Di Palangkaraya, Mahasiswa Desak RUU Masyarakat Adat Disahkan
Ratusan mahasiswa mendatangi kantor DPRD Provinsi Kalteng. Mereka tak hanya menolak wacana presiden tiga periode, tetapi juga meminta pemerintah tidak melupakan masyarakat, terutama masyarakat hukum adat.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Unjuk rasa ratusan mahasiswa di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, berjalan damai. Mereka tak hanya menolak penundaan pemilu, tetapi juga meminta legislatif betul-betul bekerja untuk rakyat, salah satunya dengan membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat.
Aksi tersebut dilaksanakan dua kali. Pada Senin (11/4/2022) pagi, kelompok Cipayung Plus melakukan aksi sekitar pukul 09.00 WIB dan selesai sekitar pukul 12.00 WIB. Aksi kedua dilakukan beberapa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di Kota Palangkaraya yang selesai sekitar pukul 16.00 WIB.
Aksi tersebut dijaga ketat aparat Kepolisian Resor Kota Palangkaraya dan Brigade Mobil Polda Kalteng. Saat itu, ratusan mahasiswa mendatangi kantor DPRD Provinsi Kalteng di Jalan S Parman, Kota Palangkaraya. Mereka membakar sebuah ban mobil, tetapi aksi berjalan tanpa kerusuhan.
Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Santo Dionisius Kota Palangkaraya Obi Seprianto menjelaskan, aksi kelompok Cipayung Plus berakar dari keresahan dan sejumlah polemik yang terjadi belakangan. Ini mulai dari kenaikan harga BBM, minyak goreng, dan sejumlah komoditas yang diperburuk dengan wacana tiga periode presiden.
Dia melanjutkan, mahasiswa menilai polemik yang terjadi belakangan itu berdampak luas dan memberatkan kehidupan warga Indonesia, terutama yang berpenghasilan rendah. ”Daya beli mereka menurun, apalagi pelaku UMKM yang saat ini tertatih-tatih membangun usahanya di tengah pandemi Covid-19,” katanya.
Obi menambahkan, pemerintah baik eksekutif maupun legislatif seharusnya lebih banyak memikirkan rakyat dibanding kepentingan kelompoknya. Di Kalimantan Tengah, konflik agraria dan konflik lahan merajalela dan menyengsarakan masyarakat, khususnya komunitas adat. Pemerintah dan DPR seharusnya membahas RUU Masyarakat Hukum Adat yang sudah belasan tahun tertunggak.
”Kami juga meminta pemerintah segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat untuk menyelesaikan konflik di tengah komunitas adat dengan masifnya investasi daripada membahas tiga periode presiden atau penundaan pemilu,” teriak Obi dalam orasinya.
Hal serupa juga diungkapkan peserta aksi kedua dari Universitas Palangka Raya (UPR), Wanda Franata. Menurut dia, sampai saat ini pemerintah pusat belum mengesahkan RUU Masyarakat Hukum Adat. Padahal, kebijakan tersebut dinilai mampu melindungi dan memberikan hak masyarakat adat di pelosok.
Tak hanya itu, pemerintah daerah di Kalimantan Tengah juga belum selesai membahas peraturan daerah terkait masyarakat hukum adat. ”Kriminalisasi di Kalimantan Tengah karena konflik agraria yang berkepanjangan sudah memakan banyak korban. Kinipan adalah contoh yang sedang terjadi saat ini,” ungkap Wanda.
Dia menjelaskan, di Kalimantan Tengah, hutan dibabat untuk kepentingan investasi yang dampaknya tidak bisa dirasakan langsung masyarakat. Reforma agraria yang ditawarkan pemerintah saat ini belum mampu terlaksana dengan baik. ”Kebijakan yang dibuat pemerintah untuk kebaikan masyarakat, bukan kelompok elite,” ujar Wanda.
Sebelum unjuk rasa berakhir, Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Tengah Wiyatno menemui peserta aksi. Ia mengungkapkan, pihaknya menerima semua tuntutan mahasiswa dan berjanji meneruskannya ke pemerintah pusat.
”Akan kami bawa tuntutan teman-teman ke pusat. Kami berkomitmen untuk itu,” kata Wiyatno menanggapi aksi di depan kantornya.