Difabel Netra Mengejar Harapan Hidup yang Kian Menjauh di Manado
50 tahun terakhir, Manado menjadi titik kumpul bagi penyandang disabilitas netra dari delapan provinsi di timur Indonesia berkat kehadiran Sentra Tumou Tou. Namun, perubahan besar tengah berlangsung di panti sosial itu.
Mati. Hanya itu yang Bobby Onsent kecil pikirkan setiap hari pada 1990. Ketika teman-teman sebayanya bersekolah, bermain, dan tertawa bersama, ia justru lebih suka mengurung diri di kamar. Bara semangat dalam sukmanya telah padam sama sekali.
Pada usia yang masih sangat muda, 14 tahun, Bobby mengalami kebutaan karena glaukoma. Ia pun berpikir, tak ada lagi gunanya hidup jika mata tak lagi dapat melihat terang. ”Tiap hari saya cuma makan, tidur. Tinggal menghitung hari, kapan akan mati, ya? Kenapa lama sekali?” kata Bobby, kini 46 tahun, suatu siang di akhir April 2022.
Saat itu, Bobby merasa dirinya menjadi aib keluarga. Bila ada tamu berkunjung ke rumah masa kecilnya di Kecamatan Telaga, Gorontalo, ia disuruh masuk ke kamar. Karena sudah terbiasa, ia tidak keberatan. Namun, perlahan ia merasa frustrasi karena tak punya kontrol akan nasib sendiri. Depresi pun mulai menggerogoti jiwanya.
Keadaan itu berlangsung selama delapan tahun, sampai suatu hari seorang teman mengabarkan tentang sebuah sekolah khusus penyandang disabilitas netra di Manado, Sulawesi Utara. Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Tumou Tou namanya. Katanya, semua biaya akan ditanggung pemerintah, tepatnya Kementerian Sosial.
Maka, pada 1998, Bobby hijrah ke Kelurahan Paal IV, Manado untuk mengikuti program residensi, yaitu tinggal di PSBN selama 3-4 tahun. Proses rehabilitasi sosial perlahan mengembalikan kemampuannya beraktivitas sehari-hari secara mandiri, seperti membaca huruf braille dan bermobilitas. Ia juga mempelajari berbagai keahlian, utamanya pijat.
”Awalnya sempat kecewa karena ujung-ujungnya tahu di situ cuma (belajar) jadi tukang pijat. Waktu itu saya pikir, tukang pijat ini apa gunanya? Kalau di kampung, paling cuma dibayar pakai ubi atau beras,” kata Bobby diikuti gelak tawa.
Namun, keyakinannya tumbuh setelah mengetahui para juru pijat alumni PSBN Tumou Tou bisa menghidupi keluarga, bahkan membuka klinik pijat sendiri. Akhirnya, setelah lulus pada 2002, berbekal ijazah pijat olahraga (sport massage), ia beristikamah dalam jasa pijat.
Dua dekade berlalu, kini Bobby menjadi pemilik salah satu klinik pijat difabel netra terbaik di Manado, yaitu Klinik Pijat Nusantara. Tak hanya hidup berkecukupan, ia bahkan bisa menyediakan lapangan kerja bagi juru pijat difabel netra lainnya.
Pusat rehabilitasi sosial di Manado juga membawa semangat baru ke dalam kehidupan Johanes Disa (45). Pria kelahiran Amurang, Minahasa Selatan, itu kini adalah satu dari segelintir difabel netra di Sulut yang memiliki ijazah sarjana, tepatnya dari Program Studi Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Manado yang ia peroleh pada 2014 di usia 37 tahun.
Kehilangan pengelihatan pada usia 2 tahun 6 bulan akibat campak, Johanes praktis tak pernah melihat indah warna-warni dunia. Karena itu, orangtua Johanes tak menyekolahkannya semasa kecil. ”Di kampung tidak bisa jadi apa-apa, cuma duduk, makan, tidur, dan mengharapkan belas kasihan orang lain,” katanya, pertengahan April lalu.
Hidupnya menemui titik balik pada 1991 ketika ia mendaftarkan diri dalam program residensi di Sasana Rehabilitasi Penyandang Cacat Netra (SRPCN, sebelum berganti menjadi PSBN) Tumou Tou di usia 14 tahun. ”Setelah masuk SRPCN, saya punya semangat hidup. Cakrawala wawasan saya bertambah luas. Saya bisa mandiri dan berdikari,” ujarnya.
Saya jadi sadar, menjadi tunanetra bukan halangan untuk terus maju.
Lulus dari SRPCN pada 1994, ia melanjutkan pendidikannya ke SD dan SMP, lalu menuntaskan Kejar Paket C pada 2008 sehingga bisa berkuliah. Kini, ia menjadi guru honorer di sebuah sekolah luar biasa di Minahasa. ”Saya menangani anak-anak berkebutuhan khusus, seperti autis, tunagrahita, tunanetra, dan down syndrome,” katanya.
Adapun bagi Gurinces Muli (60), difabel netra kelahiran Sangihe, SRPCN membawa perubahan mendasar pada paradigma hidupnya. Ternyata, para penyandang disabilitas netra bukanlah orang yang selalu muram.
”Karena dulu saya tinggal di sekeliling orang-orang yang bisa melihat, saya pikir tunanetra itu pesimistis. Ternyata selalu bersukacita, selalu tertawa. Saya jadi sadar, menjadi tunanetra bukan halangan untuk terus maju,” kata Gurinces yang kini berdagang asongan.
Titik kumpul
Keberadaan SRPCN/PSBN Tumou Tou, yang kini telah berganti nama lagi menjadi Sentra Tumou Tou sejak 1972, telah menjadikan Manado titik kumpul bagi penyandang disabilitas netra yang mendambakan perbaikan hidup. Selama 50 tahun, unit pelaksana teknis (UPT) di bawah Kemensos itu telah menampung tak kurang dari 2.000 orang.
Kepala Sentra Tumou Tou Kamsiaty Rotty mengatakan, pada 9 Mei lalu, para klien rehabilitasi sosial tersebut berasal dari delapan provinsi di Sulawesi, Maluku, dan Papua yang menjadi wilayah kerjanya. Selain pijat olahraga dan shiatsu, mereka juga dilatih bermain alat musik, berkerajinan tangan, membuat abon cakalang, dan berwirausaha.
Baca juga: Memastikan Hak Difabel di Masa Pandemi
”Tujuannya agar mereka memiliki modal hidup berupa keterampilan. Harapannya, pada masa depan mereka bisa hidup mandiri, tidak bergantung pada keluarga, orangtua, masyarakat, ataupun pemerintah,” ujar Kamsiaty, yang secara akumulatif sudah 14 tahun memimpin Sentra Tumou Tou.
Sentra Tumou Tou juga memiliki program Family Support, yaitu pembinaan bagi keluarga penyandang disabilitas netra dalam mengenal kebutuhan dan potensi, serta cara-cara memberi perlakuan khusus secara wajar sehingga mereka tidak merasa dikucilkan. Dengan begitu, para penyandang disabilitas tetap bisa berpartisipasi aktif di masyarakat layaknya orang awas.
Berakhir
Namun, hubungan erat difabel netra dengan Sentra Tumou Tou dikhawatirkan akan pudar. Perubahan nama menjadi UPT tersebut, sesuai mandat Peraturan Mensos Nomor 3 Tahun 2022, ternyata juga diiringi perluasan cakupan kelompok rentan yang harus dilayani selain difabel netra.
Kelompok yang dimaksud adalah anak, penyandang disabilitas, lanjut usia (lansia), korban penyalahgunaan narkotika, serta tunasosial dan korban perdagangan orang. Aturan ini berlaku pula bagi 41 UPT rehabilitasi sosial yang tersebar di seantero negeri menyusul program Asistensi Rehabilitasi Sosial (Atensi) yang digencarkan pada 2021.
Maka, sejak Maret 2022, Sentra Tumou Tou lebih banyak melayani pemulihan anak dan perempuan korban kekerasan seksual, pemberdayaan lansia, dan membagikan kebutuhan pokok ke lokasi-lokasi bencana. Belum ada program yang terlaksana untuk difabel netra, apalagi residensi.
Balai (UPT) lain yang setingkat dengan kami biasanya punya 50 pegawai.
Bagi Kamsiaty, perubahan ini membawa tantangan baru. Pertama, pekerja sosial Sentra Tumou Tou harus beradaptasi dengan kelompok rentan yang tak pernah mereka tangani sebelumnya, termasuk orang dengan HIV/AIDS dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Kedua, target klien mereka meningkat drastis dari ratusan menjadi 10.000 orang setahun sekalipun wilayah kerjanya dipersempit menjadi Sulut dan Gorontalo saja. Padahal, Sentra Tumou Tou hanya memiliki 20 pegawai, termasuk empat pekerja sosial. ”Ini sangat kurang. Balai (UPT) lain yang setingkat dengan kami biasanya punya 50 pegawai,” katanya.
Di tengah perubahan besar yang terjadi, Kamsiaty menyatakan, para penyandang difabel netra tidak akan ditinggalkan. Tahun ini, misalnya, telah dijadwalkan pelatihan pijat shiatsu. ”Fokus kami saja yang berubah, dari difabel netra saja menjadi semua kelompok rentan. Jadi, sebenarnya tidak ada dampak negatif (dari perubahan fungsi) karena kami akan layani mereka sesuai kuota yang telah disepakati tiap tahun,” ujarnya.
Sebaliknya, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Tunanetra Indonesia (DPP Pertuni) Aria Indrawati, dalam kunjungan di Manado, Rabu (25/5/2022), mengatakan, perubahan ini sangatlah merugikan. Korban utamanya adalah para penyandang disabilitas netra yang membutuhkan atau sedang mengikuti rehabilitasi sosial tingkat dasar, yaitu pemulihan fungsi sosial agar bisa beraktivitas seperti biasa.
Seharusnya, kata Aria, perubahan itu diiringi kesiapan pemerintah daerah untuk mengambil alih fungsi yang ditinggalkan Sentra Tumou Tou, sebagaimana diatur Permensos Nomor 16 Tahun 2019. Pemerintah provinsi bertanggung jawab akan rehabilitasi sosial di dalam panti sosial, sedangkan pemerintah kota/kabupaten di luar panti.
Baca juga: Mempersoalkan ”Disabilitas” dan ”Difabel”
Masalahnya, banyak pemprov yang belum memiliki panti sosial khusus difabel netra, termasuk Sulut. Adapun Pemkot Manado selama ini hanya memiliki program pengembangan unit usaha serta pemberian kebutuhan pokok dalam jumlah yang sangat terbatas. Padahal, di Manado saja ada 1.437 penyandang disabilitas, termasuk 126 difabel netra.
”Kami merasa dicurangi karena pemda tidak dipersiapkan dulu untuk mengambil peran menjalankan tugas rehabilitasi tingkat dasar. Kalau ini tidak disediakan, pemerintah sama saja sedang melakukan pelanggaran HAM secara sistematis terhadap warganya sendiri,” kata Aria.
Aria pun berharap DPRD dan Pemprov Sulut segera mengembangkan sistem rehabilitasi sosial dasar dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2020. Namun, tugas ini sangat berat. Sulut bahkan baru memiliki peraturan daerah tentang penyandang disabilitas pada Desember 2021.
Di lain pihak, anggota Komisi III DPRD Sulut dari Fraksi PKS, Amir Liputo, percaya Perda Nomor 8 Tahun 2021 yang baru saja disahkan itu bisa memfasilitasi kebutuhan rehabilitasi sosial dasar. ”Kami berharap, ke depan akan ada panti khusus yang menampung mereka (difabel netra). Ini amanat undang-undang. Negara wajib memfasilitasi,” katanya.
Selama lima dekade, Sentra Tumou Tou telah mengejawantahkan arti dari namanya, yang dalam bahasa Minahasa berarti ”menghidupkan orang lain”. Tak sedikit penyandang disabilitas netra yang hidupnya berubah berkat kehadirannya. Akankah difabel netra tetap mendapat akses setara dengan kelompok rentan untuk layanannya? Waktu yang akan menjawab.
Lihat juga: Disabilitas Tanpa Batas