Senjata Api, Amunisi, dan Bahan Peledak Ditemukan di Pulau Haruku
Warga Pulau Haruku yang masih menyimpan senjata diminta segera menyerahkannya kepada aparat. Di sisi lain, warga beralasan, senjata yang disimpan untuk melindungi diri dan keluarga.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Polisi menemukan beberapa pucuk senjata api, amunisi, dan bahan peledak di hutan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Bahan berbahaya itu diduga digunakan warga dalam serangkaian konflik di pulau tersebut. Warga yang masih menyimpan senjata diminta segera menyerahkan kepada aparat keamanan.
Rincian senjata api yang ditemukan itu adalah satu pucuk senjata api SKS organik dan satu pucuk senjata api laras panjang rakitan. Selain itu, 34 butir amunisi yang terdiri atas 12 butir kaliber 5,56 milimeter dan 22 butir kaliber 7,62 milimeter. Ada juga delapan bom rakitan dalam kemasan botol.
Kepala Bidang Humas Polda Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat, dalam konferensi pers di Markas Polda Maluku pada Kamis (31/3/2022), mengatakan, semua barang bukti itu ditemukan secara terpisah dalam patroli selama dua bulan terakhir. Roem enggan menyebutkan detail titik penemuan tersebut dengan alasan untuk memperlancar proses penyelidikan.
”Patroli dan razia sudah kami lakukan selama ini sejak bentrokan antarwarga terjadi di Pulau Haruku. Kami temukan beberapa bahan peledak dan senjata api, kemudian hasilnya ini akan kami lakukan pengembangan,” kata Roem. Untuk tahun ini, konflik antarkampung terjadi mulai akhir Januari lalu.
Konflik berawal dari penyerangan oleh warga Desa Pelauw ke perkampungan Desa Kariuw yang menyebabkan tiga orang meninggal serta 211 rumah dan puluhan kendaraan milik warga Kariuw dibakar. Setelah itu, konflik berlanjut antara warga Desa Hulaliu dan Aboru. Ada juga sejumlah penembakan misterius di hutan Haruku.
Menurut Roem, senjata dan amunisi itu merupakan peninggalan konflik sosial di Maluku sekitar dua dekade lalu. Tidak tertutup kemungkinan, senjata itu dapat digunakan dalam konflik di Pulau Haruku. Ia pun mengimbau warga yang masih menyimpan senjata agar segera menyerahkan kepada aparat.
”Kami tidak akan melakukan proses hukum kalau masyarakat menyerahkan senpi dan bahan peledak secara sukarela. Tapi sebaliknya jika tidak diserahkan dan saat kami melakukan razia kemudian menemukannya, pemiliknya akan kami tindak sesuai hukum yang berlaku,” tegasnya.
Masyarakat tidak mau serahkan juga karena merasa tidak percaya dengan aparat keamanan. (TL)
Secara terpisah, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Provinsi Maluku Benediktus Sarkol mengatakan, polisi seharusnya bisa dengan mudah menelusuri kepemilikan senjata di daerah. Ketika terjadi konflik di Haruku, beredar foto dan video yang memperlihatkan warga dengan bebas memegang senjata bahkan di depan sejumlah aparat.
Ia pun mempertanyakan fungsi intelijen serta pendekatan aparat dalam melucuti senjata warga. ”Aparat di Maluku ini kan banyak anak daerah dan mereka pasti sangat paham tentang peredaran senjata itu. Tinggal bagaimana mengajak masyarakat untuk serahkan. Kalau masyarakat masih menolak, diproses saja,” katanya.
Beredarnya senjata ilegal, lanjut Benediktus, akan membuat bara konflik di daerah itu tetap hidup. Selalu saja ada dorongan untuk terlibat konflik sebab masyarakat merasa sudah membekali diri dengan senjata dan amunisi. Harapan untuk terciptanya kedamaian semakin jauh.
TL (30), warga Pulau Haruku, menuturkan, masih banyak senjata yang beredar di Pulau Haruku. Senjata disimpan di rumah, di kebun, dan dikubur dalam tanah. Ketika konflik antarkampung, senjata dikeluarkan. Warga menyimpan senjata dengan alasan melindungi diri jika suatu waktu terjadi konflik.
”Kalau mau serahkan, semua kampung harus serahkan. Jangan sampai ada yang tidak. Masyarakat tidak mau serahkan juga karena merasa tidak percaya dengan aparat keamanan. Seperti penyerangan warga Pelauw ke kampung Kariuw, saat itu warga Kariuw sudah lapor, tetapi polisi tidak antisipasi,” katanya.