Julukan ”Kota Minyak” bagi Balikpapan tak membuat para sopir truk mudah mendapatkan biosolar bersubsidi. Antrean truk mengular lebih dari 2 kilometer di stasiun pengisian bahan bakar terus terjadi. beberapa bulan ini.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
Juma’i langsung mengiyakan hadir saat perkumpulan sopir truk Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, ingin berunjuk rasa untuk kedua kalinya. Lelaki 50 tahun itu ingin suaranya didengar lantaran sudah berbulan-bulan harus mengantre hanya untuk mendapatkan biosolar bersubsidi di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU).
Rabu (30/3/2022) kemarin, ia membawa dumptruck miliknya ke jalan dalam kota Balikpapan. Bersama sekitar 250 truk lainnya, kendaraan itu mengular di depan Kantor Wali Kota Balikpapan. Para sopir kemudian berdiri di atas truk. Beberapa yang lain membaur bersama mahasiswa yang berorasi menuntut penambahan kuota biosolar bersubsidi.
”Sebenarnya antrean panjang truk di SPBU sudah bertahun-tahun, tapi tahun ini yang paling parah. Saya bisa menginap sampai empat hari untuk antre solar,” kata lelaki asal Kabupaten Bangkalan itu.
Para sopir dan mahasiswa membentangkan spanduk tuntutan di bak truk. Bertinta merah, mereka menulis ”Mendesak Pertamina Menuntaskan Kelangkaan Solar Bersubsidi”, ”Berantas Mafia Solar Subsidi”, dan ”Tangkap Tokoh Intelektual Pencuri Solar Bersubsidi”.
Fenomana kelangkaan biosolar bersubsidi ini membuat sopir truk seperti Juma’i pusing mengelola uang. Sehari-hari, truknya digunakan untuk mengangkut bahan bangunan, seperti bata, genteng, dan semen.
Dalam sebulan, penghasilan kotor itu bisa Rp 5 juta sebelum langka solar. Sekarang penghasilan gak sampai separuhnya. Makanya kami para sopir ngeluh.
Ia biasa mengisi biosolar tiga hari sekali dengan biaya Rp 500.000 untuk 97 liter biosolar bersubsidi. Dalam tiga hari itu, ia bisa mendapatkan penghasilan Rp 1,8 juta dari sembilan kali angkut barang. Artinya, ia masih bisa mendapatkan keuntungan Rp 1,3 juta dalam tiga hari.
”Kalau saya isi dexlite, itu Rp 13.200 per liter. Untuk 97 liter, saya harus keluar Rp 1,3 juta. Saya cuma bisa ambil untung Rp 500.000 per tiga hari,” katanya.
Angka itu sangat kecil bagi sopir sepertinya. Sebab, terkadang truknya butuh perawatan. Belum lagi dia membayar sejumlah orang yang membantu mengangkut barang-barang ke bak truk. Oleh karena itu, ia merelakan diri menginap di dalam kemudi truk demi mendapatkan biosolar subsidi di SPBU kilometer 15 Balikpapan.
Sebab, ia punya pengalaman buruk saat meninggalkan truknya begitu saja. Sejumlah perkakas, termasuk aki mobil truk miliknya, dicuri orang. Praktis, waktu untuk antre ini membuat jam kerja mereka berkurang. Para sopir tak bisa mengirim barang setiap hari.
Ketua Truck Community Balikpapan Deli Wowor menyebutkan, setidaknya para sopir bisa menghabiskan Rp 150.000 untuk makan, minum, dan rokok saat mengantre. Mereka tak bisa serta-merta membawa bekal karena banyak sopir yang rumahnya jauh dari SPBU.
”Penghasilannya susah. Sudah solar langka, pemasukan juga sepi. Dalam sebulan, penghasilan kotor itu bisa Rp 5 juta sebelum langka solar. Sekarang penghasilan enggak sampai separuhnya. Makanya kami para sopir ngeluh,” katanya.
Bak jatuh tertimpa tangga, para sopir juga dihadapkan dengan harga barang pokok yang melambung tinggi. Pengeluaran untuk belanja kebutuhan pangan keluarga praktis meningkat. Di sisi lain, mereka kesulitan mendapatkan penghasilan karena waktu kerja semakin berkurang.
”Susah juga buat istri atur uang. Harga minyak goreng Rp 27.000 per liter. Gula juga naik Rp 15.000. Belum lagi susu untuk anak. Serba sulit,” ujar Radiman (40), salah satu sopir truk.
Menurut pengamatan Kompas, antrean truk ini menciptakan efek domino. Di SPBU Kilometer 15, misalnya, antrean truk mengular hingga 2 kilometer. Truk diparkir di kanan dan kiri jalan. Hal itu membuat kendaraan yang melintas harus berhati-hati dan mengurangi kecepatan.
Saat ada truk yang putar arah, terjadi kepadatan kendaraan beberapa saat di jalan satu-satunya lintas kota itu. Hal itu terjadi di empat SPBU khusus untuk truk di Kota Balikpapan. Untuk itu, para sopir truk juga meminta SPBU di Km 13 yang masih dibangun segera dibuka agar mereka bisa menggunakannya.
Selain itu, para sopir menduga ada sopir truk nakal yang turut memperparah kelangkaan biosolar bersubsidi. Ucok (45), sopir truk, curiga ada truk untuk muatan industri sawit dan tambang batubara, truk yang dilarang menggunakan BBM subsidi, turut mengisi solar bersubsidi.
”Di SPBU ndak ada pengawasannya kok. Semua truk dilayani mengisi solar subsidi. Harusnya diawasi,” katanya kesal.
Dalam unjuk rasa Rabu itu, Wali Kota Balikpapan Rahmad Mas’ud menerima 10 perwakilan mahasiswa dan sopir truk. Ia memastikan sudah berkoordinasi dengan Pertamina untuk menyelesaikan antrean panjang truk di Balikpapan. Salah satunya, segera membuka SPBU di Km 13 dalam minggu ini.
”Saya sudah berkoordinasi langsung dengan Pertamina. Nanti mobil yang bermuatan subsidi yang berhak menerimanya akan dialihkan, termasuk mobil-mobil besar, sehingga tidak masuk dalam kota,” kata Rahmad.
Dihubungi terpisah, Susanto Satria dari Humas Pertamina Patra Niaga Kalimantan menjelaskan, saat ini pihaknya sudah menerapkan penggunaan kartu kendali bagi para pembeli biosolar bersubsidi. Dengan demikian, nomor polisi kendaraan terdata agar tidak terjadi penimbunan dan pembelian berlebihan.
”Ada pembatasan pembelian solar subsidi. Truk roda enam maksimal 200 liter dalam sekali pembelian per hari,” katanya, kemarin.
Selama ini, jatah biosolar subsidi Kota Balikpapan adalah 27.498 kiloliter. Itu dikeluarkan 60-75 kilokiter per hari di dua SPBU, yakni di Km 9 dan Km 15. Adapun untuk Kalimantan Timur Pertamina menyalurkan 47.000 kiloliterKL solar subsidi yang didistribusikan sampai akhir Maret 2022.
Ia menyebutkan, Pertamina sudah menyalurkan solar subsidi sesuai ketentuan. Adapun jatah untuk Kalimantan Timur ditetapkan oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas. Pertamina hanya menyalurkan.
Kota Balikpapan adalah tempat dibangunnya salah satu kilang minyak terbesar di Indonesia. Di kota ini terdapat Pertamina Refinery Unit V Balikpapan yang telah beroperasi sejak 1922. Dari sini, 26 persen kebutuhan BBM Indonesia dipenuhi.
Oleh karena itu, kota ini dijuluki ”Kota Minyak”. Antrean panjang biosolar subsidi di kota ini menjadi ironi. ”Enggak ngerti saya. ’Kota Minyak’ kok susah minyak,” seloroh Ucok.