Korporatisasi Petani dan Perbaikan Konektivitas Pacu Pembangunan Jateng Selatan
Daya tawar petani di Jawa Tengah bagian selatan perlu ditingkatkan lewat korporatisasi petani. Selain itu, poros-poros pembangunan di Jateng juga perlu terkoneksi lebih optimal.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Sektor pertanian dinilai potensial menggairahkan perekonomian di wilayah Jawa Tengah bagian selatan. Meski demikian, dibutuhkan korporatisasi petani agar mereka punya daya tawar tinggi dalam rantai pasar. Harapannya, petani tidak gampang melepas lahan pertaniannya sehingga kedaulatan pangan bisa terjaga.
Demikian benang merah dalam diskusi ”Pengembangan Perekonomian Kawasan Jawa Tengah Bagian Selatan” yang digelar Bank Indonesia Perwakilan Purwokerto, Kamis (2/6/2022). ”Korporatisasi petani artinya kita meningkatkan daya tawar petani. Kalau bisa melakukan pemusatan empat titik jalur distribusi pemasaran beras, yaitu petani, penebas, penggilingan beras, dan pedagang besar. Ini dijadikan satu di bawah kendali para petani,” kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jawa Tengah Rahmat Dwi Saputra dalam diskusi yang digelar secara hibrida, yakni luring dan daring, tersebut.
Rahmat menyampaikan, korporatisasi petani bisa dilakukan dalam bentuk badan usaha milik daerah (BUMD) pangan di Jateng atau bekerja sama dengan Bulog Jateng. Gagasan itu lahir, antara lain, lantaran pentingnya menjaga stabilitas harga pangan, terutama beras.
”Perlu diketahui bahwa inflasi beras Jateng selalu lebih tinggi dari nasional. Bahkan ketika ada penurunan harga beras, deflasi di Jateng selalu lebih rendah dari nasional. Di sisi lain, Jateng merupakan pemasok nomor satu secara nasional. Hal ini jangan sampai memicu fenomena ’tikus mati di lumbung pangan’ di Jateng,” ungkapnya.
Rahmat menambahkan, integrasi industri, pariwisata, dan pembangunan infrastruktur juga dibutuhkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di Jateng bagian selatan. Hal itu diharapkan menghubungkan Jateng selatan dengan pusat perekonomian di wilayah pantura.
”Sebagai pusat pertanian, Jateng memiliki pasokan pangan melimpah dan produsen utama di Indonesia. Korporatisasi pertanian dan pembentukan integrasi hulu-hilir akan meningkatkan nilai tambah sektor pertanian serta kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Dalam diskusi tersebut, Ketua Forum Rembug Banjarnegara Bangun Setyo Haryanto menyampaikan, salah satu potensi agro di Jateng selatan adalah kopi yang tersebar di Temanggung, Banjarnegara, Purbalingga, dan Banyumas. Namun, komoditas tersebut dinilai belum punya pasar luas.
”Kopi Jateng selatan (Jasela) juga bagus, tapi kelemahannya komoditas ini tidak ada pasar, tata niaganya rusak. Oleh karena itu, saya berharap di Jasela ini ada satu pasar lelang komoditas kopi sehingga komoditas petani ini bisa bersaing,” tutur Bangun.
Menurut Bangun, harga kopi petani sangat ditentukan pembeli. Oleh karena itu, ia berharap kepada Bank Indonesia supaya memberi pendampingan tidak sekadar berskala mikro, tetapi lebih luas. ”Pendampingannya tidak mikro ke kelompok lagi, permodalan hampir semua perbankan kasih modal. Tetapi, kalau masalah tata niaga, ini perlu campur tangan pemerintah dan swasta untuk meningkatkan pendapatan petani,” paparnya.
Tiga poros
Anggota DPD dari daerah pemilihan Jawa Tengah, Abdul Kholik, menyebutkan, ada sejumlah problematika pembangunan ekonomi Jateng. Beberapa di antaranya meliputi beban populasi berlebih, kawasan pantura sebagai tumpuan, disparitas antarkawasan, masih besarnya populasi penduduk miskin, ketergantungan pada produk dari luar, minimnya produk unggulan daerah, kurangnya konektivitas infrastruktur, serta ancaman dan tekanan ekologis.
Untuk itu, lanjut Kholik, dibutuhkan tiga poros kawasan ekonomi untuk akselerasi keseimbangan dan pemerataan pembangunan. Pertama, poros Jateng utara (Semarang dan sekitarnya) sebagai kawasan megapolitan, industri manufaktur, dan agromaritim. Kemudian, poros Jateng selatan meliputi Kedu-Banyumas sebagai kawasan agropolitan, wisata, industri manufaktur, dan maritim pantai selatan. Terakhir, poros Jateng timur (Surakarta-Surakarta Raya) sebagai kawasan megapolitan, industri manufaktur, dan agrowisata.
Terkait konektivitas antardaerah, General Manager Yogyakarta International Airport (YIA) Marsekal Pertama Agus Pandu Purnama menyampaikan, kapasitas kargo di Bandara YIA masih bisa dioptimalkan untuk mendukung kegiatan ekonomi wilayah DIY-Jateng. Luas terminal kargo domestik di bandara ini 3.546 meter persegi dengan daya tampung 390 ton per hari. Adapun terminal kargo internasional seluas 2.304 meter persegi dengan daya tampung 250 ton per hari.
Namun, rata-rata trafik kargo per hari berdasarkan data Desember 2020 baru 18 ton per hari untuk kargo domestik dan 2,5 ton per hari di kargo internasional. ”Potensi kargo bisnis belum termanfaatkan dengan baik,” ujar Pandu.