Kebudayaan Sungai yang Menghidupi Sumatera Selatan
Kebudayaan Sumsel tidak lepas dari dinamika kehidupan di sepanjang daerah aliran Sungai Musi. Kebudayaan sungai tumbuh dan dihidupi hingga kini.
Jari-jemari Arman Idris (67), seniman Pagar Alam, Sumatera Selatan, bergerak lincah memetik senar gitar besemahnya di Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, Palembang, Kamis (2/6/2022). Ia memainkan irama batanghari sembilan, irama musik yang lebih dikenal dengan petikan gitar tunggal, salah satu produk budaya khas Sumsel yang tercipta dari dinamika kehidupan masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran sungai.
Arman menyanyikan salah satu lagu ciptaannya berjudul ”La Lame Jagung Direndam” yang berarti ’sudah lama jagung direndam’. Lantunan syair berima a-b-a-b itu berisikan pesan tentang kebiasaan orang besar yang lupa dengan rakyat kecil.
Sebenarnya, ujar Arman, setiap daerah di Sumsel memiliki budaya irama batanghari sembilan. Iramanya tenang, mendayu, dan cenderung kontemplatif. Hanya terdapat perbedaan intonasi, bahasa, dan logat.
Di daerah dataran tinggi, irama musik yang dimainkan biasanya mendayu dengan intonasi yang keras. Ini sedikit berbeda dengan irama di dataran rendah yang lebih mendayu dengan intonasi yang lebih lemah.
Selain irama batanghari sembilan, di Pagar Alam juga terdapat karya Guritan Besemah, sebuah tradisi sastra tutur yang disampaikan dengan lenggak-lenggok suara tanpa musik untuk menghibur warga yang tengah berduka. Biasanya karya seni berupa cerita panjang ini dibacakan sekitar 10 menit hingga 1 jam.
Kebudayaan itu diduga telah muncul sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Hal itu terlihat dari peninggalan megalit yang banyak terdapat di Besemah yang menjadi bukti bahwa kebudayaan sungai sudah ada di sana sejak lama.
Seniman irama batanghari sembilan dari Palembang, Muhammad Ali, menyebut, sesuai namanya, irama batanghari sembilan berkembang di daerah yang dialiri sembilan anak Sungai Musi yang tersebar di wilayah Sumatera bagian selatan. Kesembilan sungai itu adalah Sungai Kikim, Sungai Kelingi, Sungai Lakitan, Sungai Rawas, Sungai Lematang, Sungai Enim, Sungai Ogan, Sungai Banyuasin, dan Sungai Komering.
Di Sumsel, irama batangari sembilang, antara lain, berkembang di daerah Besemah yang meliputi Pagar Alam, Lahat, Empat Lawang, dan Muara Enim; Komering; serta di dataran rendah seperti Musi Banyuasin, Banyuasin, dan menjalar hingga ke Palembang.
Baca juga : Menyusuri Sungai Musi Menyambung SIlaturahmi
”Tradisi tutur ini berkembang dari hasil kehidupan masyarakatnya bahkan diduga sudah tercipta pada masa prasejarah,” kata Ali. Bedanya, di masa itu pesan yang terkandung lebih mengarah pada tatanan kehidupan dan pesan moral dalam kehidupan bermasyarakat.
Ketika agama Islam masuk ke daerah tersebut, pesan yang dikandung berubah, mengarah ke pujian kepada Tuhan dan nabi. Kini, pesan dalam lagu berirama batanghari sembilan juga mengarah pada kisah bujang-gadis yang sedang dimabuk asmara.
Perubahan juga terjadi dari sisi alat musiknya. Pada masa prasejarah, irama batanghari sembilan muncul dari bunyi hentakan batu dan percikan air sungai. Kemudian berkembang menjadi beragam alat musik tradisional, seperti serdam, genggong, gong, dan gambus.
Kini banyak seniman tradisi yang masuk ke dunia digital dan bermedia sosial mengenalkan irama batanghari sembilang pada dunia. Saat Kompas membuka kanal Youtube, irama batanghari sembilang dalam video musik sederhana yang baru diunggah awal tahun 2021, misalnya, sudah ditonton lebih satu juta kali. Unggahan serupa lainnya rata-rata ditonton ratusan ribu kali.
Baca juga : Muhammad Ali Menjaga Irama Batanghari Sembilan
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Cahyo Sulistyaningsih menyebut, kebudayaan sungai terlihat jelas dalam kehidupan masyarakat di Sumsel hingga kini. Hal yang paling kentara adalah keberadaan pempek yang tercipta dari bahan-bahan yang tumbuh di sekitar aliran sungai.
Bahan-bahan pembuat pempek yang dulunya dikenal dengan istilah kelesan itu juga tertera dalam prasasti Talang Tuo yang ditulis pada 23 Maret 684 Masehi. Di dalam prasasti tertulis bahwa di Taman Sriksetra yang dibangun di bawah kepemimpinan Sri Baginda Sri Jayanasa itu, ditanam beragam tumbuhan, seperti pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur (aur), vuluh (buluh), dan pattun (bambu betung).
Penerapan budaya sungai juga terlihat dari kebiasaan warga Sumsel dalam menentukan arah. Mereka lebih mengenal istilah uluan dan iliran yang merujuk pada kawasan hulu sungai dan hilir sungai dibanding menggunakan istilah mata angin.
Mereka lebih mengenal istilah uluan dan iliran yang merujuk pada kawasan hulu sungai dan hilir sungai dibanding menggunakan istilah mata angin.
Hal ini juga dibuktikan dengan temuan-temuan arkeologi di anak sungai yang ada di Palembang. Salah satunya sebuah kemudi yang terbuat dari kayu unglen sepanjang 8,2 meter yang terkubur di anak sungai Musi, yakni Sungai Buah Palembang dan ditemukan pada tahun 1960. Kemudi diperkirakan berasal dari masa Kerajaan Sriwijaya. Kini artefak itu terpajang di Museum Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS) Palembang.
Penemuan ini menandakan bahwa sejak masa Kerajaan Sriwijaya, masyarakat di Palembang sudah mengandalkan jalur sungai untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Penemuan tersebut juga memperkuat Palembang sebagai kota maritim.
Baca juga : Geliat "Budak Mudo" Palembang Menjaga Akarnya
Belum lagi adanya rumah panggung dan rumah rakit di sejumlah titik di kota Palembang. Kedua jenis rumah ini dibuat dengan mengadaptasi kondisi lingkungan.
Namun, saat ini, ujar Cahyo, budaya sungai berangsur terkikis karena banyak sungai yang kehilangan kharismanya karena ditimbun untuk dijadikan daratan.
Dedi Irwanto Muhammad Santun dalam bukunya yang berjudul Venesia dari Timur, Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang dari Kolonial sampai Pascakolonial, menuliskan perubahan-perubahan ini mulai terjadi ketika Palembang dijadikan kota atau gemeente sesuai undang-undang desentralisasi yang berlaku pada 1 April 1906.
Walaupun sudah dijadikan kota, pembangunan Palembang secara berkelanjutan baru dimulai sejak 1929 ketika arsitek Thomas Karsten membuat pemetaan penataan kota. Untuk menciptakan infrastruktur kota, Belanda membangun daratan dengan membangun jalan pada daerah aliran sungai yang terdapat di kota.
Mereka banyak menimbun sungai dan rawa-rawa untuk mempersatukan pulau-pulau yang dipisahkan oleh aliran sungai-sungai tersebut. Sungai Tengkuruk menjadi anak sungai pertama yang ditimbun untuk dijadikan boulevard kota pada 1929-1930. Selanjutnya, Sungai Kapuran dan Sungai Sekanak juga ditimbun untuk menghubungkan pusat kota dengan kompleks pemukiman Eropa di Talang Semut pada 1932.
Cahyo berpendapat, budaya sungai bisa saja dihidupkan kembali jika ada komitmen dari semua pihak untuk merawat sungai yang masih tersisa atau bahkan membuka kembali jalur sungai yang rusak akibat ditimbun. Selain untuk membuka jalur transportasi alternatif, pembenahan sungai juga berpotensi menciptakan daya tarik pariwisata baru di Kota Palembang.
Komitmen pemerintah untuk mengembalikan marwah sungai telah terlihat dari restorasi dan perlindungan pada sungai yang masih ada. Kepala Bidang Sumber Daya Air (SDA) Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Palembang Marlina Sylvia mengatakan, selain restorasi, timnya juga tengah menelusuri anak-anak Sungai Musi yang mengaliri Kota Palembang.
Ada 114 anak sungai yang terdata. Keberadaanya akan ditelusuri. Sebagai upaya perlindungan sungai, sungai akan disertifikasi agar tidak ada pihak yang mengklaim lahan di sempadan sungai.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Selatan Aufa Syahrizal mengatakan diperlukan juga perlindungan kebudayaan agar kekayaan budaya yang ada di Sumatera Selatan tidak hilang ditelan perkembangan zaman. Sosialisasi dan juga edukasi budaya kepada generasi muda merupakan hal yang krusial