Tanpa Wawasan Kebangsaan untuk Anak Muda, Intoleransi Mengancam Bonus Demografi di Indonesia
Intoleransi dan radikalisme mengancam generasi muda. Padahal, pemuda menjadi masa depan Indonesia. Untuk itu, semua pihak perlu menanamkan dan menjaga wawasan kebangsaan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Indonesia tengah memasuki puncak demografi dengan mayoritas penduduk usia produktif. Namun, paham intoleransi dan radikalisme juga mengancam generasi muda saat ini. Untuk itu, semua pihak perlu menanamkan dan menjaga wawasan kebangsaan kepada anak muda.
Demikian benang merah seminar bertema ”Indonesia Rumah Bersama, Merawat Kebinekaan dalam Bingkai Keindonesiaan” yang digelar GUSDURian Cirebon di Institute Sekolah Islam (ISIF) Fahmina, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (6/6/2022). Tokoh agama, aktivis keberagaman, santri, dan mahasiswa turut serta dalam kegiatan itu.
Hadir sebagai pembicara Analis Kebijakan Ahli Madya Bidang Karakter dan Wawasan Kebangsaan di Kementerian Dalam Negeri Bangun Sitohang, rohaniawan Katolik Romo Antonius Haryanto, dan Komala Dewi dari Fahmina Institute. Adapun Rektor ISIF KH Marzuki Wahid membuka dan menjadi pembicara kunci dalam diskusi tersebut.
Menurut Bangun, berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2020, proporsi generasi Z (lahir 1997-2012) dan generasi melenial (lahir 1981-1996) masing-masing sebesar 27,94 persen dan 25,87 persen dari sekitar 270 juta warga Indonesia. Artinya, generasi muda mendominasi jumlah penduduk dan menentukan masa depan negeri ini.
”Akan tetapi, ada tantangan pada kesadaran (generasi muda) untuk mau memelihara empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika),” ujarnya. Menurut Bangun, praktik intoleransi yang tidak terima dengan perbedaan hingga pemuda yang terlibat radikalisme menunjukkan belum semua generasi muda memahami wawasan kebangsaan.
Sepasang suami-istri pelaku bom bunuh diri di Makassar, Sulawesi Selatan dan penyerang Markas Besar Kepolisian Negara RI di Jakarta tahun 2021, misalnya, sama-sama lahir pada 1995 atau masih berusia 25-26 tahun. Ketika peristiwa bom bunuh diri pada awal 2000, mereka masih duduk di bangku sekolah dasar.
”Apa yang terjadi sekarang itu bukan baru kemarin, tetapi karena 20 tahun lalu mereka tidak dididik wawasan kebangsaan,” kata Bangun. Ia menilai, wawasan kebangsaan yang mengedepankan Bhinneka Tunggal Ika tidak dipahami seutuhnya sejak Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) tidak lagi diajarkan seperti masa Orde Baru.
Itu sebabnya, lanjut Bangun, Kemendagri terus menyosialisasikan wawasan kebangsaan melalui Pusat Pendidikan Wawasan Kebangsaan, kerja sama lintas elemen masyarakat, Forum Pembauran Kebangsaan di daerah, hingga kemah kebangsaan yang mempertemukan beragam latar belakang. ”Tahun 2023 kami akan buat kemah kebangsaan yang besar,” ucapnya.
Romo Antonius Haryanto menilai, intoleransi bisa mengancam ruang hidup warga. Ia mencontohkan, di Tanjung Balai, sekelompok orang menolak revitalisasi gereja. ”Padahal, gereja itu sudah ada sejak 1930-an sebelum Indonesia merdeka. Sampai kapan modus seperti ini? Seperti orang yang sudah lama tinggal dan lahir di situ, tetapi diusir,” ujarnya.
Antonius juga mengingatkan masyarakat agar waspada terhadap elite politik yang menggunakan isu suku dan agama untuk meraih kekuasaan sehingga memecah persatuan. Apalagi, Indonesia bakal menggelar pemilu pada 2024. ”Mari kita saling bersinergi untuk mengantisipasi hal ini agar jualan (suku dan agama) itu tidak laku,” ucapnya.
Komala Dewi menambahkan, intoleransi dan radikalisme juga mengancam pemuda di Cirebon dan sekitarnya. Fahmina Institute, organisasi nirlaba yang fokus pada kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan, mencatat, sejak 2011 hingga 2019 terjadi 17 kasus intoleransi. ”Sebanyak 30 orang Cirebon ditangkap Densus 88 Antiteror. Sebagian besar adalah pemuda,” katanya.
Oleh karena itu, lanjutnya, Fahmina Institute mendampingi sejumlah pemuda terkait isu moderasi beragama. Hingga kini, sekitar 150 pemuda dari sejumlah desa dan lintas iman di Cirebon telah dilatih memetakan potensi keberagaman dan ancaman radikalisme. Dengan begitu, mereka diharapkan membangun dan menjaga wawasan kebangsaan.
KH Marzuki Wahid mendorong semua pihak untuk memerangi intoleransi dan radikalisme, baik di dunia maya maupun secara nyata. ”Tantangan hari ini besar sekali. Kalau tidak ditanggapi akan jadi bom waktu. Mari bangun pemuda yang toleran dan pancasilais,” ucapnya.