Durian Medan bisa dinikmati di lapak trotoar hingga kafe adem bersofa empuk. Ribuan orang dihidupinya.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI
·5 menit baca
Berdaging tebal dengan aroma kuatnya yang khas, durian medan selalu tersedia hampir tanpa jeda. Sensasi lembut yang lumer di mulut, rasa manis-legit bahkan pahit di lidah menghipnotis penikmatnya hingga Jepang dan Brasil. Lebaran kali ini, durian pun diburu para pelancong.
Di Kota Medan, durian selalu ada dan bisa dijumpai setidaknya di 11 lokasi, seperti di Jalan Wahid Hasyim, Jalan Iskandar Muda, Jalan Sunggal, Jalan Jamin Ginting tak jauh dari jembatan layang, atau di Jalan Tentara Pelajar. Tak terhitung berapa orang hidup dari sana.
Lapak durian bakal berlipat saat musim durian tiba. Di sudut-sudut jalan bermunculan lapak-lapak baru atau ditaruh di jok sepeda motor di atas trotoar, yang marak sejak era tahun 1990-an.
Sempat sepi tamu karena pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19, kini lapak durian ramai kembali. Libur Lebaran kali ini menjadi riuh transaksi. ”Jumlah tamu naik 70-80 persen dibanding hari biasa,” kata Didit Febriadi (45), kasir Ucok Durian di Jalan Wahid Hasyim, Senin (2/5/2022). Jelang tengah malam, Ucok Durian masih ramai di hari pertama Lebaran itu.
Dika (21), warga Purwakarta, Jawa Barat, yang datang berombongan menghabiskan enam durian. ”Selalu ke sini kalau ke Medan, kurang rasanya kalau tidak makan durian,” kata kerabat Dika.
Hal sama terjadi di Si Bolang Durian di Jalan Iskandar Muda. Maria Setyaningsih (54), warga Bogor, Jabar, bersama ibunya yang sepuh menghabiskan satu durian. ”Ibu mau nambah, tapi saya larang. Sudah tua, ya,” katanya.
Maria menyempatkan menikmati durian Medan karena berdaging tebal. Ia juga bisa memilih selera. Jika tidak suka, entah karena warna, rasa, ukuran, penjual menggantinya.
Selain makan di tempat, ia pun pesan untuk dibawa pulang. Daging durian segar disusun rapi di kotak plastik, lalu dikemas dengan plastik kedap udara.
Dulu, pengemasan harus dibubuhi kopi dan irisan pandan untuk menghilangkan bau. Lalu, durian dalam plastik itu diplester tebal bak ”mumi”. Kini, teknologi pengemasan membaik. Pembelian daring naik.
Libur Lebaran kali ini sejatinya bukanlah musim durian. Pelapak menyebutnya ”musim kecil”. Musim durian sesungguhnya disebut ”musim besar”. Saat itulah panen raya. Biasanya dua kali setahun, sekitar Agustus dan Desember, durian dari seluruh Sumut melimpah membanjiri Medan.
Pada musim itu, pekerja durian bertambah. Di Ucok Durian saja, jika saat ini hanya belasan pekerja, pada musim durian bisa 40 orang sehari.
Pada musim besar itu, kata Didit, pasokan durian ke Ucok Durian mencapai 10.000 buah per hari, dalam 10 mobil bak terbuka. Di musim kecil seperti sekarang, hanya 4-5 mobil per hari. Dan, durian-durian itu selalu habis.
Biasanya hanya separuh yang dijual untuk disantap langsung konsumen. Sisanya memenuhi pasar durian segar, dagingnya juga dijadikan produk durian beku.
Demi kontinuitas pasokan, para pelapak bekerja sama dengan jaringan petani, pengumpul, dan pemasok durian. Mereka punya jadwal panen. Misalnya, sebelum Lebaran, durian dipasok dari Aceh, lalu dari Mandailing Natal di Sumut. Bulan Juni tiba giliran durian dari Sibolga dan sebagian Sidikalang di Dairi. Begitu seterusnya.
Raymond Tampubolon (26), pemasok durian dari usaha dagang Durian Sirait, mengatakan, seluruh pelosok Sumut sudah ia jelajahi demi suplai durian bulat atau daging saja. Di Nias, misalnya, karena transportasi sulit, ia bawa dalam bentuk daging durian beku. Hal sama di Mentawai, Sumbar.
Saat-saat tertentu ketika tak ada pasokan durian dari Sumut, durian dipasok dari jauh. Musim ini ia bawa durian dari Painan, Pesisir Selatan, Sumbar. ”Saya berangkat dari Painan kemarin jam tiga sore,” kata Raymond. Sampai Medan hari berikutnya jelang tengah malam, atau 36 jam. Ia pun kerap mencari durian hingga Bengkulu dan Palembang. Untuk membawanya sampai ke Medan, durian diangkut dengan mobil bak berpendingin.
Durian per mobil L-300 dihargai Rp 30 juta karena sedang musim kecil. Saat musim besar, harga biasanya turun. Jika setiap malam mobil-mobil durian masuk Kota Medan, dalam satu bulan perputaran ”uang durian” puluhan miliar rupiah. Itu belum termasuk durian untuk ekspor.
Penjualan durian di Medan bertransformasi menjadi lapak modern bukan tanpa proses. Zainal Abidin (53), pemilik Ucok Durian, bercerita, tahun 1980-an hingga 1990-an, puluhan petani berjualan durian di kanan-kiri Jalan Iskandar Muda setiap musim durian. Mereka berjualan di atas tanah.
Ia yang saat itu buruh angkut durian akhirnya mendirikan lapak bersama pedagang lain. Durian ditumpuk di trotoar, kursi plastik dan tikar disediakan. Durian tidak bagus, gratis.
Syahrial (45), teknisi Ucok Durian, menyebut, kunci sukses itu kualitas. Itu pula yang dijunjung di Si Bolang Durian.
Masuk bisnis durian tahun 2016, pemiliknya yang kebanyakan anak muda mengusung konsep kekinian. ”Kami buat tempat makannya senyaman mungkin dan instagramable,” kata Hendry (31), team leader Si Bolang Durian.
Mereka pun berinovasi menawarkan harga durian per kilogram, yakni Rp 85.000. Durian yang tidak terpilih pembeli juga tidak disajikan. Dari durian-durian ”tertolak” itulah hadir pancake, bolu, martabak, risoles, kebab, es buah, es serut, hingga es krim.
Reni Anjelita Harahap (26) misalnya, membuka dua lapak kebab durian di Jalan Mansyur dan Jalan Setia Budi Medan dua tahun terakhir. Lajang lulusan Universitas Muslim Nusantara, Medan, itu mempekerjakan dua pegawai. "Lumayan sih hasilnya. Penggemarnya banyak," kata dia.
Daging durian beku pun diekspor ke negara-negara di kawasan Asia, Australia, dan Amerika. ”Banyak dijadikan durian es krim,” kata Yusfahri Perangin-Angin, Kepala Subbagian Program Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumut.
Di Kota Medan, geliat ”durian runtuh” menjadi berkah sepanjang tahun. Tak terhitung keluarga hidup dari sana.