Pelajaran dari Kealpaan Mendeteksi Gangguan Jiwa di Brebes
Kealpaan keluarga dan lingkungan mendeteksi gangguan kejiwaan pada seseorang bisa berakibat fatal. Di Brebes, seorang ibu yang belakangan diketahui mengidap gangguan jiwa menganiaya tiga anaknya, satu anak tewas.
Sekitar sebulan terakhir, jagat media sosial dihebohkan kasus penganiayaan seorang ibu kepada ketiga anaknya di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Satu dari tiga anak meninggal dunia, sedangkan dua lainnya luka berat. Kasus ini menjadi pemantik kesadaran bagi masyarakat untuk lebih peka terhadap lingkungannya terkait dengan kesehatan jiwa yang selama ini masih dianggap tabu.
Kabar kelabu datang dari Desa Tonjong, Kecamatan Tonjong, Kabupaten Brebes, Minggu (20/3/2022) pagi, saat matahari belum juga muncul. Ketika sebagian besar orang masih lelap dalam tidurnya, KSZ (10), ATR (7), dan E (5) berjuang untuk tetap hidup. KU (40), ibu kandungnya, mencoba menghabisi nyawa mereka dengan cutter atau silet.
Melihat kedua adiknya terkapar tak berdaya, KSZ menangis sekencang mungkin, berharap mendapat pertolongan. Suara tangisan KSZ membuat bibinya, Khamidah, yang tinggal serumah dan baru saja menunaikan shalat Subuh mendekati kamar mereka.
Sampai di depan pintu kamar KU dan tiga anaknya, Khamidah mengetuk pintu, mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Sayangnya, pintu kamar dikunci dari dalam. Dengan alat seadanya, Khamidah mencoba mendobrak pintu kamar tersebut. Pintu tak kunjung terbuka, tetapi dari sela-sela pintu, ia bisa melihat ketiga keponakannya berlumuran darah.
”Mbak Khamidah minta tolong ke tetangga-tetangga, akhirnya pada bangun, terus membuka paksa pintu kamar itu. Pas pintu terbuka, anak-anak itu bertiga sudah berdarah-darah semua. Bagian lehernya terluka. Terus mereka dibawa warga ke rumah sakit,” ujar Novi (35), tetangga KU.
Setelah mendapat pertolongan medis, dua anak, yakni KSZ dan E, yang menderita luka berat selamat. Keduanya kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Margono, Banyumas. Adapun ATR meninggal dunia.
Tak berselang lama, polisi mencokok KU di rumah tersebut. Ia lalu dibawa ke kantor Kepolisian Sektor Tonjong. Saat ditanya petugas, jawaban KU ngalor-ngidul, tidak jelas. Dalam sebuah video yang beredar di media sosial, KU sempat mengungkapkan alasannya mencoba membunuh ketiga buah hatinya. Kala itu, KU yang sedang mendekam di balik jeruji besi mencoba menjawab pertanyaan dari seseorang.
”Saya ingin menyelamatkan anak saya, biar enggak hidup susah. Gara-gara saya, hidupnya susah. Saya mau menyelamatkan anak-anak biar enggak dibentak-bentak. Mending mati saja biar enggak ngerasain sedih,” kata KU dalam video itu.
Baca juga: Bocah 10 Tahun di Kota Tegal Jadi Korban Kekerasan Seksual Ayah Kandung
Karena curiga, polisi memeriksakan kesehatan jiwa ibu yang sehari-hari bekerja sebagai penata rias itu ke Rumah Sakit Umum Daerah dr Soeselo, Kabupaten Tegal. Di tempat itu, KU diperiksa dan diobservasi kesehatan jiwanya selama lebih kurang sebulan terakhir.
”Dari pemeriksaan panjang dan bertahap, diketahui bahwa KU mengalami gangguan jiwa berat yang nyata. Gangguan jiwa ini kami katakan berat karena pada pasien didapatkan halusinasi, contohnya mendengar suara bisikan di telinga dan itu menetap lebih dari satu bulan. Yang kedua, kami mendapatkan adanya keyakinan menetap yang tidak sesuai logika atau waham,” kata dokter spesialis jiwa RSUD dr Soeselo, Glorio Immanuel, saat dihadirkan dalam konferensi pers di Markas Kepolisian Resor Brebes, Senin (18/4/2022).
Setelah ditelusuri lebih lanjut, KU diketahui telah menderita gangguan jiwa berat, setidaknya sejak enam bulan terakhir. Kondisi itu juga disebut Glorio telah menurunkan berbagai kemampuan KU. Penurunan kemampuan itu terjadi pada fungsi sosial, ekonomi, ataupun fungsinya sebagai ibu.
”Jadi, ini bukan kejadian yang baru saja dialami. Ini adalah sebuah rangkaian. Bahkan, ketika melakukan pemeriksaan lebih jauh, banyak kami temukan gangguan jiwa pada terduga sejak masa kanak-kanak sampai masa dewasa. Ibaratnya, kejadian kemarin ini adalah puncak dari gangguan jiwanya,” ujar Glorio.
Ini adalah sebuah rangkaian. Bahkan, ketika dilakukan pemeriksaan lebih jauh, banyak ditemukan gangguan jiwa pada terduga sejak masa kanak-kanak sampai masa dewasa. Ibaratnya, kejadian kemarin ini adalah puncak dari gangguan jiwanya.
Kepada Glorio dan timnya, KU secara konsisten bercerita bahwa dirinya sudah mengalami kekerasan fisik, kekerasan verbal, hingga pelecehan. Perbuatan itu disebut KU dilakukan oleh keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Selama ini, KU menyimpan cerita itu sendirian, termasuk rasa dendamnya kepada orang-orang di masa lalunya tersebut.
Menurut hasil tes kecerdasan, KU berada di garis batas atau normal, tetapi tergolong sebagai normal yang paling rendah. Hal ini membuat ketahanannya terhadap pemicu stres sangat rendah. Meskipun pemicu stres yang dihadapinya kecil, dampak yang dirasakan sangat tinggi. ”Kondisi ini yang pada akhirnya membuat ia berpikir bahwa anak-anaknya akan disakiti orang lain, sama seperti dirinya,” ucapnya.
Terdeteksi
Glorio mengungkapkan, gangguan kesehatan jiwa seperti yang dialami KU sebenarnya dapat dideteksi jika orang-orang di sekitarnya memiliki kepekaan. Jika ada tanda-tanda perubahan sikap ataupun perilaku yang dicurigai, mereka tak perlu ragu memeriksakan. Melalui pemeriksaan, gangguan kejiwaan bisa dideteksi dan potensi bahaya bisa dicegah.
Penderita gangguan jiwa bisa diobati agar kondisinya stabil dan tidak bertambah parah. Sayangnya, belum semua orang atau keluarga menyadari hal tersebut. Tak jarang, penderita gangguan jiwa dianggap aib. Akhirnya, penderita dan keluarganya enggan mencari pertolongan medis.
Berdasarkan keterangan Khamidah kepada petugas Dinas Sosial Kabupaten Brebes, gelagat aneh KU sudah terlihat setidaknya sepekan sebelum kejadian. Kala itu, KU sempat mengajak anaknya berjalan-jalan ke daerah dataran tinggi di Kecamatan Tonjong. Saat tiba di sebuah tebing, KU mengungkapkan keinginannya untuk mengajak anaknya bunuh diri dengan cara melompat dari tebing. Cerita ini diungkapkan anak bungsu KU kepada bibi mereka, Khamidah.
”Bibinya ini menyimpan sendiri cerita itu. Di saat sama, KU ini terus-terusan mengurung diri di dalam kamar. Tak disangka, saat si bibi lengah, peristiwa itu terjadi,” kata Kepala Bidang Jaminan dan Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Brebes Slamet Gembira.
Slamet mengimbau masyarakat untuk meningkatkan kepekaan terhadap orang-orang di sekitarnya. Jika sudah ada gelagat mencurigakan dan berpotensi membahayakan, warga diminta segera melapor, minimal kepada ketua rukun tetangga atau rukun warga. Mereka yang mendapat laporan potensi bahaya juga diharapkan segera melapor kepada pihak berwajib sehingga kejadian serupa tak lagi terulang.
Dalam artikel berjudul ”Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Kekambuhan pada Penderita Gangguan Jiwa di Wilayah Kerja Puskesmas Sungai Dareh Kabupaten Dharmasraya”, yang dimuat di Jurnal KesehatanPerintis (2018), YP Sari dkk menulis, faktor dukungan keluarga sangat penting dalam pendampingan penderita gangguan jiwa karena mereka bagian yang paling dekat dan tidak dapat dipisahkan.
Penderita akan merasa senang dan tenteram apabila mendapat perhatian, dukungan orangtua, serta pola asuh yang baik dari keluarganya. Sebab, dengan dukungan dan pola asuh tersebut akan timbul kepercayaan diri untuk menghadapi dan mengelola penyakit yang sedang dihadapi menjadi lebih baik.
Selain itu, dengan didampingi keluarga dekat, penderita diharapkan mau menuruti saran-saran yang diberikan. Perawatan orangtua kepada penderita skizofrenia ditunjukkan melalui pola asuh, pengetahuan, serta ekspresi emosi yang ditunjukkan selama berinteraksi dengan penderita.
Adapun T Pribadi dkk, dalam riset yang dipublikasikan di Malahayati Nursing Journal (2019), mendapati bahwa peran keluarga dalam menekan potensi kekambuhan penderita gangguan jiwa ataupun skizofrenia sangat besar. Keluarga diharapkan dapat lebih mengerti, mengetahui, dan memahami hingga pada akhirnya dapat berperan secara aktif sebagai pendukung utama kesembuhan penderita. Harapannya, penderita secara bertahap meningkatkan kemampuan penyesuaian diri serta tidak rentan lagi terhadap pengaruh stresor psikososial.
Dalam riset T Pribadi dkk yang dilakukan di RSJ Lampung tersebut didapati fakta bahwa sebagian besar keluarga penderita skizofrenia kurang memiliki informasi memadai tentang penyakit tersebut, termasuk perawatan dan rehabilitasi selama di rumah. Akhirnya, banyak keluarga bingung dalam merawat penderita skizofrenia di rumah setelah pulang dari RSJ. Bahkan, beberapa di antaranya memperlakukan penderita skizofrenia secara tidak layak, seperti dikurung, diasingkan, bahkan sampai dipasung.
Kondisi anak
Anak-anak KU yang menderita luka berat kini sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit setelah mendapat perawatan medis lebih kurang sepekan di RSUD Margono, Kabupaten Banyumas. Kendati demikian, mereka tak langsung dibawa pulang ke Brebes, tetapi dibawa ke Rumah Aman milik Kementerian Sosial. Di tempat itu, kedua anak KU ditemani oleh ayah mereka yang selama ini bekerja sebagai petugas keamanan di DKI Jakarta.
”Secara fisik, kedua anak tersebut sudah membaik. Namun, kondisi kesehatan mentalnya, terutama anak pertama KU yang berusia 10 tahun, masih trauma. Saat ini, pemulihan trauma masih terus dilakukan oleh para psikolog anak dan pendamping rehabilitasi sosial khusus anak,” ucap Slamet.
Sementara itu, KU yang awalnya dirawat di Poli Jiwa RSUD dr Soeselo, Kabupaten Tegal, telah dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa dr Amino Gondohutomo, Semarang. Adapun proses hukum terhadapnya kemungkinan besar tidak bisa dilakukan.
”Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, seseorang dengan gangguan jiwa tidak dapat dihukum atau dipidana. Selanjutnya, kami akan terus berkoordinasi dengan Pengadilan Negeri Brebes dan Kejaksaan Brebes terkait dengan kelanjutan kasus ini. Sebab, yang memiliki kewenangan menempatkan pelaku ke rumah sakit jiwa adalah hakim,” kata Kepala Polres Brebes Ajun Komisaris Besar Faisal Febrianto.
Baca juga: Kesadaran Membawa Penderita Gangguan Jiwa Berobat Masih Rendah
Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang, Mohammad Fatkhul Mubin, mengatakan, terapi dan perawatan sering kali hanya diberikan kepada penderita gangguan jiwa. Padahal, keluarga, tetangga, dan orang-orang di lingkungan penderita gangguan jiwa juga perlu mendapatkan terapi dan edukasi. Selama terapi dan edukasi pada lingkungan tidak dilakukan, penderita gangguan jiwa yang telah dinyatakan sembuh berpotensi kembali menjalani rawat inap atau readmission.
”Pemahaman masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa masih minim. Dalam banyak kasus, penderita gangguan jiwa yang sudah dinyatakan sembuh bisa readmission karena lingkungan tidak siap menerima. Mereka ini rawan mendapatkan stigma, diskriminasi, ataupun pelabelan dari orang-orang di sekitarnya, bahkan ketika sudah dinyatakan sembuh. Ini tidak boleh terjadi,” kata Mubin yang juga pendiri Komunitas Peduli Skizofrenia Semarang.
Terapi dan perawatan sering kali hanya diberikan kepada penderita gangguan jiwa. Padahal, keluarga, tetangga, dan orang-orang di lingkungan penderita gangguan jiwa juga perlu mendapatkan terapi dan edukasi.
Mubin mencontohkan, ia pernah membina Desa Banyuroto di Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, menjadi desa siaga sehat jiwa. Di desa tersebut, penderita gangguan jiwa yang awalnya dipasung selama 11 tahun dibebaskan. Selama pasien itu diobati, keluarga, tetangga, dan pemerintah setempat diedukasi terkait cara memperlakukan penderita gangguan jiwa. Hasilnya, setelah sebelas tahun keluar dari rumah sakit, pasien itu belum pernah kambuh.
”Sepulang dari rumah sakit jiwa, pasien ini diperlakukan dengan baik oleh keluarga dan lingkungan, bahkan dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan sosial. Hal ini membuat si pasien merasa senang karena dimanusiakan,” ujarnya.
Mubin menambahkan, di desa tersebut ada sekitar 130 kader sehat jiwa. Tugas mereka, antara lain, melakukan deteksi dini, merujuk, memberi perawatan dasar, promosi kesehatan jiwa, mencegah pelabelan, hingga mengajari cara berinteraksi dengan penderita gangguan jiwa. Upaya semacam ini juga perlu dilakukan di desa-desa lain sehingga tingkat keparahan penderita gangguan jiwa dapat ditekan dan potensi bahaya dapat direduksi.