Terbukti Korupsi, Alex Noerdin Divonis 12 Tahun Penjara
Rabu malam, mantan Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara. Dia terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan.
Mantan Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan penjara. Dia terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan atas dua kasus berbeda yang menyebabkan kerugian negara hingga ratusan miliar rupiah.
Vonis dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Yoserizal di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang, Rabu (15/6/2022). Adapun Alex menyaksikan proses sidang secara daring dari LP Kelas 1 Palembang. Selain Alex, hakim juga membacakan vonis untuk dua terdakwa lain, yakni Muddai Madang, dan Caca Isa Saleh. Sementara vonis untuk terdakwa Ahmad Yaniarsyah Hasan baru akan dibacakan pada Kamis (16/6/2022) karena waktu yang telah larut.
Dalam sidang putusan yang berlangsung selama sembilan jam itu, hakim menyatakan, Alex terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan atas kasus pembangunan Masjid Raya Sriwijaya dan pembelian gas bumi bagian negara melalui Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE). Karena itu, dia dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Namun, vonis yang disampaikan majelis hakim ini jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung. Sebelumnya jaksa menuntut Alex dengan pidana penjara hingga 20 tahun dan membayar uang pengganti Rp 2,13 miliar dan 30,2 juta dollar AS. Apabila uang pengganti tersebut tidak dibayarkan, seluruh asetnya disita dan jika tidak mencukupi diganti dengan pidana penjara sepuluh tahun.
Alex tidak dibebankan pidana tambahan karena hakim berpendapat, jaksa belum mampu membuktikan hasil korupsi yang mengalir ke kantong Gubernur Sumsel dua periode itu. ”Karena itu, terdakwa (Alex) tidak perlu membayar uang pengganti,” ujar Yoserizal. Hakim juga meminta agar seluruh rekening, giro, dan deposito milik Alex dan istrinya, Sri Eliza, tidak lagi diblokir.
Baca juga : Alex Noerdin Didakwa Memperkaya Diri Sendiri dan Orang Lain dalam Dua Perkara
Dalam kasus PDPDE, selaku Gubernur Sumatera Selatan kala itu, Alex mengajukan izin kepada Badan Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) atas alokasi pembelian gas bumi bagian negara dari JOB PT Pertamina, Talisman Ltd, Pacific Oil and Gas Ltd, Jambi Merang (JOB Jambi Merang) sebesar 15 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Gas tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi di sejumlah kawasan industri di Sumatera Selatan.
Namun, dalam pelaksanaannya, terjadi sejumlah kesalahan prosedur. Dengan dalil tidak punya pengalaman teknis terkait pengelolaan gas dan dana, PDPDE Sumsel menggandeng investor swasta, yakni PT Dika Karya Lintas Nusa (DKLN) milik Muddai.
Perjanjian kerja sama ini ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Caca selaku Direktur Utama PDPDE Sumsel dan Muddai selaku pemilik dari PT DKLN pada 2 Desember 2009. Akan tetapi, penandatanganan ini dianggap tidak sah karena tanpa disertai izin prinsip dari Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin.
Persetujuan izin prinsip tentang pembentukan PDPDE Gas dikeluarkan pada 16 Desember 2009 dengan komposisi kepemilikan saham 15 persen untuk PDPDE Sumsel dan 85 persen untuk PT DKLN. Dengan syarat, segala peralatan, tenaga ahli, dan setoran modal awal ditanggung seluruhnya oleh PT DKLN.
Hanya saja, penentuan komposisi saham dilakukan tanpa didahului studi kelayakan, analisis, dan pertimbangan dari Badan Pengawas Perusahaan Daerah Provinsi Sumatera Selatan. Muddai tidak pernah menyetorkan modal awal pada PDPDE Gas sebesar Rp 7,5 miliar. Sebaliknya, dengan sengaja, ia meminta Yaniarsyah untuk tetap mencatatkan nominal penyetoran modal awal itu dalam laporan keuangan PDPDE Gas.
Tentu saja saya tidak setuju dengan keputusan hakim dan saya mengajukan banding.
Dalam penunjukan direksi pun Alex terbukti melakukan sejumlah pelanggaran seperti rangkap jabatan. Selain menjabat sebagai Direktur Utama PDPDE Sumsel, Caca juga memegang posisi Direktur Utama PDPDE Gas. Padahal, rangkap jabatan merupakan hal yang dilarang dalam sebuah pembentukan perseroan terbatas karena sarat dengan konflik kepentingan. Setali tiga uang, Yaniarsyah juga merangkap jabatan, yakni sebagai Direktur PDPDE Sumsel sekaligus Komisaris PDPDE Gas.
Kekhawatiran itu pun terbukti. Caca menyalahgunakan jabatannya untuk mengalihkan hak pengelolaan dan pemanfaatan gas bumi bagian negara dari JOB Jambi-Merang dari PDPDE Sumsel ke Muddai melalui PDPDE Gas. Pengalihan ini dinilai tidak sah karena tanpa menyematkan persetujuan dari JOB Jambi-Merang.
Muddai dan Yaniarsyah juga melakukan rekayasa laporan keuangan PDPDE Gas pada akun utang pemegang saham yang dikonversi menjadi modal PT DKLN di PDPDE Gas sebesar 4,9 juta dollar AS. Padahal, utang PDPDE hanya Rp 2,6 miliar dan 1,05 juta dollar AS dengan beberapa di antaranya sudah dibayarkan. Rekayasa ini membuat komposisi modal PT DKLN di PDPDE Gas bertambah.
Masjid Sriwijaya
Sementara untuk kasus Masjid Raya Sriwijaya, Alex dinilai telah melakukan tindak pidana korupsi karena menyalurkan dana hibah tanpa melalui prosedur yang benar. Misalnya, pada pemberian dana hibah tahun 2015 sebesar Rp 50 miliar tidak didahului dengan pengajuan proposal dari yayasan dan tidak disertai dengan naskah perjanjian hibah daerah.
Pada 2017, hibah kembali dikucurkan, kali ini sebesar Rp 80 miliar. Namun, ini tidak didahului dengan laporan pertanggungjawaban dari yayasan tentang penggunaan dana hibah tahun 2015. Selain itu, Alex juga seakan membiarkan masjid dibangun di atas lahan yang bermasalah sehingga risiko gagal bangun sangat besar terjadi.
Perbuatannya itu juga menimbulkan kerugian negara. Dari hasil audit investigasi, kerugian yang muncul pada kasus PDPDE sebesar Rp 2,13 miliar dan 30,2 juta dolar AS. Sementara untuk kasus Masjid Raya Sriwijaya, kerugian yang muncul sekitar Rp 64,05 miliar.
Kesalahan prosedur inilah yang membuat hakim menilai Alex telah memperkaya orang lain dan korporasi. Untuk kasus PDPDE, Alex dinilai telah memperkaya Muddai, Caca, dan Yaniarsyah. Mereka mendapatkan keuntungan dari pengalihan saham dan usaha patungan antara PDPDE Sumsel dan DKLN.
Atas vonis ini, Alex langsung mengajukan banding. ”Tentu saja saya tidak setuju dengan keputusan hakim dan saya mengajukan banding,” ujarnya.
Tindak pidana pencucian uang
Dalam kasus PDPDE, selain terbukti melakukan tindak pidana korupsi, Muddai dan Caca juga dijerat dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Mereka terbukti mengambil keuntungan (fee) dari proses pengalihan saham dari PDPDE Sumsel ke PDPDE Gas. Selain itu, mereka juga sengaja menyamarkan kekayaan dari hasil keuntungan tersebut.
Dari hasil audit investigasi, Muddai terbukti telah menerima fee Rp 36 miliar. Karena itu, hakim memvonisnya dengan penjara selama 12 tahun dan denda Rp 5 miliar subsider 1 tahun penjara. Muddai juga dibebani dengan pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 36 miliar.
Adapu Caca divonis dengan pidana penjara selama 11 tahun dan denda Rp 3 miliar subsider 1 tahun penjara. Dia pun dikenai pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 4,6 miliar sesuai dengan nilai uang yang ia korupsi. Atas keputusan ini, keduanya memutuskan untuk pikir-pikir.
Baca juga : Korupsi Dua Perkara, Bekas Gubernur Sumsel Dituntut 20 Tahun Penjara
Di luar ruang sidang, Waldus Situmorang, kuasa hukum Alex Noerdin berpendapat, dengan tidak dibebankannya uang pengganti itu membuktikan bahwa kliennya tidak melakukan tindak pidana korupsi.
”Dalam artian tidak mendapatkan sepeser pun mengenai uang yang dituduhkan merugikan negara. Dengan begitu jika tidak terbukti menerima uang sebenarnya klien kami tidak melakukan perbuatan melawan hukum,” tuturnya.
Dalam waktu dekat, ujar Waldus, pihaknya akan segera membawa perkara ini ke pengadilan tinggi dengan tujuan mengajukan banding. Kliennya pun tanpa keraguan langsung mengajukan banding tanpa pikir-pikir terlebih dahulu.
Di sisi lain, dia menyayangkan banyaknya fakta persidangan yang dikesampingkan oleh majelis hakim. Misalnya, terkait rangkap jabatan yang boleh dilakukan untuk kerja sama business to business dengan jangka waktu kurang dari satu tahun.
Heru Andeska, kuasa hukum Muddai, menyayangkan penetapan hakim yang memvonis kliennya melakukan TPPU. Menurut dia, banyak fakta persidangan yang dikesampingkan, seperti keterlibatan 11 individu dan satu badan usaha dalam kasus ini.
Menurut dia, penetapan ini bisa menjadi preseden buruk yang bisa menghambat investasi di Sumsel. Di sisi lain, ia mengapresiasi vonis hakim yang membebaskan Muddai dari segala tuduhan atas kasus Masjid Raya Sriwijaya.
Jaksa dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, Naimullah, menyatakan pikir-pikir atas keputusan hakim. Menurut dia, perbedaan antara vonis dan tuntutan adalah hal yang wajar.
Meskipun begitu, dalam beberapa hal, hakim juga tetap mengacu pada dakwaan yang disampaikan. ”Masih ada upaya hukum yang bisa ditempuh,” ucapnya.