KTT New Rural Agenda, Desa Menjadi Masa Depan Dunia
Puluhan kepala desa dari berbagai daerah berkumpul di Jatiwangi Art Factory, Desa Jatisura, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Mereka akan merumuskan posisi desa dalam KTT New Rural Agenda di Jerman, Juni 2022.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
Tanah dari puluhan desa dikumpulkan pada Konferensi Kepala Desa di Desa Jatisura, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, Sabtu-Minggu (26-27/3/2022). Dalam Konferensi Tingkat Tinggi New Rural Agenda di Jerman, Juni mendatang, tanah itu membawa pesan: desa menjadi masa depan dunia.
Salah satu tanah berasal dari Jatisura, daerah penghasil genteng abad ke-19. Selain bersejarah, tanah itu juga mulai langka. Lempung tersebut kian sulit ditemui seiring alih fungsi lahan pertanian menjadi pabrik sepatu, pabrik garmen, perumahan, dan pusat perbelanjaan.
Lahan Yanti (41), warga setempat, seluas 1.400 meter persegi juga menjelma bangunan pabrik tujuh tahun lalu. Ia tak lagi memproduksi 7 kuintal gabah kering giling, tapi beli beras di warung. ”Sawah warga yang lainnya juga dijual. Lahan saya terjepit. Jadi, dijual saja,” ungkapnya.
Akhirnya, Yanti tak lagi ke sawah, tetapi mengurus cucu di rumah. Sebab, orangtua sang anak harus bekerja di pabrik sepatu dari pagi hingga magrib. Saat buruh pabrik masuk dan pulang kerja, jalanan di desanya macet. ”10 tahun belakangan nyeberang jalan saja susah,” ucapnya.
Yanti bersama 10 perempuan paruh baya menuangkan keresahan akan lahan desanya itu dalam grup musik Mother Bank. Nama itu diambil dari kondisi ibu-ibu yang kerap terlilit utang oleh rentenir. Mereka menyanyikan keluhannya dalam Konferensi Kepala Desa (KKD).
Simak liriknya, ”Setiap hari hilir mudik. Orang muda pergi ke pabrik. Menyeberang jalan tak mudah lagi. Kendaraan makin berisik. Sawah tanah terus menyempit. Pembangunan kontrakan melejit. Kakek-nenek ngasuh incu. Ayah ibunya bekerja. Pergi pagi pulang magrib….”
Kisah tanah yang dilantunkan Mother Bank itu juga dibahas 30 kepala desa dalam KKD. Pertemuan itu menjadi kick-off Kongres Kebudayaan Desa serta rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) New Rural Agenda perdana di Kassel, Jerman, Juni nanti. KTT itu didukung Documenta Fifteen, pameran seni kontemporer dan isu terkini di dunia.
Tanah dari Jatisura tidak hanya menyimpan masalah ruang hidup, tetapi juga kreativitas warga. Jatiwangi Art Factory, organisasi nirlaba yang berbasis di Jatisura dan fokus pada kajian kehidupan masyarakat perdesaan melalui seni rupa, mendorong warga berkarya.
Bersama masyarakat, JAF menyulap lempung yang dulunya hanya dijadikan genteng menjelma produk seni, ubin, dan tasbih. Mereka juga membuat pameran, lokakarya, dan Rampak Genteng (Ceramic Music Festival) yang bisa dihadiri ribuan orang dari dalam dan luar negeri.
Tanah Jatisura juga kerap dibawa ke luar negeri untuk pameran seni. Berbagai inisiatif itu mengembalikan jati diri desa yang memuliakan tanah dengan pengetahuan lokalnya. JAF juga turut menjadikan Jatiwangi sebagai wilayah pariwisata budaya dalam tata ruang Majalengka.
Dari Kalensari, Kecamatan Widasari, Indramayu, Jabar, masyarakat juga mencoba melestarikan tanah desa. ”Ini tanah permanen yang tidak boleh dialihfungsikan. Dari dulu susah seperti itu,” kata Kuwu (Kepala Desa) Kalensari Masroni sambil menunjukkan tanah coklat di tangannya.
Tanah desa sekitar 8 hektar itu digunakan warga untuk menanam padi. Bahkan, sekitar 1,4 hektar di antaranya dijadikan tempat tumbuhnya sekitar 90 varietas lokal. Tidak hanya menyelamatkan pengetahuan lokal, cara itu juga membuat petani mandiri dari ”serbuan” produsen benih global.
Di Desa Cibuluh, Kecamatan Tanjungsiang, Kabupaten Subang, Jabar, masyarakat menggelar Festival Tujuh Sungai sejak 2018 untuk melestarikan alam. Lewat pariwisata, menampilkan kuliner hingga cara menangkap ikan tradisional, mereka mencoba melawan eksploitasi sungai.
”Desa kami dikelilingi tujuh sungai. Tanahnya semakin terkikis beberapa tahun ini. Tanah yang hilang bisa setengah hektar,” ungkap Kuwu Cibuluh Edi Junaedi. Lahan di daerah itu pun labil. Banjir dan longsor membayangi. Perubahan iklim global dinilai turut memicu bencana itu.
Daulat desa
Kepala Desa Panggungharjo, Bantul, Wahyudi Anggoro Hadi mengatakan, dunia saat ini krisis tanah, air, dan udara. Perkotaan, misalnya, tak lagi menyediakan udara bersih karena tingginya polusi. Lahan kian menyempit. Untuk mendapatkan ketiga komoditas itu, orang harus ke desa.
”Tapi, ketiga komoditas ini dikuasai multinational corporation. Kondisi ini beriringan dengan hilangnya kebudayaan. Kebudayaan hanya sebatas ekspresi, bukan nilai,” katanya. Petani, misalnya, kini bergantung dengan pupuk dan benih perusahaan, bukan pengetahuan lokalnya.
”Pengetahuan atas desa dihabiskan by design (terdesain) melalui revolusi hijau. Sampai kita tidak bisa menyebutkan jenis bumbu dapur. Sampai aplikasi pesan antar lebih paham makanan kesukaan saya dibandingkan istri saya,” ujar salah satu inisiator Kongres Kebudayaan Desa ini.
Desa, lanjutnya, harus diberi daulat atas politik, ekonomi, dan data. Desa bisa menentukan arah kebijakan daerahnya, termasuk memanfaatkan perekonomian lokal. Semua itu bisa terwujud jika desa jadi subyek data, bukan obyek. ”Data ini jadi alat kendali pemerintah atas rakyat,” katanya.
Wahyudi bakal menyampaikan berbagai pemikiran itu dalam KTT New Rural Agenda di Jerman. Masyarakat adat dan komunitas dari 11 negara yang tergabung dalam Lumbung Documenta Fifteen, seperti Spanyol, Kolombia, dan Mali, juga bakal hadir dalam kegiatan itu.
”KTT perdana ini ingin menyuarakan bahwa desa bukan hanya pendukung perkotaan, melainkan juga masa depan dunia,” ucap Bunga Siagian, pegiat JAF yang turut menggagas KTT New Rural Agenda. Ini berbeda dengan KTT New Urban Agenda yang membahas isu perkotaan saja.
Selain membangun jaringan di antara desa di beberapa negara, pertemuan itu juga diharapkan mendorong pemerintah menghasilkan kebijakan yang sesuai isu perdesaan. Pihaknya juga bakal mengundang perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi transnasional.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar berkomitmen mendukung KKD dan KTT New Rural Agenda demi kemandirian desa. ”Saya tidak sepakat desa menjadi obyek pembangunan. Berikan kepercayaan penuh ke desa,” katanya saat menutup acara konferensi kepala desa.
Terlebih lagi, ketika pandemi Covid-19, warga perkotaan berbondong-bondong kembali ke desa. Desa menyediakan pangan dan keramahan. Saatnya, masyarakat desa memegang kendali atas hidupnya. Ingat, masa depan dunia bergantung pada desa.