Opsi Jembatan Layang Batal, Geometri Jalur Sitinjau Lauik Dibenahi Mulai 2023
Opsi pembangunan jembatan layang untuk membenahi jalur Sitinjau Lauik di Kota Padang, Sumatera Barat, dibatalkan karena memakan biaya besar. Alternatifnya, geometri jalan akan diperbaiki.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Opsi pembangunan jembatan layang atau flyover untuk membenahi jalur Sitinjau Lauik di Kota Padang, Sumatera Barat, dibatalkan karena memakan biaya besar di tengah sulitnya kondisi keuangan negara akibat pandemi Covid-19. Walakin, jalur rawan kecelakaan dan kemacetan itu tetap bakal dibenahi mulai 2023 dengan mengubah geometri jalan.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumbar Medi Iswandi, Sabtu (18/6/2022), mengatakan, pemerintah pusat melalui Kementerian PUPR, sejak 2013, menyusun beberapa dokumen dan alternatif model pembenahan jalan nasional tersebut. Ada dua pilihan, yaitu model jembatan layang dan perubahan geometri jalan.
Model jembatan layang yang cantik dan megah, kata Medi, sempat viral di media sosial. Namun, biayanya sangat besar. Untuk jembatan layang pertama di titik Panorama I Sitinjau Lauik biayanya hampir Rp 1,5 triliun, sedangkan jembatan layang kedua di titik Panorama II Sitinjau Lauik hampir Rp 2,5 triliun.
”Belum lagi memperhitungkan kondisi rawan gempa yang tentu konstruksinya akan menjadi semakin mahal sehingga Kementerian PUPR mencari alternatif lain, yakni mengubah geometri jalan existing. Itu yang disepakati saat musrembangnas pada Mei lalu,” kata Medi, Sabtu.
Medi melanjutkan, pada opsi perubahan geometri jalan, bentuknya bisa jadi ada jalan layang tetapi tidak seperti yang viral di media sosial. Jalan saat ini tetap dipakai dan diperlebar ke arah jurang, kemudian menembus tebing, agar kemiringan tidak tajam seperti sekarang. Biayanya pun tentu lebih murah.
”Output dan outcome yang kami inginkan sudah sampai, tetapi metode kan macam-macam, tentu dicari yang paling murah dengan kondisi keuangan negara yang sedang susah setelah Covid-19. Tujuan kami ingin jalan aman, lancar, tidak begitu curam lagi sehingga potensi kecelakaan berkurang,” ujar Medi.
Jalan saat ini tetap dipakai dan diperlebar ke arah jurang, kemudian menembus tebing, agar kemiringan tidak tajam seperti sekarang.
Menurut Medi, Kementerian PUPR sedang menghitung perkiraan anggaran untuk opsi perubahan geometri jalan. Kementerian PUPR mengevaluasi desain jembatan layang sebelumnya, mempertimbangkan titik mana yang desainnya bisa dipakai, dan bagaimana memperbaiki geometri jalan dengan harga jauh lebih murah. Pembangunan fisik ditargetkan dilakukan pada 2023.
Pembatalan rencana pembangunan jembatan layang itu, kata Medi, juga mempertimbangkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang berakhir 2024. Dengan besarnya anggaran jembatan layang, dikhawatirkan pembangunan tidak akan selesai dan tidak masuk RPJMN pemerintahan berikutnya.
Rawan kecelakaan
Medi menambahkan, pemerintah provinsi sebelumnya mengusulkan perbaikan jalur Sitinjau Lauik, terutama di Panorama I dan II, karena rawan kecelakaan dan macet. Rata-rata frekuensi kecelakaan di jalur itu 50 kali setahun. Adapun jalan nasional itu merupakan jalur utama kendaraan pengangkut hasil bumi dan bahan pokok dari arah timur Sumbar, seperti Dharmasraya dan Jambi, menuju Pelabuhan Teluk Bayur dan ibu kota Sumbar.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa, dalam kunjungannya tahun lalu, meminta kajian rencana pembangunan Jembatan Layang Sitinjau Lauik dipercepat. Ia berharap jembatan layang mulai dibangun tahun depan dan selesai pada 2024 (Kompas, 9/4/2021).
”Kondisinya layak untuk dibangun. Sejak tahun 2012 sudah direncanakan, sudah ada feasibility study (studi kelayakan). Jadi, kami me-review. Saya minta review-nya harus dipercepat. Paling tidak tahun depan bisa di-groundbreaking, tahun 2024 selesai,” kata Suharso, Kamis (8/4/2021), seusai mengunjungi tikungan Panorama I Sitinjau Lauik, jalan nasional Padang-Solok, Kecamatan Lubuk Kilangan, Padang.
Jalan tikungan itu memiliki turunan dan belokan tajam sehingga berisiko bagi pengemudi kendaraan. Demi keselamatan berkendara, akan dibangun Jembatan Layang Sitinjau Lauik sepanjang 2,6 kilometer. Biaya pembangunan sekitar Rp 1,28 triliun, kemungkinan sumber pendanaan dari Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Suharso menyebutkan, pembangunan Jembatan Layang Sitinjau Lauik merupakan salah satu dari 35 megaproyek dalam RPJMN 2020-2024. Panjang jalur di kawasan Sitinjau Lauik sekitar 15 kilometer, menghubungkan Padang-Solok serta jalur logistik Sumbar-Jambi. Kepadatan jalan yang banyak dilalui kendaraan berat itu sebesar 0,8. Tanjakan dan tikungan tajam di jalur itu rawan terjadi kecelakaan. Selama periode 2016-2020, jumlah kecelakaan di jalur itu mencapai 50 kasus dengan jumlah korban meninggal 4-5 jiwa per tahun.
Secara terpisah, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Sumbar Purnawan mengatakan, semakin lama volume lalu lintas di jalur Sitinjau Lauik semakin tinggi dan banyak truk besar. Hal itu menjadi persoalan. Selain rawan kecelakaan, kondisi tersebut sering memicu kemacetan.
”Itu yang jadi masalah saat ini. Jika lewat sana, saya selalu berhenti, apalagi pagi atau sore, ramai, antre di sana. Apalagi ada truk-truk besar, berhenti lama. Sekarang jadi bagian penyebab macet di sana. Apalagi ada truk besar, antre bawa sawit dan batubara, itu sudah repot, sering sekali terjadi kecelakaan,” katanya.
Purnawan, yang juga dosen transportasi di Jurusan Teknik Sipil Universitas Andalas itu, melanjutkan, jalur Sitinjau Lauik memang mesti diperbaiki. Idealnya pembenahan berupa jembatan layang seperti Jembatan Layang Kelok Sembilan di Limapuluh Kota. Menurut dia, jembatan layang mestinya tetap dibangun karena volume kendaraan terus meningkat dan truk besar semakin banyak serta sering kecelakaan.
”Dua sisi itu yang menjadi faktor perlunya dibangunnya jembatan layang. Sebenarnya, memang secara bertahap, karena biaya Rp 1,2 triliun (jembatan layang di panorama I) cukup besar. Di Kelok Sembilan dulu, juga bertahap, panjang, bertahun-tahun,” ujar Purnawan.
Alternatif perbaikan geometri jalan, misalnya pelebaran jalan, kata Purnawan, relatif susah dilakukan. Kecuali, jalur baru memotong bukit, untuk sementara bisa dilakukan. Namun, tetap butuh biaya besar dan efeknya kurang signifikan karena tanjakan tetap tinggi.
”Rencana perbaikan geometri jalan memang bisa. Namun, kalau hanya pelebaran jalan lama, tidak akan menyelesaikan masalah karena tanjakannya sangat curam. Hanya bisa dipotong bukitnya, tetapi juga tidak berubah banyak, tidak signifikan. Kalau menurut saya, (idealnya) seperti Kelok Sembilan, bertahap saja,” katanya.