Memupuk Tunas Muda Menjadi Pelestari Budaya Sumsel
Untuk ketiga kalinya Sumsel menggelar Pekan Kebudayaan Daerah yang diikuti ratusan anak-anak muda. Regenerasi terus dipupuk agar kebudayaan tidak hilang ditelan zaman.
Pakai kebaya berkain panjang, duduk di kursi bagaikan ratu, hati rakyat merasa senang, perekonomian Indonesia semakin maju
Pergi ke pasar membeli ikan, ikan dipotong pakai pisau, perkenalkan batik durian, batiknya budaya Lubuklinggau
Ikan dimasak bumbunya pindang, jangan lupa pakai kemiri, jika tak ingin batiknya hilang, mulailah pakai untuk diri sendiri
Pantun bersahut itu diutarakan secara bergantian oleh dua siswi SMP Negeri 2 Lubuklinggau Atifah Fahima Putri (14) dan Carisa Loventa (13). Sorak dan tepuk tangan penonton bergema ketika mereka menyelesaikan bait per bait pantun.
Keduanya terpilih mewakili Kota Lubuklinggau untuk mengikuti Pekan Kebudayaan Daerah (PKD) Sumsel di Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, Palembang, Jumat (3/6/2022).
Dengan mengenakan kain khas Kota Lubuklinggau, yakni batik durian, Atifah dan Carisa tampil percaya diri di hadapan ratusan pengunjung. Walau itu merupakan pengalaman pertama mereka tampil berpantun di depan orang banyak, tidak tampak rasa canggung ketika mereka berada di atas panggung. ”Ya sekalian latihan agar tidak minder berbicara di depan orang,” ujar Carisa yang ingin menjadi pembicara ulung kelak.
Keduanya bersaing dengan 14 pasang penutur pantun besaut yang lain perwakilan dari 15 daerah di Sumsel. Butuh waktu sekitar satu minggu bagi Atifah dan Carisa mengumpulkan pantun dan kemudian menghafalkan serta melafalkannya. ”Dalam prosesnya, kami dibantu oleh guru kami,” ujar Atifah.
Menurut Atifah, pentas seni seperti ini memberikan ruang baginya untuk mengetahui lebih dalam mengenai kebudayaan lokal Sumsel. ”Kalau bukan kita yang mulai siapa lagi,” kata Atifah.
Baca Juga: Toleransi di Tepian Musi
Dalam PKD hari itu, ada juga Ulin Nuha (18) yang mempertunjukan seni tari kreasi tradisional-modern yang diberi nama "Tuai Padi". Bersama kedua rekannya, Indah (17) dan Cecil (18), mereka tampak kompak mengenakan kostum tari dilengkapi pernak-pernik khas petani seperti caping dan bakul yang terbuat dari serat bambu. Ketiga remaja yang tergabung di Sanggar Serundingan dari Musi Rawas Utara itu bergerak lincah mengikuti dendang irama musik.
Tari tuai padi bercerita tentang aktivitas petani ketika sedang bekerja di sawahnya. Ada nilai gotong royong dan kebersamaan, terutama ketika memanen padi yang telah menguning. Untuk menghasilkan tarian yang indah dan kompak, mereka berlatih selama dua minggu.
Keberadaan PKD, ujar Ulin yang sudah lima tahun berkecimpung di dunia tari itu, memberikan ruang baginya untuk mengekspresikan diri. Namun, menurut dia, minat anak muda untuk menarikan tarian tradisional masih minim. Penyebabnya, mereka masih menganggap tari tradisional itu kuno.
Karena itu, dia berharap pergelaran kesenian bisa dilaksanakan lebih sering sehingga bisa menjadi wadah untuk mengenalkan budaya lokal kepada generasi muda.
Jangan sampai anak muda Sumsel lebih mengenal budaya Korea dibanding budayanya sendiri. (Cahyo Sulistyaningsih)
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumsel Cahyo Sulistyaningsih mengatakan, gelaran PKD Sumsel adalah implementasi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Kegiatan dimulai dengan digelarnya Pekan Kebudayaan Nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2019 dilanjutkan oleh pemerintah provinsi dalam bentuk PKD.
Pada tahun 2020 dan 2021, oleh karena pandemi, PKD Sumsel digelar secara daring dan luring. Namun, tahun ini, pergelaran budaya bisa dilaksanakan secara luring dan disaksikan banyak penikmat budaya. PKD digelar pada tanggal 1-3 Juni. Ratusan anak-anak muda terlibat di dalamnya selain juga para seniman senior.
Pergelaran tahunan ini menampilkan beragam budaya yang tertera dalam 10 obyek pemajuan budaya antara lain tradisi lisan, permainan rakyat, seni, dan bahasa. ”Di dalam PKD ini, kita bisa menyaksikan permainan tradisional yang sudah lama tidak terlihat seperti gasing, egrang, dan bakiak,” ujarnya.
PKD digelar untuk memperkenalkan khazanah budaya Sumsel kepada generasi muda sehingga mereka bisa menjadi penerus di masa yang akan datang. ”Jangan sampai, anak muda Sumsel lebih mengenal budaya Korea dibanding budayanya sendiri,” ucap Cahyo.
Kekayaan budaya itu sebenarnya bisa menjadi potensi pariwisata yang tidak hanya menyejahterakan seniman, tetapi juga pihak yang terlibat di dalamnya. ”Karena itu, butuh komitmen dari semua pihak agar pelestarian budaya dan juga pengembangannya dapat terlaksana secara optimal,” ujarnya.
Arman Idris, seniman irama batanghari, adalah salah satu seniman yang terus menularkan ilmunya kepada siswa di sekolah dasar hingga perguruan tinggi di Kota Pagar Alam. Sudah ribuan siswa yang ia ajar untuk bermain musik dengan petikan gitar tunggal itu.
”Memang tidak semua bisa ketika saya ajarkan, tetapi saya yakin dari antara mereka ada yang menggeluti kesenian ini,” kata Arman optimistis.
Menurut dia, mengajari para generasi muda irama batanghari sembilan merupakan salah satu cara untuk melestarikan budaya Sumsel. ”Ketika mereka sudah mencintai budaya tersebut, pasti mereka akan mengembangkan dan melestarikannya,” ujar Arman.
Berkaca pada pengalamannya bertualang ke luar negeri, banyak penikmat budaya yang menyukai irama batanghari sembilan. Hal ini terlihat dari ribuan kaset lagu ciptaannya yang laku terjual di pasar Asia dan Eropa.
Pada masa sekarang lanjut Arman upaya untuk memperkenalkan budaya di Sumsel seharusnya lebih mudah karena maraknya teknologi digital dan media sosial. Generasi muda memiliki kemampuan untuk mengelolanya. Dengan memanfaatkan teknologi, gaung irama batanghari sembilan bisa lebih bergema hingga ke penjuru dunia.
Dari kabupaten/kota
Menurut Budayawan Palembang Yudhy Syarofie pagelaran, PKD Sumsel bisa menjadi ”panggung” bagi 17 kabupaten/kota di Sumsel untuk menunjukan kekayaan budayanya masing-masing. Pergelaran ini menjadi wadah pembinaan, pelestarian, dan pengembangan budaya di setiap daerah.
Oleh karena itu, Yudhy berharap pekan kebudayaan daerah tidak hanya sebatas di tingkat provinsi, melainkan bisa lebih dalam hingga ke tingkat kabupaten/kota. ”Dari hasil seleksi di kabupaten dan kota, baru didapatkan yang terbaik untuk kemudian diajukan ke tingkat provinsi," kata Yudhy. Dengan begitu, para seniman pasti akan memberikan karya yang terbaik.
Baca Juga: Geliat Kain Pelangi dari Palembang
Selain itu ajang ini juga menjadi pelecut bagi pemerintah daerah untuk menyejahterakan kehidupan seniman. Menurut dia, untuk menciptakan sebuah karya, butuh tenaga, waktu, dan biaya. Sayangnya, yang diberikan pemerintah kepada seniman belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah memberikan bantuan pengembangan kebudayaan di daerah dengan membantu sanggar-sanggar seni. Hanya dari ratusan sanggar yang ada di Sumsel, baru 14 sanggar yang mendapatkan fasilitas itu. Sanggar lainnya masih ”gigit jari” karena kendala administrasi, yakni tidak berbadan hukum. ”Masalah ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah,” ungkap Yudhy.
Selain itu, seniman juga membutuhkan fasilitas penunjang, yakni tempat berlatih. Sejauh ini, Yudhy mencatat hanya Kota Prabumulih yang benar-benar menyediakan tempat khusus bagi para seniman untuk berekspresi, sedangkan daerah lain hanya belum ada.
”Sudah seharusnya, pemerintah daerah menyediakan tempat yang memadai bagi para seniman dalam menyalurkan karyanya,” kata Yudhy.
Apabila semua masalah ini bisa diselesaikan, Yudhy optimistis upaya pelestarian dan pengembangan budaya di Sumsel tidak akan lekang tergerus perkembangan zaman, sebaliknya akan kian digandrungi oleh generasi muda.