Semarang Lautnya Banjir
Tanpa upaya serius mengatasi laju penurunan tanah, Semarang bukan hanya ”kaline” (sungainya) banjir, sebagaimana dinyanyikan Waljinah pada tahun 1990-an. Namun, Semarang akan semakin identik dengan lautnya yang banjir.
Banjir rob dahsyat yang melanda pesisir Semarang dan sekitarnya pada 23 Mei 2022 menjadi alarm bahaya bagi kota-kota di pantai utara Jawa. Turunnya daratan di kawasan pesisir ini menyebabkan cuaca yang semakin ekstrem dan kenaikan muka air laut karena pemanasan global menjadi lebih membahayakan.
Banjir rob atau masuknya air laut ke daratan memang telah menjadi fenomena rutin di pantai utara (pantura) Jawa, khususnya Jawa Tengah. Namun, banjir rob pada 23 Mei 2022 termasuk yang paling parah dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut Kepala Bidang Pengendalian Taktis dan Evaluasi Operasi, Pusat Pengendalian Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Riswandi, dalam diskusi daring yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kamis (2/6/2022), ada 13 daerah di pantai utara Jawa yang terdampak banjir rob pada 23 Mei, yang terparah di Semarang, Demak, dan Pekalongan.
”Di Semarang ada 14.000 jiwa dan 539 rumah terdampak. Hingga 31 Mei 2022, banjir rob ini belum sepenuhnya teratasi,” katanya.
Baca juga: Waspada Banjir Rob di Sejumlah Pesisir Indonesia
Selain menggenangi rumah warga, banjir rob juga melumpuhkan aktivitas dunia usaha. Sejumlah pabrik dan kegiatan industri terganggu, termasuk kegiatan ekspor-impor, karena terminal peti kemas (TPK) di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, terendam air laut.
Menurut Riswandi, banjir rob berlangsung berhari-hari karena dimensi tanggul jebol cukup luas sehingga area tergenang cukup luas. Selain itu, ada beberapa kawasan seperti cekungan sehingga tidak mudah mengeluarkan airnya.
Sejarah rob
Sekalipun kini menjadi fenomena rutin, banjir laut ke pesisir atau banjir rob sebenarnya baru dikenal di Semarang pada 1990-an. Dalam arsip Kompas, banjir rob di pantura Jawa Tengah pertama kali diberitakan pada Minggu, 4 Mei 1997. Disebutkan, banjir rob menggenangi Kota Lama Semarang, terutama sekitar Pasar Johar, Stasiun Tawang, dan Pelabuhan Tanjung Emas.
Heri Andreas, ahli geodesi dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung, saat menjadi pembicara dalam rapat koordinasi kebencanaan yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia, Jumat (27/5/2022) ,menyebutkan, hingga tahun 1980-an, banjir rob belum dikenal di pantura Jawa.
”Padahal, fenomena pasang surut, termasuk kondisi perigi, telah ada sejak Bumi ini terbentuk,” kata Heri.
Sebelum banjir rob kali ini, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebenarnya telah mengeluarkan peringatan dini banjir rob untuk sejumlah daerah pesisir di Indonesia pada Jumat (13/5/2022). Disebutkan, fase bulan purnama bersamaan dengan perigi—posisi Bulan terdekat dengan Bumi—berpotensi meningkatkan ketinggian pasang air laut maksimum yang lebih signifikan pada 14-20 Mei 2022 (Kompas.id, 14 Mei 2022).
Hal ini menyebabkan banyak pihak awalnya mengaitkan banjir rob di Semarang pada 23 Mei dengan fenomena astronomi. Meski demikian, Heri menegaskan, banjir rob kali ini tidak disebabkan faktor pasang surut ataupun perigi.
Heri menjelaskan, Jakarta yang juga merupakan bagian dari pantai utara Jawa memiliki rezim pasang surut yang mirip dengan Semarang, Pekalongan, dan Demak. Faktanya, pada 23 Mei lalu, Jakarta tidak mengalami banjir rob. Apalagi, data menunjukkan, pada 23 Mei 2022 tidak terjadi pasang tinggi. Pasang surut tertinggi di kawasan ini terjadi pada 19 Mei dan pada 23 Mei justru pasang terendah.
Menguatkan analisis Heri, peneliti Utama Astronomi-Astrofisika, Pusat Riset Antariksa, BRIN, Thomas Djamaluddin mengatakan, bulan purnama terjadi 16 Mei dan perigi tanggal 17 Mei. ”(Banjir rob di Semarang) memang bukan karena bulan purnama dan perigi,” katanya.
Penurunan daratan
Menurut Heri, banjir rob akan mudah dijelaskan ketika tanah pesisir mengalami penurunan (land subsidence), sementara air laut mengalami kenaikan (sea level rise). ”Faktor lain, seperti pasang surut laut dan gelombang tinggi, hanya menjadi faktor penambah bencana rob,” tuturnya.
Fenomena pasang surut, termasuk kondisi perigi, telah ada sejak Bumi ini terbentuk.
Data prediksi pasang surut dari BMKG menunjukkan, pada 23 Mei 2022, pesisir Semarang dan sekitarnya dalam kondisi pasang normal dengan tinggi maksimum 1,1 meter (m). Namun, gelombang tinggi yang mencapai 1,2 meter dan jebolnya tanggul membuat air laut yang memang lebih tinggi dari daratan kemudian memicu banjir.
Baca juga: Waspada Banjir Rob dan Dampak Bibit Siklon
”Jakarta yang juga berada di pantura tidak ada gelombang tinggi, selain tanggulnya sudah lebih kokoh, sehingga tidak mengalami banjir rob,” kata Heri.
Mengacu analisis Tim Reaksi dan Analisis Kebencanaan (TREAK), Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA) BRIN, Thomas mengatakan,dinamika atmosfer di sekitar laut Jawa menyebabkan angin kencang di atas 10 meter per detik yang memicu kenaikan gelombang di Laut Jawa dekat pantai utara Jawa. Hal itulah yang berkontribusi menyebabkan banjir rob di pantura pada 23 Mei 2022.
Kaitan antara turunnya daratan di pantura dan banjir rob sebenarnya bukan hal baru. Mengutip kesimpulan lokakarya pengendalian banjir dan rob oleh Fakultas Teknik Universitas Diponegoro dan Pemda Kodya Semarang pada 1997, banjir rob terjadi karena penurunan permukaan tanah sehingga muka air laut lebih tinggi dari daratan.
Laporan Subdirektorat Hidrogeologi Geologi Tata Lingkungan, Badan Geologi, tahun 1994 juga menyebutkan, penurunan permukaan tanah di Semarang Utara mencapai sekitar 20 cm dalam beberapa tahun (Kompas, 4 Mei 1997).
Penelitian terbaru dari Pei-Chin Wu dkk di jurnal Geophysical Research Letters (2022) menyebutkan, Semarang adalah kota dengan laju penurunan tanah tercepat kedua di antara 99 kota tepi pantai yang diteliti. Laju penurunan tanah di Semarang hanya kalah dari Tianjin, China.
Tak hanya di Semarang, ancaman penurunan tanah juga dialami kota-kota lain di sepanjang pantura Jawa. Penelitian Lapan menunjukkan, laju rata-rata penurunan tanah tertinggi di pantura terjadi di Pekalongan, yaitu 2,1-11 cm per tahun, disusul Jakarta 0,1-8 cm per tahun. Sedangkan Semarang mengalami penurunan 0,9-6 cm per tahun, Kota Surabaya 0,3-4,3 cm per tahun, dan Cirebon 0,28-4 cm per tahun.
Dengan tren penurunan tanah ini, kota-kota di pesisir pantura Jawa dihadapkan pada ancaman serius dari banjir laut. Apalagi, pemanasan global juga mempercepat laju kenaikan permukaan laut. Pada periode 1900-1930 kenaikan muka air laut global hanya 0,6 mm per tahun, tetapi pada 1930-1992 menjadi 1,2 mm per tahun. Pada 1993-2015 kenaikan muka air laut menjadi 3,2 mm per tahun dan pada 2010-2015 menjadi 4,4 mm per tahun.
Dibandingkan turunnya daratan, laju kenaikan air laut ini memang masih relatif kecil. Namun, perubahan iklim juga menyebabkan cuaca lebih ekstrem. Dengan rezim iklim saat ini, peluang terjadinya gelombang tinggi dan angin kencang, seperti terjadi di pantai utara Jawa Tengah pada 23 Mei 2022, bisa lebih sering terjadi.
Mau tidak mau, dalam jangka pendek tanggul harus terus diperkuat dan ditinggikan. Sekalipun demikian, tanggul hanya akan memberikan perlindungan sementara. ”Kalau tanah terus turun, maka suatu saat akan banjir rob juga, tanggul bisa jebol. Itu yang terjadi pada 23 Mei lalu,” kata Heri.
Oleh karena itu, menurut Heri, dalam jangka panjang harus ada upaya serius untuk mengendalikan penurunan tanah. ”Ini sudah serius dilakukan di luar negeri, tapi di Indonesia masih abai,” katanya.
Penurunan tanah memang bisa terjadi karena faktor geologi berupa konsolidasi sedimen aluvial muda serta pergerakan tektonik. Meski demikian, kondisi alami ini tidak akan menyebabkan penurunan tanah yang cepat jika tidak terjadi ekstraksi air tanah berlebihan dan pembebanan bangunan serta struktur.
Tanpa upaya serius mengatasi laju penurunan tanah, di antaranya dengan membatasi pengambilan air berlebih dan mengurangi beban bangunan dan struktur di pesisir, Semarang bukan hanya kaline (sungainya) banjir, sebagaimana lagu ”Jangkrik Genggong” yang dipopulerkan Waljinah pada 1990-an. Namun, Semarang akan semakin identik dengan lautnya yang banjir.