Dari Kampung Kariuw, pesan harmoni bergema lewat pembangunan gedung gereja hingga peresmiannya yang melibatkan umat lintas agama. Pesan harmoni lima tahun silam itu terhalau diserang sekelompok orang.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Minggu, 2 Juli 2017, saya berada di antara kerumunan yang jumlahnya lebih dari 1.000 orang. Kami berdiri di luar halaman gedung Gereja Kristen Protestan Maluku Ebenhaezer. Gereja yang berdiri di Kampung Kariuw, Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, itu sebentar lagi akan diresmikan.
Dalam hening, dari balik gereja muncul belasan perempuan Muslim berkerudung sambil menarik kain putih panjang. Mereka berjalan menuju gerbang dari dalam. Tak lama, beberapa pria Muslim mengenakan kopiah membuka gerbang gereja dari luar. Mereka lalu berdiri memenuhi gerbang.
Seorang pria berkopiah itu lalu meraih pengeras suara dan mulai bicara. Ia mengatakan, gerbang gedung gereja itu dikerjakan oleh umat Islam. Gerbang sebagai simbol pelindung menegaskan bahwa umat Islam akan ikut menjaga gedung gereja di atas lahan seluas 332 meter persegi itu. ”Tolong jaga baik-baik,” pesan pria itu dengan suara bergetar.
Selepas sapaan itu, tokoh agama dari kampung-kampung tetangga ikut membubuhkan tanda tangan pada prasasti peresmian. Gereja Ebenhaezer itu dibangun selama lebih dari delapan tahun, sebagai pengganti gereja lama yang dibakar saat konflik sosial bernuansa agama pada tahun 1999.
Lima tahun berselang, pesan harmoni yang didaraskan itu hilang ketika rasa takut meneror kampung tersebut, Selasa (25/1/2022) malam. Suara tembakan mulai terdengar. Peluru kembali menghunjam perkampungan itu. Tangis anak-anak kecil memekak di malam yang gelap. Begitulah kisah sejumlah orang yang mengabarkan dari kejauhan.
Mereka keluar dari rumah dan berjalan menuju hutan. Mereka menghindari kondisi terburuk yang masih membekas dalam ingatan. Pada 14 Februari 1999, kampung itu ludes dibakar perusuh yang datang dari luar. Mereka tidak mau lagi menjadi korban untuk kedua kalinya.
FS (42), warga Kariuw, lewat sambungan telepon menuturkan, Selasa malam lalu itu mereka mendengar suara tembakan. ”Bunyi rentetan panjang,” tulis FS pada lampiran video yang dikirim melalui Whatsapp kepada saya.
Pada Rabu pagi saat fajar pecah, asap mengepul di Kampung Kariuw. Hampir semua rumah warga dibakar oleh penyerang yang datang dari luar. Beruntung warga sudah mengungsi dari semalam. Polisi menyebut tiga orang meninggal dalam penyerangan itu. Identitas dan asal korban sengaja tidak disebutkan.
Penyerangan ke Kariuw ikut mengusik kedamaian di Maluku. Banyak orang lalu mengaitkannya dengan isu SARA mengingat kelompok penyerang itu diketahui berasal dari Desa Pelauw, tetangga Kariuw. Pelauw dan Kariuw masing-masing dihuni oleh penduduk dengan agama berbeda.
Semua mata tertuju ke Pulau Haruku, pulau yang hanya berada sejengkal dari Pulau Ambon. Dengan menggunakan perahu cepat, waktu tempuh sekitar 15 menit. Di pulau seluas 150 kilometer persegi itu terdapat 11 desa dengan jumlah penduduk lebih kurang 25.000 jiwa. Seperti di wilayah Maluku pada umumnya, penduduk dalam suatu desa memiliki agama yang sama.
Pulau Haruku juga merupakan daerah dengan catatan konflik yang tinggi. Selain konflik antara warga Desa Kariuw dan Pelauw, juga pernah terjadi konflik antara warga Desa Pelauw dan Kailolo, bahkan antarsesama warga di dalam Desa Pelauw. Sebagian warga Desa Pelauw terusir dari kampung halamannya dan kini menetap di tengah hutan.
Kebanyakan masyarakat Pulau Haruku menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Pulau itu sebagai penghasil pala dan cengkeh. Pada era Orde Baru, pemerintah berencana menjadikan pulau itu sebagai wilayah tambang setelah diketahui ada cadangan emas. Warga setempat menolak rencana itu.
Provokasi damai
Setelah kejadian itu, di media sosial dan grup percakapan beredar video berisi penyerangan. Muncul juga keterangan yang mengaitkan kejadian itu dengan isu agama mengingat kelompok penyerang dan kelompok warga yang menjadi korban berbeda agama. Keadaan meruncing.
Gubernur Maluku Murad Ismail langsung mengimbau warga yang bertikai agar menahan diri dan tidak terpengaruh dengan isu-isu provokasi. Ia menegaskan, konflik yang terjadi jangan sampai digiring ke persoalan SARA. Kajadian itu hanya kesalahpahaman terkait batas ulayat.
”Karena itu, saya minta pertikaian ini dihentikan karena tidak ada yang diuntungkan, bahkan akan merugikan banyak pihak. Konflik di mana pun tak membawa keuntungan bagi siapa pun,” katanya tegas.
Dia meminta tokoh masyarakat dan pemuka agama ikut berperan membangun dialog dan komunikasi dalam penyelesaian sengketa yang terjadi. Kasus di Haruku segera dicegah jangan sampai meluas ke daerah lain.
”Saya harap konflik di Pulau Haruku dapat segera dilokalisasi dan tidak meluas. Semua pihak harus bisa menahan diri, tidak memperkeruh situasi, dan menyerahkan kepada pihak keamanan untuk mengambil langkah-langkah yang memadai juga terukur dalam memulihkan situasi,” ujarnya.
Di tengah ketegangan itu, muncul gerakan provokasi damai. Pesan damai dan ajakan untuk memelihara kerukunan ramai di media sosial. Pengguna media sosial, terutama Facebook, membagikan pesan damai. Para pegiat perdamaian di Maluku pun bergerak mengonsolidasi kekuatan.
Abidin Wakano, pegiat perdamaian, meminta masyarakat agar tidak terprovokasi dengan isu-isu yang berpotensi merusak perdamaian di Maluku. ”Ada konten yang sangat provokatif di media sosial yang dapat merusak. Konten ini harus dilawan dengan konten provokasi damai lewat ajakan untuk merawat perdamaian,” ucapnya.
Tensi konflik sudah mereda, polisi mulai melakukan penyelidikan dan mencari aktor di balik penyerangan ke Kampung Kariuw yang menewaskan tiga orang itu. Atas nama penegakan hukum dan keadilan bagi korban, para pelaku harus ditangkap dan dihukum. Membakar puluhan rumah dan membunuh orang tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun.
Di sisi lain, korban penyerangan masih meratapi nasib mereka yang penuh ketidakpastian. Sembari menunggu proses rekonsiliasi di antara kedua pihak, pemerintah sepatutnya segera dan terus hadir memberi kepastian terkait masa depan warga meskipun semua itu tak akan mengembalikan Kariuw damai seperti harmoni di halaman Gereja Ebenhaezer lima tahun lalu. Jangan kasih ruang teror bernuansa SARA di negeri majemuk ini.