Enam Aksi Ubah Sampah Jadi Tuah
Pengelolaan sampah masih menjadi persoalan besar di Tanah Air. Kesadaran, inovasi, dan aksi nyata bersama diperlukan untuk menyelamatkan bumi dari ancaman sampah.
Tepat 5 Juni nanti kita akan memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia atau World Environment Day. Tahun ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai penggagas peringatan itu sejak 1973 mengambil tema ”Only One Earth”. Tiga kata singkat yang terangkai menjadi sebuah pesan menohok: kita hanya punya satu bumi.
Di Indonesia, salah satu persoalan lingkungan hidup yang masih menjadi masalah besar adalah pengelolaan sampah. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 2020, total produksi sampah nasional mencapai 67,8 juta ton (Kompas, 7/12/2021).
Dari jumlah itu, rata-rata kapasitas pengelolaan sampah daerah-daerah di Indonesia masih di bawah 50 persen. Artinya, puluhan juta ton sampah setiap tahun masih bermuara di tempat pembuangan akhir (TPA), atau lebih buruk lagi, berserakan di sekitar kita sehingga mencemari lingkungan.
Namun, beberapa tahun terakhir, kesadaran pengelolaan untuk menekan timbulan sampah terus tumbuh. Bukan hanya mengurangi masalah, pengolahan sampah juga membawa berbagai manfaat baru bagi warga. Selain pemerintah, tak sedikit pula inisiatif dan inovasi pengolahan sampah itu lahir dari aksi swadaya masyarakat di berbagai daerah. Berikut adalah enam di antaranya:
Limbah Masker Jadi Bahan Bakar
Sejak tahun 2014, Bank Sampah Bersinar menawarkan beragam inovasi meminimalkan masalah sampah di Jawa Barat, mulai dari pemilahan sampah, mengolah minyak jelantah, hingga popok bayi. Saat pandemi Covid-19, inovasi itu dilanjutkan dengan mengolah masker sekali pakai menjadi bahan bakar mesin industri.
Bank Sampah Bersinar (BSB) adalah bank sampah induk di Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, yang berdiri sejak 2014. Bank sampah ini memilah dan mengolah beragam jenis sampah. Nasabahnya lebih dari 1.000 orang dengan 300 unit bank sampah. Dalam sebulan, BSB setidaknya bisa mengurangi 500 kilogram sampah jelantah dan 1.000 kg sampah organik. Selain itu, ada juga 40-50 ton sampah anorganik hingga 1,5 ton popok bekas.
Kini, Direktur BSB Fei Febri mengatakan, pihaknya tengah mengolah limbah masker sekali pakai. Berbahan plastik, dampak sampah masker bisa sangat buruk bagi manusia dan lingkungan. Oleh karena itu, ia mengajak warga untuk menyalurkan masker bekas pakai ke BSB. Syaratnya, masker bukan dari pasien terinfeksi atau tenaga medis.
Sebelum dikirimkan, masker dipisahkan dan diberi disinfektan atau dibiarkan selama lima hari.
”Seperti sampah lainnya, pemilahan dari rumah harus menjadi kunci utama. Sebelum dikirimkan, masker dipisahkan dan diberi disinfektan atau dibiarkan selama lima hari. Dengan mesin pengolah, hasil akhirnya adalah bahan bakar minyak untuk industri yang menggunakan boiler,” katanya.
Saat ini, Fei mengatakan, kapasitas pengolahan sampah masker di BSB sebesar 3-4 kg per jam. Apabila mesin beroperasi selama 7-8 jam, bisa mengolah 30-40 kg per hari. Minyak hasil pengolahan sejauh ini digunakan usaha kecil menengah.
Ke depan, kata Fei, jika memungkinkan, tengah disiapkan pengolahan hingga 500 kg per jam sehingga bahan bakunya bisa mencapai 4 ton per hari. Selain itu, kerja sama dengan mitra melalui pengolahan katalis tengah dilakukan untuk mengubah bahan bakar minyak menjadi lebih ramah lingkungan.
Menguangkan Sampah lewat Jemari
Mendekatkan persoalan sampah ke kalangan generasi milenial menjadi kata kunci di era digital seperti sekarang. Kemudahan pengolahan sampah yang difasilitasi gawai dan sambungan internet mampu menarik minat banyak orang, seperti yang dilakukan Mallsampah di Makassar, Sulawesi Selatan. Sampah hilang, uang pun datang.
Bermula dari berbasis situs pada 2015, sejak 2019 Mallsampah sudah menyediakan layanan pengolahan sampah berbasis aplikasi Android dan iOS. Tak sulit menggunakan layanan ini. Cukup mengunduh aplikasinya, lalu pengguna tinggal memilih sampah apa yang akan dijual. Jika jumlah sampah di bawah 5 kilogram, pengguna akan ditunjukkan titik terdekat untuk mengantarnya. Namun, jika lebih dari 5 kilogram, pengguna tinggal duduk menunggu karena sampah akan dijemput oleh pengepul mitra Mallsampah.
Aplikasi sudah membiasakan sekaligus memudahkan pengguna untuk memilah sampah. Ada fitur untuk memilih apakah akan menjual sampah plastik, besi, kertas, kayu, hingga elektronik bekas. Nilai per kilogramnya juga tercantum.
Jika tak mau uang, pengguna bisa menerima pembayaran berupa voucer makan di restoran atau belanja, tabungan emas, membayar iuran air, listrik, hingga jaminan sosial. Bahkan, ada juga pilihan untuk mendonasikan hasil penjualan sampah melalui lembaga mitra Mallsampah yang dapat dipercaya untuk menyalurkannya kepada yang membutuhkan.
Baca juga : Uang Mudah dari Sampah
”Niat saya membuat layanan ini adalah mereduksi sampah sekaligus punya data soal sampah. Namun, kami membuatnya lebih mudah dan kekinian mengingat pengguna gawai di Indonesia cukup banyak. Pengguna tak akan repot karena sampah bisa dijemput dan dibayar di tempat. Harapannya, akan lebih banyak orang yang mau memilih dan memilah sampah dan melihatnya lebih bernilai,” kata Adi Saifullah Putra, pendiri Mallsampah.
Saat ini tercatat sudah 50.000 pengguna aplikasi Mallsampah dengan 500 mitra pengepul/informal collectors yang diberdayakan dan 300 pusat daur ulang. Jumlah sampah yang didaur ulang setiap bulan mencapai 100 ton. Tak hanya di Makassar, layanan ini juga hadir di Jakarta.
”Fitur terbaru kami ada MS BOX (Reverse Vending Machine) atau mesin penukar botol. Pengguna dapat menukarkan botol plastik menjadi uang elektronik secara otomatis. Di Makassar, MS BOX baru ada di dua titik, yakni di Kopi Soe dan Masjid Besar Asyura,” kata Adi.
Gerakan dari Desa Adat
Sejak 2003, Desa Adat Seminyak memfasilitasi pengangkutan sampah dari rumah tangga ataupun tempat usaha di kawasan wisata Seminyak, Kabupaten Badung, Bali. Hal itu kemudian dikembangkan menjadi program pengelolaan sampah dengan membangun tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) berbasis pengurangan (reduce), pemanfaatan ulang (reuse), dan pendaurulangan (recycle) atau 3R.
Ketua TPST-3R Desa Adat Seminyak I Komang Ruditha Hartawan (49), ketika ditemui, Rabu (1/6/2022), mengatakan, TPST-3R Desa Adat Seminyak memiliki kapasitas sebagai tempat pembuatan pupuk kompos dengan mengolah sampah organik, khususnya sampah kebun dari hotel, restoran, ataupun vila dan rumah tangga; pembuatan pakan ternak dengan memanfaatkan sampah organik basah; serta pembuatan pelet dari bahan sampah plastik. Selain itu, terdapat pula fasilitas learning center bagi masyarakat, kelompok swadaya masyarakat, pelajar, serta bank sampah.
TPST-3R Desa Adat Seminyak memiliki 478 pelanggan dari kalangan rumah tangga dan sekitar 870 tempat usaha, mulai dari toko, vila, restoran, hingga hotel di kawasan Seminyak dan sekitarnya. Setiap hari, sekitar 179 meter kubik sampah dikumpulkan dan tidak kurang dari 106 meter kubik sampah yang diolah. Adapun sisanya, sekitar 73 meter kubik sampah residu, masih dibuang ke TPA Regional Sarbagita Suwung di Kota Denpasar.
Jaminan kesejahteraan akan menarik minat tenaga kerja di bidang pengelolaan sampah.
Keberadaan TPST-3R Desa Adat Seminyak sejak awal juga sudah diakui Desa Adat Seminyak dengan menerapkan keputusan desa adat (pararem) sebagai pelaksanaan peraturan adat (awig-awig). Peraturan ini mengikat seluruh warga dari empat banjar (setingkat rukun warga/RW) di lingkungan desa.
Ruditha menambahkan, dukungan dan komitmen desa adat terhadap pengelolaan sampah di lingkungan menjadi penting dalam memastikan keberlanjutan beroperasinya TPST. Selain itu, masih diperlukan pula pendidikan dan sosialisasi mengenai pemilahan dan pengelolaan sampah rumah tangga secara terus-menerus kepada warga.
Hal penting lainnya adalah memastikan dan menjamin kesejahteraan pekerja TPST, termasuk pengelolanya. Ruditha mengatakan, jaminan kesejahteraan akan menarik minat tenaga kerja di bidang pengelolaan sampah, termasuk di TPST. ”Kebetulan kami sudah menerapkan sistem pengupahan dengan gaji bulanan di atas upah minimum yang berlaku di Kabupaten Badung,” ujarnya.
Serahkan Sampah kepada Magot
Sampah organik, terutama sisa makanan, menjadi salah satu penyumbang timbulan sampah terbesar di negeri ini. Namun, di Kota Magelang, Jawa Tengah, pengolahan sampah jenis itu tak lagi jadi sumber kepusingan berkat bantuan makhluk bernama magot.
Kepala Bidang Pengelolaan dan Penanganan Sampah Dinas Lingkungan Hidup Kota Magelang Widodo mengatakan, rata-rata volume sampah di Kota Magelang mencapai 80 ton per hari. Dari jumlah itu, 60-70 persen adalah sampah organik. Karena itu, magot dari larva lalat jenis black soldier fly (BSF) dinilai menjadi solusi jitu untuk mengurangi sampah jenis tersebut. Magot mengonsumsi beragam jenis sisa makanan.
Widodo mengatakan, pihaknya mulai menyosialisasikan budidaya magot dalam kegiatan sekolah sampah pada Desember 2021. Budidaya magot ini pun direspons baik. Januari 2022, produksi magot di Kota Magelang mencapai 150 kilogram per hari. Pada Maret 2022, produksi bertambah menjadi 370 kg per hari dan pada April 2022 menjadi 400 kg per hari. Magot dimanfaatkan sebagai pakan unggas dan ikan.
Kini, jumlah pembudidaya magot terdata sebanyak 90 orang. Tidak sekadar memproduksi magot segar yang dipanen 15 hari sekali, sebagian bahkan sudah menjual dalam bentuk kering di pasar daring. Widodo menyebutkan, magot sudah terbukti efektif mengurangi sampah organik. Di salah satu rukun tetangga, misalnya, magot berhasil mengurangi 40-60 persen sampah organik yang dihasilkan tiap hari.
Pengolahan sampah organik dengan bantuan magot salah satunya dilakukan Mina Asa, kelompok petani ikan di Kelurahan Kramat Selatan, Kecamatan Magelang Utara. Selain untuk mengurangi sampah di lingkungan sekitar, termasuk di rumah sendiri, magot dimanfaatkan sebagai pakan ternak ikan. ”Magot itu ibarat asisten rumah tangga, tukang bersih-bersih yang tidak perlu dibayar,” ujar Retnorini (60), salah satu anggota Mina Asa.
Retnorini kini terbiasa menyisihkan sisa sarapan, makan siang, dan makan malamnya untuk magot. ”Dapur saya kini sudah bersih dari segala macam sampah organik, mulai dari sisa bahan-bahan masakan hingga sisa makanan yang tidak habis disantap,” ujarnya.
Nurilawati (62), Sekretaris Kelompok Mina Asa, mengatakan, semangat untuk mengumpulkan sampah organik ini juga ditularkan kepada tetangga-tetangga mereka. Mina Asa kini sudah bisa mengumpulkan sampah organik dari lebih dari 25 rumah di lingkup permukiman mereka. ”Kami juga mengumpulkan sampah organik dari salah satu rumah makan di dekat perumahan kami,” ujarnya.
Semangat mengumpulkan sampah organik rumah tangga juga muncul dari Bank Sampah dan Kampung Organik Bougenville di Kelurahan Jurangombo Utara, Kecamatan Magelang Selatan. Enti Sri Hardani, pengurus Bank Sampah, mengatakan, saat ini pihaknya sudah mengumpulkan sampah dari 30 keluarga di kampung mereka. Selain itu, juga terdapat lima restoran yang kini sudah menjadi mitra, ”pelanggan penyetor” sampah organik ke Bank Sampah Bougenville.
Berkah dari Jelantah
Minyak goreng bekas pakai atau jelantah adalah salah satu limbah yang kerap luput saat membicarakan sampah rumah tangga. Apalagi, sebagian besar masyarakat masih membuang begitu saja jelantah ke selokan. Padahal, pembuangan jelantah ke selokan dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Selain menyumbat saluran air, jelantah juga dapat mencemari ekosistem perairan.
Menyadari bahaya limbah jelantah bagi lingkungan, sekelompok ibu rumah tangga di Kota Bandar Lampung berinisiatif membuat gerakan mengolah limbah jelantah menjadi sabun cuci piring. Para ibu yang tergabung dalam Komunitas Nabbay Hanggum ini juga rutin memberikan pelatihan pengolahan limbah jelantah kepada ibu-ibu lain. Saat ini sudah ada sekitar 400 ibu rumah tangga yang mereka latih.
Pendiri Komunitas Nabbay Hanggum, Okta Fiantimala, mengatakan, gerakan mengolah limbah jelantah menjadi sabun cuci piring sudah dilakukan sejak 2018. Menurut dia, membuat sabun cuci piring dari jelantah cukup mudah. Selain jelantah, dibutuhkan bahan baku air dan soda api. Air dan soda api tersebut lalu dicampurkan ke dalam jelantah dan diaduk.
Setelah tercampur, larutan tersebut lalu dituangkan ke dalam cetakan dan dibiarkan hingga mendingin. Namun, sabun jelantah yang telah jadi itu tidak bisa langsung digunakan. Sabun harus didiamkan setidaknya selama satu bulan agar aman digunakan untuk mencuci piring.
Selain melatih ibu rumah tangga membuat sabun, Okta juga mengajak binaan mereka untuk mendirikan warung pengumpul jelantah. Ibu-ibu rumah tangga diajak mengumpulkan jelantah yang bisa ditukar dengan produk kebutuhan rumah tangga, seperti kecap atau saus.
Selain dijadikan bahan baku sabun, sebagian jelantah itu juga dijual ke PT Indo Energy Solutions, perusahaan pengumpul jelantah untuk dijadikan biodiesel. Harga jual jelantah fluktuatif, Rp 6.000-Rp 8.000 per kg. Uang hasil penjualan jelantah dikembalikan lagi kepada ibu-ibu rumah tangga binaan dalam bentuk bantuan biaya kebutuhan rumah tangga, sekolah, ataupun berobat.
Saat harga minyak goreng mahal seperti sekarang ini, kata Okta, jumlah jelantah yang terkumpul menjadi lebih sedikit. Saat ini, mereka dapat mengumpulkan sekitar 20 liter jelantah setiap bulan dari donatur. Sebelum harga minyak goreng melambung, jumlah jelantah yang dikumpulkan bisa mencapai 50 liter per bulan.
Untuk sementara, sabun cuci piring berbahan jelantah itu dibagikan secara gratis kepada warga. Sebagian lagi dijual ke berbagai lembaga sebagai suvenir. Dana hasil penjualan sabun cuci piring digunakan lagi untuk kegiatan amal.
Nilai Menarik Sampah Anorganik
Dengan produksi sampah rumah tangga yang mencapai 1.500 ton setiap hari, pengelolaan sampah di Surabaya, Jawa Timur, masih jadi tantangan bagi pemerintah daerah. Bank Sampah Induk Surabaya (BSIS) pun berupaya mengajak warga mengelola sampah anorganik secara mandiri dengan konsep 3R (reduce, reuse, recycle).
Lembaga yang berdiri tahun 2010 ini mengelola sampah anorganik di seluruh Surabaya. Lembaga ini juga menjadi pembina bank sampah unit yang ada di lingkup kelurahan serta rukun tetangga dan rukun warga. Jumlah nasabah kolektif saat ini mencapai 489, sedangkan nasabah individu 300-400 orang.
Nasabah individu merupakan warga yang mengelola sampah anorganik, tetapi di lingkungannya belum terdapat bank sampah unit. Nasabah individu ini bisa langsung menyetorkan sampah ke BSIS. Sampah yang dikelola BSIS saat ini mencapai 53 jenis, di antaranya kardus, koran, botol PET (plastik), tembaga, besi, kaleng, dan jelantah.
Baca juga : Nilai Ekonomi Jelantah Indonesia di Pasar Dunia
Tenaga Staf Humas BSIS, Nurul Chasanah, mengatakan, pihaknya memiliki sejumlah keunggulan kompetitif yang menjadi daya tarik masyarakat. Salah satunya, mereka menerima seluruh jenis sampah anorganik yang bernilai ekonomi. Ini berbeda dengan pedagang rongsokan yang biasanya hanya menerima jenis tertentu. ”Selain itu, BSIS memberikan jaminan kepastian harga dan menawarkan harga yang lebih tinggi dibandingkan pedagang rongsokan. Ini karena kami bermitra langsung dengan sejumlah industri daur ulang,” ujarnya.
Ada dua jenis harga yang ditawarkan, yakni untuk nasabah individu dan komunitas. Untuk nasabah individu, jelantah dihargai Rp 7.000 per kg dan botol PET bening bersih Rp 3.600 per kg. Sementara itu, harga yang diberikan kepada Bank Sampah Unit (BSU) adalah Rp 4.100 per kg untuk botol PET bening bersih dan Rp 7.500 per kg untuk jelantah.
Rata-rata jumlah nasabah individu yang menyetorkan sampah mencapai 15-20 orang per hari saat hari kerja dan meningkat dua kali lipatnya saat hari libur. Adapun total sampah anorganik yang dikelola BSIS mencapai 35 ton per bulan, bahkan pernah mencapai 50 ton per bulan sebelum pandemi Covid-19. Nilai sampah yang dikelola itu lebih dari Rp 150 juta setiap bulan.