Diplomasi Kebudayaan Indonesia-Jerman untuk Persahabatan yang Setara
Diplomasi budaya Indonesia-Jerman terus didorong untuk membangun persahabatan setara. Selama ini, Jerman lebih banyak memengaruhi budaya Indonesia melalui musik dan lukisan. Indonesia perlu memperkenalkan nilai budaya.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Diplomasi budaya Indonesia-Jerman perlu didorong untuk membangun persahabatan yang setara di antara kedua bangsa. Selama ini, Jerman lebih banyak memengaruhi budaya Indonesia, khususnya melalui musik klasik dan lukisan. Indonesia perlu memperkenalkan nilai-nilai dalam kebudayaan dan kesenian.
”Hanya dengan diplomasi kebudayaan, kita bisa duduk sejajar dengan Jerman. Diplomasi ekonomi dan politik selama ini mendudukkan kita dalam posisi yang berbeda,” kata Lena Simanjuntak, seniman opera Batak dari Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Siantar dalam diskusi di Kantor Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sumatera Utara, Medan, Sabtu (14/5/2022).
Dalam diskusi bertema ”Diplomasi Budaya, Walter Spies dan Orang Jerman di Indonesia” itu hadir sebagai pembicara Peneliti Utama BRIN Ketut Wiradnyana dan Direktur PLOt Siantar Thompson HS.
Lena, yang kini menetap di Koeln, Jerman, mengatakan, kebudayaan Indonesia sudah lama dipengaruhi oleh kebudayaan Jerman. Musik klasik karya Mozart, Ludwig van Beethoven, dan musisi lainnya, misalnya, sejak dulu sudah populer di Indonesia. Seni Lukis di Indonesia juga dipengaruhi oleh Jerman.
Pelukis berdarah Jerman, Walter Spies (1895-1942), adalah seniman yang memperkenalkan Bali ke dunia. Ia jatuh cinta pada Bali sejak kedatangan pertamanya ke sana tahun 1925 dan akhirnya menetap di sana sejak 1927. Lukisan Spies berjudul ”Mountains and Pond” (1938) menggambarkan ketenangan dan keindahan Bali. Melalui lukisan-lukisannya, kata Lena, ia memperkenalkan Bali ke dunia.
Sebaliknya, kata Lena, kebudayaan Indonesia tidak terlalu banyak memengaruhi kebudayaan Jerman. Saat ini telah didirikan Lembaga Persahabatan Indonesia-Jerman yang memfasilitasi diplomasi kebudayaan kedua negara.
Di Koeln, dulu ada universitas yang mempelajari Bahasa Melayu, tetapi program studi itu sudah dihapus dan digantikan dengan Bahasa Mandarin. Di Hamburg juga sebelumnya ada dipelajari tentang Indonesia, tetapi sudah dihapus juga. ”Ini yang harus dihidupkan kembali,” kata Lena.
Untuk menghidupkan lagi diplomasi Indonesia-Jerman, kata Lena, akan diadakan juga seminar mengulas Walter Spies di Bali pada Oktober tahun ini. Seminar itu, juga untuk menghidupkan kembali perjanjian kebudayaan yang telah lama mati suri. Beberapa langkah awal telah diambil, seperti menghidupkan Lembaga Persahabatan Indonesia-Jerman. Lembaga ini juga rutin melaksanakan Indonesia Day setiap tahun untuk memperkenalkan kebudayaan Indonesia di Jerman.
Peneliti Ahli Utama BRIN di Sumut, Ketut Wiradnyana, mengatakan, jejak kebudayaan Jerman juga banyak terdapat di Tanah Batak. Pola hiasan rumah adat Batak, menurut Ketut, juga dipengaruhi kebudayaan Jerman.
Kebudayaan Jerman juga masuk ke Tanah Batak lewat Misionaris Jerman yang menyebarkan agama Kristen. ”Masuknya Misionaris Jerman membuat lompatan kemajuan kebudayaan yang sangat besar di Tanah Batak,” ujar Ketut.
Thompson mengatakan, orang Jerman sudah datang ke Hindia Belanda (Indonesia) sejak awal abad ke-17 dan bekerja sebagai pelaut, tentara, artis, pedagang, atau pegawai negeri sipil di zaman kolonial. Junghuhn, misalnya, pernah menulis ”Die Battälander auf Sumatra” pada 1846. Sebutan Indonesia juga dipopulerkan seorang Jerman bernama Adolf Bastian.