Pawang hujan menjadi bentuk kearifan lokal yang selelu ada dan dibutuhkan. Di kawasan Candi Borobudur, Magelang, para pawang hujan rutin diminta jasanya untuk memperlancar acara di destinasi internasional itu.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Sebuah acara bisa disebut megah, modern, dan berskala internasional, tetapi kondisi cuaca yang tak bersahabat sangat mungkin mengganggu pelaksanaannya dan dapat memudarkan citra. Meski teknologi kian canggih menyesuaikan instruksi algoritma, kearifan lokal untuk menyukseskan suatu acara masih dipercaya melalui keberadaan pawang hujan.
Agus Sumadyo (63) melangkah pelan mengelilingi teras depan Hotel Manohara di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (25/3/2022). Di beberapa lokasi, ia berhenti sambil menancapkan batang hio yang sudah dibakar. Aroma kemenyan menguar di areal yang sesaat kemudian dilintasi puluhan tamu asing rombongan G20.
Setelah pemasangan hio selesai, Agus berjingkat mundur. Dengan sikap khusyuk dan khidmat, ia duduk di tanah, menangkupkan kedua belah tangan dan mulai berdoa dalam senyap. Seusai ritual, dia berbisik lirih, ”Kami, pawang hujan, adalah bagian dari tim yang bekerja di belakang layar.”
Hio yang dipasang dan doa yang dipanjatkan Agus memiliki tujuan khusus sesuai permintaan panitia penyelenggara. Dia diminta menjaga dan mencegah supaya hujan tidak melanda dan mengganggu kegiatan para tamu delegasi G20 yang sore itu dijadwalkan berkunjung dan naik ke bangunan Candi Borobudur. Adapun Hotel Manohara berjarak sekitar 300 meter dari candi.
Sekalipun sudah diketahui banyak orang, profesi pawang hujan seperti Agus belakangan mendadak ramai dibicarakan setelah aksi Rara Isti Wulandari menghentikan hujan dalam ajang MotoGP Mandalika 2022 di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, mendadak viral dan diperbicangkan publik. Jika banyak pawang hujan melakukan aksi diam-diam dan tidak terekspos, video Rara yang melakukan ritual di tengah arena balap justru tersebar luas di jagat maya. Fenomena di Mandalika seolah mengungkap rahasia umum bahwa kerja pawang hujan nyata dan hidup beririsan dengan peradaban modern.
Agus Sumadyo yang tinggal di sekitar Borobudur, misalnya, menuturkan, dirinya sudah menjadi pawang hujan hampir 13 tahun, yakni mulai 2009. Jasanya kerap diminta membantu kelancaran acara di Candi Borobudur, yang ditetapkan sebagai warisan budaya UNESCO pada 1991 tersebut.
Sebagai destinasi berskala internasional, kerap digelar acara penting berskala nasional hingga internasional di Taman Wisata Candi Borobudur. Tak hanya acara resmi, tapi juga hiburan. Dua kerja besar Agus ialah saat konser megabintang Mariah Carey pada 2018 dan Westlife pada 2019.
Hingga luar Jawa
Tak hanya hajatan besar, Agus juga kerap diminta membantu kelancaran acara peluncuran produk, kegiatan kementerian, hingga perkawinan tingkat RT. Wilayah kerjanya tak hanya di sekitar Magelang, tetapi hingga Daerah Istimewa Yogyakarta, Rembang, dan Kebumen.
Di Magelang, jasa pawang hujan pun melimpah. Peminta jasa mereka bahkan datang dari luar Jawa. Salah satunya Imam Mahadi (63), warga Desa Gondang, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, yang pernah melayani permintaan mencegah hujan turun dari perusahaan tambang nikel di Dumai, Provinsi Riau. ”Perusahaan itu membutuhkan jasa saya karena hujan membuat aktivitas tambang berulang kali dihentikan,” ujarnya.
Jika kebanyakan konsumen meminta hujan dihentikan, ada pula yang justru meminta hujan segera turun. Permintaan meminta hujan itu, antara lain, pernah disampaikan salah satu perusahaan di Kalimantan. Hal itu dilakukan karena perusahaan itu sedang melaksanakan program tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) berupa penanaman kembali hutan gundul. Perusahaan itu butuh hujan turun agar bibit yang sudah ditanam segera tumbuh.
Sama seperti Agus, Imam juga menerima banyak permintaan dari berbagai macam konsumen. Selain perusahaan, dia juga sering menerima permintaan dari perorangan, termasuk dari putrinya sendiri, yang ketika itu sedang menjalani shooting film pendek.
Jika kebanyakan konsumen meminta hujan dihentikan, ada pula yang justru meminta hujan segera turun.
Khusus saat anaknya yang jadi pelanggan, Imam terpaksa sabar menerima aneka permintaan yang diajukan. Tidak seperti pelanggan lain yang cukup meminta cuaca cerah, putrinya saat itu masih mengeluh meski hujan urung turun.
”Anak saya mengeluh cuaca berubah menjadi sangat panas. Agar suasana shooting menjadi lebih nyaman, dia meminta agar cuaca diganti menjadi teduh saja,” ujar Imam sembari tersenyum.
Permintaan serupa pernah diterima Agus. Permintaan agar langit tetap teduh tanpa hujan tersebut, antara lain, pernah diterimanya dari pihak penyelenggara Tour de Borobudur, acara balap sepeda yang rutin diselenggarakan setiap tahun di Jawa Tengah.
Tidak gaptek
Meski demikian, jangan bayangkan pawang hujan hanya tahu sesajen dan kemenyan. Mereka juga mesti kenal teknologi. Sebab, sama seperti orang yang bekerja di sektor formal, pawang hujan pun bisa kebanjiran permintaan atau menerima lebih dari satu pekerjaan di hari yang sama. Maka, ketika itulah, kemajuan teknologi digital menjadi solusi.
Agus mengatakan, dia pernah menerima permintaan menjadi pawang hujan di empat lokasi berbeda, yang harus dilakukannya di hari yang sama. Satu lokasi didatanginya sendiri, sedangkan tiga lokasi lain cukup didoakan berdasarkan pantauan dari jarak jauh. ”Pihak panitia cukup mengirimkan foto atau video di lokasi acara, dan saya akan mendoakannya dari jauh,” ujarnya.
Foto yang dikirimkan adalah foto pemandangan awan dan langit. Pengiriman foto atau video sewajarnya cukup dilakukan satu kali. Namun, karena didorong rasa panik melihat langit berangsur mendung, pihak panitia terkadang mengirimkan foto hingga beberapa kali.
Hal serupa juga dilakukan Imam. Tidak hanya saat pesanan pekerjaan melimpah, upaya mendoakan dari luar lokasi juga dilakukan ketika ada permintaan dari tempat yang dinilainya terlalu jauh. Order dari perusahaan nikel dari Dumai seperti yang diceritakan sebelumnya, juga dipenuhinya dengan doa jarak jauh.
”Sebagai bekal doa, perusahaan pun mengirimkan foto satelit lokasi pertambangan pada saya,” ujarnya.
Namun, jika perkembangan situasi di sebuah lokasi dinilainya berat, Imam biasanya akan langsung mendatanginya. Hal itu dilakukan ketika di lokasi tersebut dirasa ada kekuatan jahat yang menghalangi doanya menolak hujan, atau ketika ada orang lain yang justru mengirimkan doa meminta hujan turun di lokasi tersebut.
Meski demikian, ada pula pawang hujan yang meminta syarat lain dari pengguna jasanya. Pawang hujan di Magelang yang menyebut diri Ki Semar Bodronoyo, misalnya, terkadang meminta agar pihak peminta jasa membawakan sedikit sampel tanah dari lokasi pelaksanaan acara.
”Sampel tanah tersebut akan semakin memudahkan jalan doa saya. Jauh lebih memudahkan daripada sekadar menyebutkan alamat,” ujar pawang hujan asal Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, ini.
Lalu, mengapa para penyelenggara tetap meyakini pentingnya eksistensi pawang hujan? Apa tanggapan para pawang hujan terkait anggapan sebagian orang yang menilai aktivitas mereka berkaitan dengan klenik dan bertentangan dengan keyakinan? (Bersambung)