Difabel Netra di Manado Terimpit Kebutuhan, Bermuara di Jalanan
Dari 126 difabel netra yang terdata di Manado, sebanyak 69 orang atau lebih dari separuhnya menyambung hidup di jalanan. Ada yang berjualan tisu, kacang, dan keripik. Kehidupan yang layak pun terasa masih redup.
Rintik gerimis tak kunjung berhenti membasahi Kota Manado, Sulawesi Utara, hingga senja datang. Johanes Disa (45) tetap bergeming. Ia masih berdiri di tepian Jalan Sam Ratulangi 12, Kelurahan Titiwungen Utara. Kedua tangannya memegang sebuah keranjang hijau berisi belasan kemasan tipis tisu.
Hanya selangkah di depannya, barisan mobil dari Boulevard Piere Tendean melaju pelan menyusuri jalur sempit tersebut menuju Jalan Raya Sam Ratulangi. ”Tisu, tisu, tiga ribu, tisu…,” serunya, mencoba bersaing dengan deru mesin kendaraan yang melintas.
Tanpa ia ketahui, sesekali seorang pengendara membuka kaca mobil untuk meletakkan selembar Rp 1.000, Rp 2.000, atau Rp 5.000 di keranjang tisunya sambil berlalu. Jika merasa keranjangnya tersenggol, ia akan segera bertanya, ”Tisu Pak, Bu?”
Namun, para pelintas lebih sering menjawabnya dengan memberi uang begitu saja tanpa mengambil tisu yang ia tawarkan. ”(Dagangan) Sering enggak habis, pernah biar satu aja enggak laku, tetapi pulang tetap bawa uang,” tuturnya sambil terkekeh ketika ditemui pada 22 April 2022.
Sebagai seorang difabel netra, Johanes tak pernah tahu wujud mobil yang lewat di depannya, apalagi rupa pengemudinya. Namun, satu hal yang ia tahu pasti, uang akan menghampiri selama ia berdiri di tepi jalan satu arah di jantung kota itu.
Maka, pria kelahiran Amurang, Minahasa Selatan, itu menghabiskan tujuh hari seminggu, dari siang hingga larut malam, untuk berjualan tisu. Setiap hari, ia bisa mengumpulkan lebih dari Rp 100.000. Pendapatan itu akan langsung dihabiskan keesokan harinya untuk kebutuhan pokok keluarganya.
Itulah bentuk perjuangan Johanes untuk menghidupi keluarganya. Namun, ia tak pernah bangga dengan apa yang dilakukannya. Berjualan tisu di pinggir jalan sangatlah jauh dari pantas untuk seorang Sarjana Pendidikan Luar Biasa seperti dirinya.
”Sebagai lulusan Universitas Negeri Manado, saya bisa jadi guru. Cuma, saat ini jalan yang paling cepat untuk dapat uang, ya, berjualan,” katanya.
Baca Juga: Momentum Penuhi Hak Penyandang Disabilitas
Johanes sebenarnya adalah guru honorer di sebuah sekolah luar biasa di Desa Kamangta, Minahasa. Namun, gajinya yang hanya Rp 300.000 per bulan bahkan tak cukup untuk membayar sewa rumah semipermanen yang ditempati keluarganya di Kelurahan Paal IV, Manado, yaitu Rp 350.000 per bulan.
Keadaan Johanes tak ubahnya nestapa guru honorer di seantero negeri. Bedanya, kesempatan kerja di luar profesi guru begitu terbatas bagi Johanes akibat disabilitasnya. Satu-satunya sampingan yang bisa ia harapkan adalah jasa pijat panggilan, berbekal sertifikat dari Sasana Rehabilitasi Penyandang Cacat Netra (SRPCN) Tumou Tou Manado yang ia peroleh pada 1994.
Namun, hingga kini ia belum punya pelanggan ataupun mendapat tawaran kerja dari klinik pijat. Akhirnya, di tengah bising jalanan pusat kotalah ia menemukan oase kehidupan. ”Keadaan memaksa. Ini solusi,” kata Johanes yang kehilangan pengelihatan pada usia 2,5 tahun akibat campak.
Hanya 700 meter dari tempat Johanes berjualan, seorang difabel netra bernama Simon Pare (47) juga menjajakan tisu. Pengalamannya belasan tahun berjualan di jalanan membuktikan, kebiasaan warga Manado untuk memberi uang tanpa mengambil tisu yang ia tawarkan sungguh menguntungkan.
”Biarpun kepanasan, pulang tetap ada uang,” ujar pria kelahiran Gipumbia, Donggala, Sulawesi Tengah, itu sambil tertawa.
Dalam sehari, Simon bisa mendapatkan Rp 100.000-Rp 200.000. Hasil itu jauh lebih besar ketimbang bekerja di klinik pijat, sebagaimana ia jalani antara 2007-2009. ”Waktu itu tarifnya Rp 75.000 per pasien, dibagi dua dengan pemilik panti pijat jadi Rp 37.500. Kadang satu hari cuma satu pasien, kadang dua, kadang tidak ada sama sekali,” katanya.
Masalah sosial
Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Manado mencatat, ada 126 difabel netra dari total 1.437 warga Manado yang menyandang disabilitas. Sebanyak 69 di antaranya teridentifikasi berjualan tisu, kacang, dan keripik di pusat kota, seperti Johanes dan Simon.
Kebanyakan dari mereka pernah mengikuti rehabilitasi sosial dan pelatihan keterampilan, seperti pijat, musik, dan kerajinan tangan di Sentra Tumou Tou Manado (dahulu SRPCN dan PSBN). Selama 50 tahun sejak 1972, pusat rehabilitasi sosial itu memang hanya melayani difabel netra dari delapan provinsi di Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Kepala Sentra Tumou Tou Kamsiaty Rotty khawatir semakin banyak difabel netra yang tergiur untuk turun ke jalanan. ”Karakter masyarakat Manado memang penuh kasih, suka memberi. Akhirnya, para difabel netra saling panggil karena pendapatan di jalan terbukti besar,” katanya ketika ditemui pada 9 Mei.
Sebaliknya, menurut Johanes, difabel netra berada di jalan karena potensi mereka tidak terserap ke dalam ekonomi kota. Mereka tak dilirik dalam pasar tenaga kerja layaknya orang awas sekalipun tingkat pendidikan atau keahliannya sama karena keraguan masyarakat.
Kedua, difabel netra kesulitan mengakses permodalan. Simon, misalnya, bermimpi untuk memiliki klinik pijat sendiri. Namun, ia tak bisa mendapatkan modal usaha puluhan juta rupiah dari bank karena tak punya agunan. Mereka juga tak punya penghasilan tetap untuk membuktikan kemampuan melunasi kredit.
Difabel netra berada di jalan karena potensi mereka tidak terserap ke dalam ekonomi kota. Mereka tak dilirik dalam pasar tenaga kerja layaknya orang awas sekalipun tingkat pendidikan atau keahliannya sama karena keraguan masyarakat.
Akibatnya, difabel netra seperti Simon Pare dan Johanes Disa kesulitan membebaskan diri dari lingkaran kemiskinan. Mereka sangat membutuhkan keberpihakan pemerintah dalam wujud kebijakan.
Hal ini dibenarkan Kamsiaty. Sentra Tumou Tou yang ia kepalai, sebagai perpanjangan tangan Kementerian Sosial, telah membekali difabel netra dengan modal hidup berupa keterampilan agar mereka bisa hidup mandiri, Namun, harapan itu tak akan terwujud tanpa peran pemerintah daerah, utamanya kota.
Ia pun berharap Pemkot Manado memfasilitasi dengan membangun sentra praktik pijat difabel netra di tempat strategis. Di samping itu, hotel dan restoran, misalnya, perlu didorong untuk merekrut difabel netra menjadi juru pijat atau pemain musik agar jumlah yang berjualan di jalan bisa berkurang.
Hal ini adalah amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal 53 mewajibkan pemerintah dan badan usaha milik negara ataupun daerah mempekerjakan penyandang disabilitas sebanyak minimal 2 persen dari total pegawai. Sektor swasta juga memiliki kewajiban serupa dengan besaran 1 persen.
Mencari solusi
Di lain pihak, Wali Kota Manado Andrei Angouw menyatakan telah berupaya membantu para difabel netra. Dalam tahun pertama kepemimpinannya, pemkot pernah bekerja sama dengan Sentra Tumou Tou untuk menyediakan kios usaha di halaman parkir toko-toko swalayan bagi 10 difabel netra. Namun, program itu tidak sukses karena para penerima manfaat enggan membayar sewa tempat.
Terkait difabel netra yang berjualan di jalan, Andrei menyatakan akan mencari solusi. Selama ini masalah itu sulit diatasi karena, pertama, kebiasaan masyarakat memberi mereka uang.
”Saya tahu masyarakat ada rasa iba, tetapi nanti mereka tidak mau kerja lagi, terbiasa untuk mengemis. Daripada bekerja susah-susah, lebih baik jualan seperti itu. Cuma dikasih (uang), akhirnya tidak ada biaya pokok sehingga omzetnya besar,” kata dia, 10 Mei lalu.
Faktor kedua adalah status kependudukan. Andrei menduga para difabel netra yang berjualan di jalanan bukanlah warga ber-KTP Manado sehingga mereka kesulitan itulah kesulitan mendapatkan kredit usaha rakyat (KUR) yang sebenarnya bisa didapatkan tanpa agunan.
Namun, ia menyatakan akan menjamin hak difabel netra untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Sebab, Manado telah memiliki Peraturan Wali Kota No 48A/2017 tentang Pemberdayaan Penyandang Disabilitas. Ia berjanji akan merekrut difabel netra untuk bekerja di lingkungan pemkot serta mendorong sektor privat memenuhi kewajibannya.
Di lain pihak, Kamsiaty tetap yakin, faktor struktural masyarakat jauh lebih berpengaruh terhadap kesejahteraan para difabel netra. Nyatanya, mereka memang kesulitan menemukan lahan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka.
Perkataan Kamsiaty senada dengan sosiolog sekaligus aktivis disabilitas Inggris, Mike Oliver. Dalam artikel Disability Studies, Disabled People and the Struggle for Inclusion (2010), ia menyebut kecacatan, yang merupakan realitas bukanlah penyebab kemiskinan para penyandangnya. Struktur masyarakatlah yang membatasi kesempatan difabel untuk berpartisipasi dalam ekonomi sehingga mereka kesulitan hidup mandiri.
Baca Juga: Penyandang Disabilitas Belum Terdata Baik
Sebersit harapan juga muncul dari terbitnya Peraturan Daerah Sulut Nomor 8 Tahun 2021 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Penyandang Disabilitas. Anggota Komisi III DPRD Sulut dari Partai Keadilan Sejahtera, Amir Liputo, mengatakan, dengan perda ini, DPRD memiliki kekuatan lebih, terutama dalam hal anggaran, untuk memastikan pemenuhan hak difabel oleh pemerintah provinsi.
”Jadi, perda ini mengatur secara teknis agar mereka bisa hidup layak dan berbaur dengan masyarakat umum tanpa merasa tidak diperhatikan oleh daerah dan negara. Mudah-mudahan, berangsur, tetapi pasti, tidak ada lagi yang merasa seperti itu,” kata Amir ketika ditemui pada 25 April 2022.
Ironisnya, hingga kini, ”cahaya” kehidupan yang layak masih belum dirasakan difabel netra meski ada banyak regulasi tentang perlindungan dan pemberdayaan bagi mereka. Solusi dan aksi nyata dari berbagai pihak dinanti.
”Saya percaya dan saya yakin para pejabat pemerintahan sering lewat di jalan-jalan tempat kami berjualan. Saya ingin katakan, cobalah membuka diri kepada penyandang disabilitas netra agar kami tidak lagi terlihat berdiri di pinggir jalan, bergantung pada belas kasihan orang lain,” kata Johanes.