kabupaten/kota yang kena banjir rob,” ucapnya dalam diskusi grup terfokus secara daring bertema ”Restorasi Ekosistem Mangrove di Pesisir Utara, Desa Mayangan Kabupaten Subang”, Selasa (21/6/2022).
Menurut dia, laju penurunan tanah di pantura cukup tinggi. Di Jakarta, penurunan tanah mencapai 1-11 cm per tahun serta Pekalongan, Semarang, dan Demak mencapai 20 cm per tahun. Adapun tingkat penurunan tanah di Cirebon tercatat 1-3 cm per tahun.
”Risiko banjir rob di pantura mencapai puluhan ribu hektar dan ratusan ribu jiwa akan tergusur dari kampung halamannya. Tahun 2030 diproyeksikan sekitar 80 persen Kota Pekalongan itu akan berada di bawah laut. Di Semarang juga di Demak dan Indramayu (Jabar),” ujarnya.
Tidak mengherankan jika Nuramah, Sulaeman, dan warga Gebang Ilir lainnya cemas dengan banjir rob. Tanpa langkah berani dan luar biasa, rob akan terus merampok dan menenggelamkan rumah dan harapan mereka.
Baca juga : Penurunan Tanah Perparah Banjir Rob di Pantai Utara Jawa