Kekurangan Guru, Pemkot Palembang Tolak Penghapusan Tenaga Honorer
Pemerintah Kota Palembang masih membutuhkan tenaga honorer. Mereka berkontribusi besar dalam memenuhi kekurangan 4.000 guru di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pemerintah Kota Palembang masih membutuhkan tenaga honorer. Mereka berkontribusi besar dalam memenuhi kekurangan 4.000 guru di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Wacana penghapusan status honorer dikhawatirkan akan memperbesar ketimpangan dalam pendidikan.
Hal ini mengemuka dalam pertemuan antara Pemerintah Kota Palembang dan anggota Komisi X DPR, Senin (13/6/2022). Hadir dalam pertemuan tersebut perwakilan guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah di Palembang.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Palembang Ahmad Zulinto menuturkan, sampai saat ini, Palembang masih kekurangan 4.000 guru di tingkat sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama. Kekurangan ini disebabkan oleh moratorium penerimaan guru yang sudah terjadi sejak 10 tahun terakhir.
Sampai saat ini, hanya ada sekitar 2.000 guru SD dan 1.000 guru yang berstatus aparatur sipil negara (ASN). Sisanya dipenuhi dengan guru honorer. ”Bahkan ada di antara mereka yang bekerja hingga 15 tahun, tapi sampai sekarang tak kunjung diangkat menjadi ASN,” ungkapnya.
Titik terang sempat muncul dengan dibukanya P3K. Hanya saja, lowongan yang tersedia tidak menampung seluruh guru honorer di Palembang. Kekhawatiran kian memuncak dengan adanya wacana penghapusan tenaga honorer.
”Jika wacana itu terealisasi, dikhawatirkan akan kekurangan guru. Akibatnya, hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang memadai akan terabaikan,” ucap Zulinto.
Sebenarnya, ujar Zulinto, pemerintah pusat sudah memberikan kesempatan bagi pemkot Palembang untuk mengusulkan kuota dalam program P3K. Hanya saja, ada hal yang memberatkan, yakni pemberian tunjangan bagi P3K adalah kewajiban pemerintah kota.
”Terus terang dengan anggaran yang ada saat ini, sulit untuk memberikan tunjangan P3K sesuai dengan ASN. Walaupun dipaksakan, kami hanya mampu memberikan tunjangan Rp 500.000 per orang,” ujarnya.
Jika wacana itu terealisasi, dikhawatirkan akan kekurangan guru. Akibatnya, hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang memadai akan terabaikan. (Ahmad Zulinto)
Kalaupun benar honorer akan dihapus, Zulinto yang juga menjabat sebagai Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sumsel ini juga berharap agar pemerintah pusat mengangkat tenaga honorer secara bertahap. ”Kalau perlu, bagi mereka yang sudah mengabdi hingga puluhan tahun, tidak perlu dites lagi,” ungkapnya.
Anggota Komisi X DPR, Andreas Hugo Pareira, menuturkan, sulit untuk mengangkat guru honorer menjadi P3K tanpa melalui tahapan tes. Hal ini karena banyak orangtua murid yang menginginkan guru yang mengajar di sekolah negeri memiliki kompetensi dan kemampuan yang memadai.
Baca juga:
November 2023, Sistem Tenaga Honorer Pemerintahan Dihapus
Terkait tunjangan, Andreas berpendapat, itu merupakan kewajiban dari pemerintah pusat dengan menggunakan dana APBN. Hal inilah yang harus disosialisasikan kepada pemerintah daerah sehingga tidak salah persepsi sehingga mereka tidak ada kekhawatiran untuk mengusulkan kuota P3K yang dibutuhkan.
Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf mengaku kaget dengan adanya wacana penghapusan tenaga honorer yang dilontarkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI.
Menurut dia, wacana ini muncul akibat kurangnya koordinasi antara lembaga dan kementerian. Sebenarnya pemerintah pusat menyediakan sekitar 1 juta orang P3K. Dari jumlah itu, baru terpenuhi 600.000 orang P3K. ”Masih ada peluang bagi tenaga honorer untuk memenuhi kekosongan tenaga P3K tersebut,” katanya.
Peningkatan kapasitas
Di sisi lain, ucap Dede, diperlukan upaya untuk meningkatkan kapasitas guru untuk mendukung penerapan kurikulum merdeka belajar. Tidak bisa dimungkiri masih banyak guru, terutama yang sudah lama mengabdi belum bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi.
Itulah sebabnya, ada program guru dan sekolah penggerak yang salah satu tujuannya untuk memperluas kapasitas guru di Indonesia. Mereka akan didampingi oleh tenaga pendamping agar dapat menelurkan inovasi di tempat mereka mengajar.
Dengan begitu, diharapkan delapan standar nasional pendidikan, seperti standar guru dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, serta standar pengelolaan dapat tercapai. Namun memang, agar hal itu tercapai, dibutuhkan penyelesaian bertahap karena memang anggaran yang tersedia sangat terbatas. ”Karena itu, perlu ada skala prioritas hal mana yang perlu didahulukan,” ucap Dede.
Selama ini, banyak sekolah yang terbentur dengan ketersediaan sarana dan prasarana terutama mereka yang tinggal di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar.
”
Banyak daerah yang jaringan internetnya belum memadai sehingga proses belajar-mengajar tidak optimal,
”
ujar Dede.
Pada tahun 2023, ujar Dede, pemerintah pusat akan menganggarkan bantuan bagi sekolah untuk melengkapi sarana pendidikannya melalui dana alokasi khusus. ”Namun, saya berharap agar pembelian sarana pendidikan disesuaikan dengan kondisi daerahnya,” ujar Dede.
Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Samto menerangkan, jika mengacu pada delapan standar nasional pendidikan tentu membutuhkan waktu yang lama. Karena itulah, diciptakan kurikulum merdeka pendidikan yang memberikan keleluasaan bagi satuan pendidikan dalam menciptakan skema pembelajaran di sekolahnya.
Nantinya setiap guru dan sekolah penggerak akan didampingi oleh pelatih ahli untuk menciptakan inovasi dalam mengembangkan proses belajar-mengajar. Sekolah penggerak ini akan menjadi contoh bagi sekolah lain dalam menciptakan skema pembelajaran yang inovatif.
”Pendampingan tidak hanya diterapkan pada sekolah dengan infrastruktur yang memadai, tetapi juga untuk sekolah yang sarana dan fasilitas terbatas,” katanya.
Dari pendampingan itu, guru dan sekolah penggerak diharapkan dapat menularkan kemampuannya kepada sekolah lain yang tidak mendapatkan pendampingan. Dengan skema ini, diharapkan pemerataan pendidikan akan terealisasi.