Merambah Lahan Perkebunan, Mantan Calon Wali Kota Palembang Ditahan
Polda Sumsel menetapkan mantan calon wali kota Palembang Mularis Djahri sebagai tersangka perambah lahan perkebunan milik PT Laju Perdana Indah seluas 4.300 hektar. Kerugian akibat tindakan ini hingga Rp 700 miliar.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Kepolisian Daerah Sumatera Selatan menetapkan mantan calon wali kota Palembang Mularis Djahri sebagai tersangka perambah lahan perkebunan tebu milik PT Laju Perdana Indah seluas 4.300 hektar di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan. Ia juga ditahan. Kerugian negara akibat tindakan itu ditaksir mencapai Rp 700 miliar.
Kepala Polda Sumsel Inspektur Jenderal Toni Harmanto, di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (21/6/2022), menjelaskan, setelah melakukan penyelidikan selama satu tahun dengan memeriksa sekitar 33 saksi dan menyita sejumlah dokumen, pihaknya menetapkan Mularis Djahri, Direktur PT Campang Tiga yang beroperasi di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumsel, sebagai tersangka. Dari hasil penyelidikan diketahui Mularis telah melakukan perambahan lahan hutan seluas 4.300 hektar milik PT Laju Perdana Indah (LPI).
Kasus ini bermula dari adanya saling lapor antara PT LPI dan PT Campang Tiga yang sudah terjadi sejak 2005. PT Campang Tiga melaporkan adanya pembuatan dokumen palsu, sedangkan PT LPI melaporkan terkait perambahan lahan. Bahkan, kasus ini sempat ditangani oleh Bareskrim Polri.
Pada 2021, Polda Sumsel kembali melakukan penyelidikan bekerja sama dengan Pemprov Sumsel, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Wilayah Sumsel dan Kepulauan Bangka Belitung, serta Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumsel.
Agar proses pemeriksaan berlangsung lancar, ungkap Toni, pihaknya telah menyegel 4.300 hektar lahan yang sedang disengketakan dan tidak bisa beroperasi sampai proses hukum selesai. ”Tersangka pun sudah kami tahan sejak Senin (20/6/2022) malam,” ungkapnya.
Modus yang Mularis gunakan adalah mengklaim lahan hak guna usaha (HGU) PT LPI seluas 4.300 hektar yang kebetulan letaknya bersebelahan dengan konsesi milik PT Campang Tiga. Padahal, kedua perusahaan menggarap komoditas yang berbeda. PT Campang Tiga menggarap kelapa sawit, sedangkan PT LPI menggarap tanaman tebu.
Dengan lahan yang bukan miliknya, ujar Toni, tersangka menanam sawit di lahan itu dan melakukan usaha jual-beli minyak sawit mentah kepada salah satu perusahaan mitra hingga belasan tahun. Tidak hanya, itu, dia juga menggunakan lahan tersebut untuk berurusan dengan bank.
Penyelidikan tidak akan berhenti sampai di sini. Pihaknya juga mencari kemungkinan adanya tindak pidana pencucian uang. (Komisaris Besar Barly Ramadhany)
Kepala Kantor Wilayah BPN Sumsel Kalvyn Andar Sembiring merinci, PT LPI mendapatkan izin lokasi pada 1994 seluas 33.000 hektar. Dari jumlah tersebut baru 24.000 hektar yang diusahakan. Adapun PT Campang Tiga mendapatkan izin lokasi pada 2004 seluas 1.200 hektar, tetapi perusahaan tersebut merambah 4.300 hektar lahan milik PT LPI dengan alasan bersebelahan.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sumsel Komisaris Besar Barly Ramadhany mengatakan, penyelidikan tidak akan berhenti sampai di sini. Pihaknya juga mencari kemungkinan adanya tindak pidana pencucian uang. ”Termasuk memeriksa apakah ada uang dari hasil perambahan yang digunakan untuk kegiatan politik tersangka,” ucapnya.
Mularis merupakan calon wali kota Palembang yang mengikuti pilkada pada 2013 dan 2018. Sebelumnya, Mularis juga pernah terbelit kasus perbankan karena mengagunkan obyek yang sama untuk dua bank berbeda. Namun, kasus ini ditangguhkan saat Mularis menyelesaikan kewajiban kepada bank.
Adapun kerugian yang ditimbulkan, Barly menaksir mencapai Rp 700 miliar yang merupakan hasil penjualan minyak sawit mentah yang dihasilkan dari lahan yang bukan haknya. ”Kerugian tersebut belum termasuk potensi pajak yang hilang akibat perambahan ini,” ujarnya.
Atas perbuatannya, Mularis dijerat dengan pasal berlapis, yakni Pasal 107 Huruf (D) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). ”Tersangka terancam hukuman penjara maksimal 20 tahun,” ucap Barly.
Kepala Kanwil DJP Sumsel Babel Romadhaniah menuturkan, secara formal, tersangka termasuk taat dalam pelaporan surat pemberitahuan pajak. Hanya saja sejak kasus ini bergolak pada 2019, pelaporan tidak lagi berlangsung.
Menurut dia, perbuatan tersangka dapat merugikan negara karena hilangnya potensi Pajak Bumi dan Bangunan serta pendapatan asli daerah (PAD). Apalagi daerah mendapatkan alokasi dana bagi hasil dari pemerintah pusat. ”Dengan terungkapnya kasus ini diharapkan kerugian negara secara berkelanjutan bisa diminimalisasi,” ujarnya.