Di tengah upaya Pemerintah Kota Makassar mengatasi masalah sampah, sejumlah orang dan lembaga tampil menjadi solusi. Edukasi pengelolaan sampah dilakukan dengan berbagai cara untuk mengangkat harkat sampah.
Oleh
Reny Sri Ayu
·5 menit baca
Hari beranjak malam, Selasa (21/9/2021), tapi Adi Saifullah Putra (27) masih betah di kantornya. Matanya terus menatap layar komputer. Beberapa karyawan lain melakukan hal sama. Anak-anak muda ini sedang bergelut mengatasi persoalan besar yang biasanya tak dilirik generasi seusia mereka: sampah.
Ruang kerja mereka tak seberapa luas, tetapi bersih dan sejuk dengan pendingin ruangan. Ruangan ini berada di lantai dua sebuah bangunan di tengah Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Dari ruang inilah Adi dan teman-temannya mengelola Mallsampah Indonesia.
Mallsampah adalah sebuah layanan jual-beli atau daur ulang sekaligus edukasi sampah dan lingkungan yang berbasis aplikasi. Saat ini tercatat lebih dari 30.000 pengguna Mallsampah. Sebanyak 80 persen pengguna berada di Makassar dan daerah sekelilingnya, seperti Gowa, Maros, Takalar, dan Parepare. Selebihnya, di Jakarta.
”Di Jakarta, kami dibantu mahasiswa yang sebagian berasal dari Makassar. Mereka yang ikut membantu mencari mitra pemulung dan pengepul untuk bekerja sama. Kami berharap layanan ini bisa diterima juga di Jakarta,” kata Adi, direktur sekaligus pendiri Mallsampah Indonesia.
Mallsampah sebenarnya sudah dimulai sejak 2015. Namun, kemunculan pertama itu masih berbasis situs web. Baru pada 2019, layanan ini menjadi aplikasi digital. Perubahan ini seiring perkembangan gaya hidup masyarakat dan juga kian banyaknya pengguna.
Tak sulit menggunakan layanan ini. Pengguna tinggal membuka aplikasi, memilih sampah apa yang akan dibuang, lalu selanjutnya ditunjukkan titik terdekat untuk membawanya. Itu jika jumlah sampah di bawah 5 kilogram. Jika lebih dari itu, armada Mallsampah akan menjemputnya.
Pengguna juga bisa memilih apakah akan menerima uang tunai atau menabung dalam bentuk poin. Nantinya poin ini bisa ditukar dengan emas, voucer belanja dan makan, atau pembayaran beragam iuran, mulai dari listrik, air, hingga BPJS. Bisa juga poin didonasikan ke sejumlah lembaga atau yayasan sosial tepercaya yang menjadi mitra Mallsampah.
”Niat saya membuat layanan ini adalah mereduksi sampah sekaligus punya data soal sampah. Tapi, kami membuatnya lebih mudah dan kekinian mengingat pengguna gawai di Indonesia cukup banyak. Pengguna tak akan repot karena sampah bisa dijemput dan dibayar di tempat. Harapannya, akan lebih banyak orang yang mau memilih dan memilah sampah dan melihatnya lebih bernilai,” kata Adi.
Pengguna aplikasi Mallsampah cukup beragam, mulai dari mahasiswa, karyawan, ibu rumah tangga, hingga berbagai usaha, seperti restoran dan hotel. Setidaknya lebih dari 1.000 ton sampah per bulan masuk ke Mallsampah atau dikirim ke tempat daur ulang.
Annisa (22), mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar, adalah salah satu pengguna Mallsampah sejak setahun terakhir. ”Pakai aplikasinya gampang. Tidak repot juga karena sampah bisa dijemput di rumah. Saya tidak ambil uang tunai, tapi mengumpulkan poin. Rencananya, poinnya mau saya tukar emas,” katanya.
Memang, untuk memudahkan layanan ini, Mallsampah bermitra dengan pemulung dan pengepul yang memegang peran penting sebagai rantai daur ulang. Ada lebih dari 500 pemulung dan pengepul yang menjadi mitra Mallsampah. Terdapat setidaknya 100 gudang sortir di Makassar.
Mereka memilih membantu orangtua, apalagi melihat dengan memulung bisa mudah mendapatkan uang.
Dalam hal ini, pengelola Mallsampah hanya berperan sebagai penghubung dan fasilitator. Namun, edukasi juga dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya bermitra dengan lembaga yang bergerak dalam isu lingkungan.
Edukasi pemulung
Jika Mallsampah menjadi solusi reduksi sampah dengan cara kekinian, Yayasan Pabbata Ummi memilih turun langsung dan berkantor di sekitar Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Sampah Tamangapa. Sasarannya adalah pemulung dan pengepul, terutama yang sudah menjadikan pemilahan dan daur ulang sampah sebagai sumber penghasilan utama.
Yayasan ini didirikan Makmur lebih dari 20 tahun lalu. Awalnya, gerakan yayasan adalah pendampingan untuk anak-anak pemulung, terutama terkait pendidikan. ”Saat itu, kami melihat banyak anak pemulung yang putus sekolah. Mereka memilih membantu orangtua, apalagi melihat dengan memulung bisa mudah mendapatkan uang,” ujar Makmur.
Namun, dengan edukasi dan pendekatan yang dilakukan yayasan, sekarang anak-anak pemulung itu umumnya bersekolah. ”Kalaupun membantu orangtua, mereka lakukan di luar waktu belajar,” kata Makmur, yang juga Ketua Perkumpulan Pengusaha Plastik Limbah Indonesia.
Yayasan Pabbata Ummi juga mendirikan sekolah TK di kawasan TPA Tamangapa. Sekolah gratis ini khusus untuk anak pemulung. Pengajarnya adalah sukarelawan yang secara bergantian rutin datang ke Tamangapa. Anak-anak yang sekolah SD hingga SMA, yang menyebar di banyak sekolah, tetap dipantau dan didampingi.
Kertas biasa dan kardus juga akan punya nilai lebih jika dipilah dengan baik.
Belakangan, yayasan juga mendampingi para pemulung. Mereka diedukasi perihal memilih dan memilah sampah dengan lebih baik agar nilai ekonomi yang didapatkan bisa lebih layak. Tujuannya, meningkatkan taraf hidup pemulung.
Di TPA Tamangapa, umumnya pemulung menjual sampah secara gelondongan. Botol minuman plastik, misalnya, dikumpulkan begitu saja sehingga harganya hanya berkisar Rp 1.500-Rp 2.000 per kilogram (kg).
Padahal, Makmur menjelaskan, jika tutupnya dipisah dan label kemasan dilepas, harga botolnya saja sudah menjadi Rp 4.000-an per kg. Harga botol juga bisa berbeda, misalnya yang berwarna putih atau biru. Tutupnya bahkan dihargai lebih dari Rp 5.000 per kg. ”Ini dari satu jenis saja. Kertas biasa dan kardus juga akan punya nilai lebih jika dipilah dengan baik,” ucapnya.
Yayasan Pabbata Ummi juga membuka jalan bagi pemulung untuk menjual langsung sampah yang sudah dipilah ke industri daur ulang. Pemulung yang memenuhi syarat dalam pemilahan sampah akan diberi kartu atau nomor registrasi yang menjadi akses ke industri.
Pemulung, terutama remaja dan perempuan, juga diberi pelatihan untuk mengasah berbagai keterampilan, misalnya mengolah limbah menjadi kerajinan hingga pelatihan membuat kue. Yayasan bekerja sama dengan berbagai tempat pelatihan atau lembaga lain yang kompeten untuk keperluan itu. Harapannya, lagi-lagi membuat sampah lebih punya nilai.
Di Makassar, banyak warga atau kelompok yang membuat kerajinan berbahan sampah. Ada kelompok pemulung, bank sampah, perkumpulan arisan, hingga majelis taklim. Lampu hias, hiasan dinding, bunga, hingga tas belanja adalah sebagian kreasi yang dibuat dari sampah plastik ataupun kertas.
Di kalangan pemulung dan pengepul, Makmur dan Yayasan Pabbata Ummi yang dipimpinnya terbilang cukup berhasil melakukan pendampingan dan pemberdayaan. Banyak pemulung yang naik tingkat menjadi pengepul. Anak-anak mereka pun tak sekadar tamat SMA, tapi banyak pula yang meneruskan pendidikan hingga bangku kuliah.
Bagi Adi, Makmur, serta pengelola dan nasabah bank sampah yang tersebar di Makassar, usaha yang mereka lakukan tak sekadar perihal memperlakukan dan mereduksi sampah. Namun, mereka juga turut mengangkat harkat sampah menjadi sesuatu yang bernilai.