Sebanyak 304 Desa di Deli Serdang Gelar Pilkades, Partisipasi di Desa "Metropolitan" Rendah
Sebanyak 304 desa melaksanakan pemilihan kepala desa serentak di Deli Serdang. Sejumlah desa ”metropolitan” di perbatasan Kota Medan sepi pemilihan. Warga berharap kemudahan mengurus dokumen kependudukan.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
LUBUK PAKAM, KOMPAS — Sebanyak 304 desa melaksanakan pemilihan kepala desa secara serentak di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Senin (18/4/2022). Sejumlah desa ”metropolitan” di perbatasan Kota Medan juga melaksanakan pemilihan. Di sejumlah tempat pemungutan suara, partisipasi terbilang rendah, di bawah 50 persen.
Tempat pemungutan suara (TPS) sudah mulai dibuka sejak pagi di sejumlah desa, seperti di Kecamatan Percut Sei Tuan, Sunggal, Tanjung Morawa, dan Lubuk Pakam. TPS pun tampak sepi dan tidak ada antrean cukup berarti. Banyak pemilih menggunakan haknya sebelum berangkat ke tempat kerja atau bertani.
”Persiapan pemilihan kepala desa sudah dilaksanakan 100 persen. Semoga pelaksanaannya juga bisa berjalan dengan baik,” kata Bupati Deli Serdang Ashari Tambunan seusai menggunakan hak pilihnya di Desa Jatisari, Kecamatan Lubuk Pakam, ibu kota Deli Serdang itu.
Pemilihan kepala desa serentak itu termasuk yang paling besar di Sumut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, populasi Deli Serdang mencapai 1,93 juta jiwa pada 2020, terbanyak kedua di Sumut setelah Kota Medan yang populasinya 2,44 juta jiwa.
Sebanyak 304 dari 380 desa di Deli Serdang pun mengadakan pemilihan kepala desa. Pemilihan kepala desa dilaksanakan di 22 kecamatan.
Ashari mengatakan, jika dilihat secara lebih luas, partisipasi pemilih pada pemilihan kepala desa tersebut cukup baik. Pemkab Deli Serdang pun menargetkan partisipasi secara keseluruhan bisa mencapai 70 persen. ”Saya berharap pilkades bisa berjalan damai. Kepala desa yang terpilih juga kami harap bisa membangun Deli Serdang bersama-sama,” katanya.
Desa metropolitan
Sebagian desa yang ikut pemilihan pun merupakan desa ”metropolitan” yang berada di sejumlah kecamatan yang berbatasan langsung atau merupakan daerah satelit Kota Medan, yakni Kecamatan Percut Sei Tuan, Sunggal, Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, Labuhan Deli, dan Kecamatan Beringin.
Di daerah itu terdapat pusat bisnis dan niaga, perumahan, pergudangan, kawasan industri, hingga Bandara Kualanamu. Keberadaannya pun sangat penting sebagai daerah penyangga Kota Medan.
Kompleks Cemara Asri yang berada di Desa Sampali merupakan salah satu desa ”metropolitan” yang berbatasan langsung dengan Medan. Aktivitas bisnis dan kegiatan masyarakat di kompleks itu tampak berjalan seperti biasa.
Ada empat TPS yang dibuat berjejer di depan kompleks tersebut. Namun, TPS-TPS itu tampak sepi. Satu dua orang datang setiap 5 menit. Hingga pukul 12.00, partisipasi pemilih tidak sampai 50 persen.
Herman (50), pemilih dari kompleks Cemara Asri Desa Sampali, mengatakan, kepada kepala desa yang terpilih hanya berharap urusan dokumen kependudukan dan berbagai surat keterangan dari desa tidak dipersulit. ”Itu masalah yang dari dulu terus berulang. Kepada semua calon yang mendekati kami selalu kami minta jangan mempersulit pengurusan dokumen,” kata Herman.
Herman menyebut, peran desa tidak terlalu signifikan dalam pembangunan fisik karena mereka berbatasan langsung dengan Kota Medan. Sebagian besar jalan juga merupakan jalan provinsi dan nasional. Jumlah dana desa juga terbilang kecil dibanding perputaran uang di pusat bisnis itu.
Minimnya partisipasi juga tergambar di sejumlah TPS di Desa Saentis yang tidak sampai 50 persen. Ruthy Gultom (29), warga Desa Saentis, mengatakan, ia tidak menggunakan hak suaranya karena harus berangkat ke tempat kerjanya di sebuah bank di Medan. ”Saya juga tidak ada kenal satu pun calonnya, apalagi programnya. Jadi enggak ada dorongan untuk memilih,” ujarnya.
Ruthy mengatakan, ia melihat banyak baliho calon kepala desa berukuran besar berseliweran dalam beberapa pekan belakangan ini. Namun, baliho itu tidak menarik perhatiannya.
Berbeda dengan Warsih (58), warga Desa Saentis lainnya. Ia menggunakan hak pilihnya agar bisa mendapat kepala desa yang lebih baik. Ia punya pengalaman buruk dalam mengurus KTP anaknya. Hingga berbulan-bulan KTP-nya belum selesai. ”Ada orang di kantor desa yang minta Rp 400.000 agar KTP-nya bisa keluar. Mau dari mana saya cari uang sebanyak itu,” katanya.
Warsih yang merupakan buruh tani menggunakan hak pilihnya setelah ada tim sukses yang menjanjikan bisa mengurus KTP anaknya. Ia berharap, urusan kependudukan di desa bisa dilaksanakan dengan lebih baik.