Alas Purwo, dari Pendaratan Pertama Masyarakat Austronesia hingga Peselancar Modern
Alas Purwo di Semenanjung Blambangan menjadi saksi perjalanan waktu. Konservasi, pariwisata, dan budaya berkelindan tak lekang oleh zaman.
Oleh
DEFRI WERDIONO, AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·6 menit baca
Berteduh di bawah kanopi hutan, Rifki (20) memanfaatkan waktu rehat sejenak dengan duduk-duduk bersama adiknya yang masih kecil di seberang jalan di Pantai Pancur, Kecamatan Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (23/5/2022). Warga Desa Kampung 10 itu sudah lima tahun berjualan bakso di tempat itu.
Rifki mengaku penghasilannya dari berjualan bakso lumayan untuk menyambung hidup. Pancur menjadi salah satu pantai di kawasan Semenanjung Blambangan yang kerap dikunjungi wisatawan, selain Plengkung atau G-Land, Triagulasi, padang savana Sadengan, hingga Pantai Parang Ireng yang masuk situs Geopark Ijen. Jumlah pengunjung meningkat pada akhir pekan dan libur panjang, meski selama pandemi sempat menurun.
Berdagang menjadi salah satu cara mengadu nasib bagi masyarakat yang tinggal di sekitar Taman Nasional Alas Purwo. Warga lain ada yang menambang rezeki menjadi nelayan hingga bertani. Bahkan, ada pula yang mulai menyewakan penginapan (homestay). ”Lahan yang ada di pinggir hutan (Perhutani) juga banyak yang dimanfaatkan warga untuk bertani,” ujarnya.
Saat ini Taman Nasional Alas Purwo sedang menarik perhatian, khususnya mereka yang menggandrungi olahraga selancar. Peselancar dari sejumlah negara datang ke tempat ini untuk berlaga menjadi yang terbaik dalam kejuaraan World Surf League di Pantai Plengkung. Pantai ini menjadi idola peselancar karena ombak kirinya yang bisa disejajarkan dengan beberapa pantai di dunia, seperti Fiji dan Hawaii.
Nama Alas Purwo kerap disebut terkait kegiatan konservasi, wisata, hingga keperluan ritual dan budaya. Alas Purwo juga kerap diidentikkan dengan kawasan yang belum banyak terjamah manusia akibat kerapatan hutannya. Sebagian wilayah masih menyimpan misteri dan belum banyak diketahui orang.
Mengacu pada laman Taman Nasional Alas Purwo, rimba ini dihuni lebih dari 700 jenis tumbuhan. Beberapa jenis tumbuhan yang khas adalah sawo kecik (Manilkara kauki) dan sadeng (Livistoma rotundifolia).
Selain flora, Purwo juga kaya akan fauna. Ada 45 jenis mamalia yang sudah teridentifikasi, 70 jenis herpetofauna (reptil dan amfibi), serta lebih dari 250 jenis burung. Beberapa satwa endemi Alas Purwo adalah banteng (Bos javanicus), rusa timor (Rusa timorensis), dan macan tutul jawa (Panthera pardus melas).
Satwa lain, seperti kera ekor panjang (Macaca fascicularis), elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster), elang ular bido (Spilornis cheela), rangkok badak (Buceros rhinoceros), dan merak hijau (Pavo muticus muticus), juga ada di tempat ini.
”Alas Purwo masih menjadi hutan konservasi. Luasnya hampir mencapai 44.000 hektar. Terbagi dalam dua wilayah pengelolaan, yakni Wilayah I di bagian selatan seluas 21.000 ha dan Wilayah II di bagian utara seluas 22.000 ha,” ujar Probo Wresni Adji, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Taman Nasional Alas Purwo.
Secara rinci Taman Nasional Alas Purwo memiliki luas 43.420 ha. Luasan itu terbagi atas zona inti 12.354,7 ha; zona rimba 29.946,18 ha; zona rehabilitasi 447,91 ha; zona tradisional 481,31 ha; zona pemanfaatan 796,07 ha; zona khusus 1,1 ha; serta zona religi, budaya, dan sejarah 9,9 ha.
Selain kekayaan flora dan fauna, Alas Purwo juga menyimpan kekayaan budaya. Beberapa goa di Alas Purwo diyakini pernah menjadi tempat bernaung pendahulu. Masyarakat Austronesia pertama kali mendarat di daerah yang kini bernama Plengkung pada 3500 SM. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya cangkang kerang di tempat itu.
Mengenai hal ini bisa dilihat pada situs Kawitan yang berada tidak jauh pintu gerbang Taman Nasional Alas Purwo. Situs ini merupakan tempat ditemukannya reruntuhan bangunan yang diduga gapura dan diperkirakan sebagai salah satu peninggalan Kerajaan Blambangan pada abad ke-14.
Asumsi ini didasakan pada Prasasti Balawi (1305 M) yang menyebut toponimi Blambangan untuk pertama kali. Gapura yang ditemukan terbuat dari batuan gamping, berkaitan dengan sejarah geologi bahwa dulu Alas Purwo terbentuk dari proses pengangkatan karst dari lautan dangkal.
Setelah ditemukan, Pura Kawitan dimanfaatkan sebagai tempat suci agama Hindu oleh masyarakat yang berdiam di wilayah Tegaldlimo saat perayaan Pagerwesi. Masyarakat kemudian membangun Pura Luhur Giri Salaka di sebelah situs Kawitan sebagai tempat peribadatan.
Tak terpisahkan
Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas PGRI Banyuwangi, Wiwin Indiarti, mengatakan, Alas Purwo memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi, bahkan orang Jawa. Mereka memercayai bahwa leluhur manusia Jawa modern, yakni bangsa Austronesia, mendarat di Alas Purwo. Bangsa Austronesia kemudian menetap, menyebar, dan menurunkan suku-suku, termasuk yang menjadi bagian dalam masyarakat Banyuwangi yang majemuk.
Sejumlah studi, lanjut Wiwin, telah mengonfirmasi, tinggalan bangsa Austronesia pada masa Neolitikum masih bisa ditemukan di sejumlah goa di Alas Purwo. Goa-goa, telaga, atau sumber air di kawasan Alas Purwo hingga kini masih dijadikan lokasi untuk kegiatan mistik dan spiritual, mulai sembahyang hingga tapa.
”Masyarakat meyakini Alas Purwo memiliki energi amat besar sehingga sampai sekarang masih menjadi lokasi kegiatan spiritual, misalnya untuk bertapa,” katanya. Dalam bahasa Jawa, purwo berarti permulaan. Nama Alas Purwo pun sering dikaitkan dengan legenda penciptaan Pulau Jawa.
Pemerintah kolonial menjadikan Semenanjung Blambangan sebagai kawasan konservasi karena melindungi kekayaan luar biasa di dalamnya. Masyarakat turut memagari dengan legenda-legenda, bahkan cerita keangkeran, sehingga kelestarian kawasan terjaga.
Wiwin melanjutkan, beberapa tinggalan di Alas Purwo lengkap atau mewakili masa-masa. Masa Neolitikum atau prasejarah dibuktikan dengan tinggalan bangsa Austronesia. Masa sejarah klasik diwakili oleh situs Kawitan yang diyakini tinggalan abad ke-14 atau semasa dengan Majapahit. Ketika itu, wilayah Alas Purwo dikenal dengan sebutan Blambangan.
Karena itu, Alas Purwo—yang pernah menjadi saksi kedahsyatan tsunami Jumat Pon, 2 Juni 1994, yang menewaskan lebih dari 220 orang itu—juga dikenal sebagai Semenanjung Blambangan. Di Alas Purwo juga ditemukan bungker-bungker peninggalan masa Perang Dunia II yang diyakini dibangun oleh serdadu Jepang.
Sebelum berstatus taman nasional, pada 1920, Semenanjung Blambangan ialah Cagar Alam Poerwo dan Jati Ikan sesuai penetapan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Sedasawarsa kemudian, statusnya menjadi Suaka Marga Satwa Banyuwangi Selatan dengan luas 62.000 ha.
Pada 1960, sebagian wilayah kawasan itu dialihkan menjadi hutan tanaman jati untuk pengelolaan Perum Perhutani. Pada 1984, Suaka Marga Satwa Banyuwangi Selatan yang tersisa masuk dalam pengelolaan Balai TN Baluran. Barulah pada 1992, statusnya menjadi TN Alas Purwo dan ditetapkan pada 2014.
Di sisi lain, masyarakat Banyuwangi juga melestarikan legenda-legenda, terutama yang lisan, untuk melindungi kekayaan alam Semenanjung Blambangan. Misalnya, dalam hal mistik dan gaib, Alas Purwo dipercaya bernuansa mistik dan gaib dengan harapan dihormati oleh manusia sehingga terawat dan terjaga kelestariannya.
Secara politis, perlindungan terhadap kekayaan alam Semenanjung Blambangan diwujudkan dalam penetapannya sebagai kawasan konservasi, cagar alam, sampai taman nasional. ”Pemerintah kolonial menjadikan Semenanjung Blambangan sebagai kawasan konservasi karena melindungi kekayaan luar biasa di dalamnnya. Masyarakat turut memagari dengan legenda-legenda, bahkan cerita keangkeran, sehingga kelestarian kawasan terjaga,” ujar Wiwin.
Alas Purwo memang tak lekang oleh zaman. Kini, di masa modern, Purwo kembali disinggahi banyak orang dari sejumlah negara. Seperti pada 28 Mei-6 Juni 2022, saat perhelatan Liga Selancar Dunia dijadwalkan berlangsung. Mereka bakal menikmati potongan surga yang tersembunyi di balik rimba Purwo.