Selama bertahun-tahun, Rusman menceritakan, perubahan cuaca terus terasa. Bertahun-tahun sebelumnya, musim timur biasanya terjadi di awal Juni hingga September atau awal Oktober. Saat ini, musim angin timur baru mulai.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
Selama puluhan tahun, kondisi pesisir di wilayah Kendari terus berubah. Nelayan semakin kesulitan dalam melaut, dan merasakan perubahan iklim yang semakin nyata. Mereka harus melaut lebih jauh, atau mencari pendapatan baru di sektor lain.
Jelang petang, Senin (22/6/2022) di Petoaha, Kendari, Sulawesi Tenggara. Rusman (49) membersihkan bodi miliknya. Perahu dari fiber sepanjang empat meter ini menjadi tumpuan hidupnya belasan tahun terakhir.
Di atas bodi, di tepi Teluk Kendari yang tenang, ayah lima anak ini membersihkan mesin 13 pk yang menempel di perahu. Perahu ini dipakai setiap pagi untuk menangkap cumi, lebih dari 10 mil laut jauhnya.
”Tadi pagi dapat lima tusuk cumi, dijual Rp 40.000 per tusuk. Dikurangi bensin Rp 100.000, masih ada kita bawa pulang,” katanya pelan. ”Kita terima saja, sudah itu rezekinya. Mana tadi cuaca mulai berubah, jadi pulang cepat.”
Di akhir Juni ini, perubahan musim barat ke musim timur mulai terasa. Angin bertiup lebih kencang, membuat gelombang bergerak lebih tinggi. Amuk cuaca sering terjadi, membuat pelayaran menjadi riskan.
Selama bertahun-tahun, Rusman menceritakan, perubahan cuaca terus terasa. Bertahun-tahun sebelumnya, musim timur biasanya terjadi di awal Juni hingga September atau awal Oktober. Saat ini, musim angin timur baru mulai dirasakan.
”Jadi sekarang tidak berani melaut sampai siang. Kapal bisa terbalik digulung ombak. Kalau sudah jam 11 siang, sudah harus pulang. Tadi saja masih rasakan sedikit kapal dihantam ombak,” ceritanya.
Sejak masa remaja, Rusman telah menjadi nelayan di pesisir Kendari. Ia melaut dengan mengayuh sampan yang dibantu layar. Sampan dibawa ke muara teluk, mencari ikan yang mudah ditemui.
Seiring deru zaman, ia mengganti sampan ke perahu fiber bermesin tunggal. Namun, ia kini harus melaut lebih jauh untuk mendapatkan hasil yang diiinginkan. Waktu melaut pun harus lebih lama dari biasanya.
Selama ini, nelayan adalah mata pencaharian utamanya. Hasil dari melaut digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, baik untuk makan maupun hingga menyekolahkan anak. Ia tidak memiliki keahlian lain, atau modal untuk mencari usaha sampingan.
”Kita sudah di sini, mau ke mana lagi. Kalau melaut hasil sedikit, sudah itu rezekinya,” tambahnya.
La Rudi (43), nelayan lain, sedang menyusun fondasi rumahnya di Kelurahan Bungkutoko, Senin siang. Sepekan lalu, rumahnya yang bertahun-tahun dihuni itu terbakar habis. Meski rumahnya tidak bersisa, ia bersyukur tiga anak, dan istrinya selamat.
”Saat itu saya lagi memancing di perairan Sulawesi Tengah. Sudah hampir 10 tahun jadi anak buah kapal memancing cakalang dan tuna. Sekarang kami membangun ulang,” katanya.
Dibantu tetangga dan keluarga, nelayan asal Muna ini membangun sendiri rumahnya. Ia memang memiliki keahlian bangunan. Saat hasil tangkapan kurang, ia nyambi sebagai tukang bangunan dalam berbagai proyek pembangunan. Baik itu skala rumah tangga, maupun perusahaan.
Terlebih lagi, beberapa tahun terakhir, tangkapan terus berkurang. Jika sepuluh tahun lalu ia bisa membawa hingga Rp 4 juta sekali melaut, sekarang di bawah Rp 3 juta. Terakhir melaut lebih kurang satu bulan lamanya, ia bahkan hanya membawa Rp 650.000.
Selain cuaca yang tidak menentu, kondisi perairan juga semakin berubah. Saat hujan tiba, air di perairan keruh dan menguning hingga 20 mil laut jauhnya. Kondisi ini ditengarai akibat maraknya pertambangan nikel di pesisir utara Sultra, dan Sulawesi Tengah. Saat air keruh, mereka tidak bisa memancing karena umpan akan mati dan rusak.
Akan tetapi, saat cuaca panas, tangkapan juga sulit karena ikan jenis cakalang akan berenang lebih dalam. Mereka menghindari panas di permukaan, yang kian hari kian bersuhu tinggi.
”Jadi, mau tidak mau cari ikan tambah susah. Cukup tidak cukup, harus dikasi cukup. Makanya sering kerja di darat juga bisa bisa dapat tambahan,” ucap Rudi.
Pengajar Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo Safril Kasim menerangkan, hasil riset selama ini menunjukkan memang terjadi fluktuasi iklim yang cukup tajam di wilayah Kendari dan sekitarnya. Perubahan paling nyata terjadi pada pola hujan, intebsitas, durasi, hingga kecepatan angin.
Salah satu yang paling mudah terlihat, ia mencontohkan, adalah periodisasi banjir besar di wilayah daratan Kendari. Saat banjir besar melanda wilayah ini pada 2013 lalu, terjadi pada akhir Maret. Namun, empat tahun setelahnya, banjir besar terjadi pada Juli. Kondisi ini ditengarai akibat perubahan iklim yang terus terjadi.
Sebagai wilayah pesisir, perubahan iklim berdampak nyata pada masyarakat. Salah satunya adalah penurunan jumlah tangkapan, yang berujung pada kesejahteraan nelayan. Akibatnya, masyarakat harus beradaptasi untuk bertahan hidup.
”Beberapa yang punya modal membeli kapal yang lebih besar, moderen, dengan perangkat teknologi terbaru. Konsekuensinya, mereka harus melaut lebih jauh untuk mendapatkan tangkapan banyak. Sementara nelayan kecil yang dominan, tidak bisa berbuat banyak,” ujarnya.
Oleh sebab itu, sebagian dari nelayan ini mencari penghasilan baru di daratan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pemerintah harus mencari cara untuk melindungi dan membantu para nelayan agar tetap bisa melaut dan menghasilkan lebih baik.
Tidak hanya itu, mitigasi akan perubahan iklim harus dilakukan secara kontinyu. Tanaman penyerap karbon, serupa mangrove, harus dipertahankan dan diperluas di banyak lokasi.
”Hanya saja, melihat mangrove di Teluk Kendari saja yang ada di depan mata, kondisinya semakin memprihatinkan. Pemerintah belum serius melihat hal ini secara lebih luas, meski dampak nyata telah dirasakan masyarakat kecil,” ujarnya.