Satgas PMK di NTT Intensifkan Pengawasan di Pintu Masuk
Satgas PMK di NTT intensifkan pengawasan. Pelaku perjalanan diimbau tidak membawa makanan yang terbuat dari produk turunan ternak.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Penyakit mulut dan kuku masih belum ditemukan di Nusa Tenggara Timur hingga Minggu (22/5/2022). Satuan tugas untuk pencegahan penyakit ini secara intensif mengawasi di sejumlah pintu masuk distribusi hewan. Pelaku perjalanan juga diminta tidak membawa makanan yang terbuat produk turunan dari ternak.
Pengawasan sudah mulai gencar dilakukan setelah satgas melakukan rapat koordinasi, akhir pekan lalu. Selain dinas peternakan setempat, satgas juga melibatkan pihak otoritas pelabuhan laut, karantina, bandar udara, operator pelayaran, kepolisian, dan sejumlah lembaga vertikal di bawah Kementerian Pertanian.
”Kami mendapatkan informasi bahwa PMK sudah terdeteksi di provinsi tetangga NTB (Nusa Tenggara Barat). Ini yang membuat kami meningkatkan kewaspadaan untuk aspek pencegahan,” kata Melky Angsar, wakil ketua satgas yang kini menjabat Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan NTT.
Ia mengatakan, secara kebijakan, NTT sudah menutup pintu bagi masuknya ternak dari luar. Tugas satgas memastikan hal itu lewat pengawasan di pintu masuk, baik di pelabuhan resmi maupun pelabuhan liar. Daerah yang menjadi fokus pengawasan seperti di sisi selatan, yakni Kota Kupang; di sisi utara, yakni Atapupu; dan sisi barat, Labuan Bajo.
Melky meyakini, jika celah itu ditutup dengan baik, wabah PMK tidak akan masuk ke NTT. Berdasarkan pengalaman, pengawasan semacam itu sebagaimana upaya mengisolasi virus rabies tidak keluar dari Pulau Flores. Virus rabies di Flores ditemukan lebih dari 25 tahun lalu dan hingga kini masih ada. Namun, virus itu berhasil dicegah tidak masuk ke Pulau Timor.
Padahal, Flores dan Timor sama-sama berada di NTT. Akses transportasi antardua pulau itu juga lancar. ”Sudah terbukti, kita bisa mencegah masuknya rabies dari Flores ke Timor. Ini adalah sebuah keberhasilan yang kita jaga selama lebih dari 25 tahun. Kita bisa lakukan hal yang sama untuk cegah masuknya PMK,” kata Melky yang juga berprofesi sebagai dokter hewan itu.
Sementara itu, Kepala Balai Besar Pelatihan Peternakan Kupang Bambang Haryanto menambahkan, selain pengawasan di pintu masuk pelabuhan, pelaku perjalanan dari luar NTT juga diingatkan agar tidak membawa makanan yang merupakan produk turunan dari daging ternak. Wabah PMK dapat menular melalui media itu.
Ia menyarankan agar di setiap bandara dibuat pemberitahuan dan imbauan kepada penumpang yang baru tiba. Jika telanjur dibawa, makan itu dimusnahkan secara aman agar tidak terkontaminasi ke makanan ternak. ”Masyarakat harus sadar bahwa ini sangat berdampak pada nasib para peternak di sini,” katanya.
Penyebaran wabah ternak ini pernah mengguncang NTT pada tahun 2021. Ratusan ribu babi mati akibat demam babi Afrika yang masuk dari negara tetangga Timor Leste. Peternakan di NTT mengalami kerugian hingga puluhan miliar rupiah. Pascawabah itu tidak ada perhatian yang serius dari pemerintah bagi nasib peternak.
Merebaknya wabah PMK ini membuat peternak sapi di NTT dirundung kegelisahan. Namun, mereka tetap yakin kalau sapi mereka aman. ”Setiap hari kami gembalakan di padang rumput. Sapi memakan daun-daun yang tumbuh liar, seperti lamtoro, rumput gajah, rumput raja dan kelor. Kami tidak pernah campur dengan makanan pabrik,” ujar Ferdi (34), peternak di Desa Tunbaun, Kabupaten Kupang.
Ia berharap, sapi miliknya dapat dijual ke Pulau Jawa untuk mengatasi potensi kelangkaan daging di sana. Pasalnya, banyak sentra peternakan sapi di Pulau Jawa terserang PMK. Terlebih lagi, pada awal Juli nanti, tingkat permintaan sapi bakal meningkat menjelang Idul Adha.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, populasi sapi potong tahun 2020 di lima provinsi dengan jumlah terbanyak berturut-turut, Jawa Timur sebanyak 4,8 juta ekor, Jawa Tengah 1,80 juta ekor, Sulawesi Selatan sebanyak 1,4 juta ekor, Nusa Tenggara Barat sebanyak 1,2 juta ekor, dan Nusa Tenggara Timur 1,1 juta ekor.