Produksi Sandal Upanat Candi Borobudur Terhambat Tenaga Perajin
Produksi sandal upanat masih terhambat tenaga perajin dari warga sekitar. Padahal, sandal ini direncanakan diproduksi massal dalam jumlah besar untuk alas kaki pengunjung Candi Borobudur.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Produksi upanat atau sandal khusus untuk pengunjung Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah sebagai upaya konservasi batuan candi masih terhambat ketidaksiapan warga sekitar sebagai tenaga perajin. Tidak banyak warga yang mau dan mampu membuatnya. Padahal, sandal ini direncanakan diproduksi massal.
Kepala Balai Konservasi Borobudur (BKB) Wiwit Kasiyati mengatakan, sejak tahun lalu, pihaknya sudah berupaya mempersiapkan produksi sandal upanat dengan terus menggelar sosialisasi dan pelatihan khusus pembuatan sandal dengan melibatkan 40 perajin dari kalangan pelaku UMKM di 20 desa Kecamatan Borobudur. Namun, upaya tersebut tidak cukup berhasil karena jumlah warga yang mau dan cukup terampil membuat sandal upanat kurang dari 10 orang.
Minimnya jumlah tenaga kerja yang terlibat tersebut akhirnya membuat produksi sandal jauh di bawah target. ”Kemampuan produksi tenaga kerja yang ada saat ini hanya 200 pasang sandal per minggu. Padahal, untuk kebutuhan wisatawan Candi Borobudur, kami targetkan produksi sandal lebih dari 1.000 sandal per hari,” ujarnya, Selasa (29/3/2022).
Demi mencegah kerusakan batuan candi yang biasa terjadi akibat gesekan alas kaki pengunjung, sandal upanat direncanakan menjadi sandal yang wajib dikenakan wisatawan atau siapa pun yang naik ke struktur bangunan Candi Borobudur.
Sejak pandemi Covid-19 di awal 2020, bangunan Candi Borobudur sebenarnya masih ditutup dan hanya dibuka bagi kunjungan tamu negara. Namun, ke depan, bangunan candi direncanakan akan tetap dibuka bagi kalangan wisatawan umum, dengan jumlah wisatawan dibatasi sekitar 1.200 pengunjung per hari.
Selain masalah tenaga produksi, Wiwit mengatakan, BKB sebenarnya berharap bahan baku sandal bisa didapatkan dari wilayah Kecamatan Borobudur. ”Dengan memakai bahan dan tenaga kerja dari wilayah sekitar candi, kami berharap sandal upanat ini benar-benar jadi produk khas Borobudur,” ujarnya.
Dengan memakai bahan dan tenaga kerja dari wilayah sekitar candi, kami berharap sandal upanat ini benar-benar jadi produk khas Borobudur.
Selama ini, produksi sandal upanat memakai bahan pandan dan mendong yang didapatkan dari Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo, DI Yogyakarta. Terkait hal ini, BKB berencana menggandeng desa-desa sekitar agar nantinya bisa dikembangkan areal lahan khusus mendong ataupun pandan sebagai penyuplai bahan baku sandal.
Rencana tersebut selalu disampaikan dalam berbagai acara pertemuan di desa di wilayah Kecamatan Borobudur. Namun, sejauh ini, respons positif baru didapatkan dari satu desa yaitu Karangrejo.
Basiyo, salah seorang perajin yang juga pemilik usaha BW Craft di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, mengatakan, dirinya sudah dilibatkan BKB dalam diskusi pembuatan sandal upanat sejak 2018.
Pada 2020, dia pun juga sudah mulai membuat sandal upanat berdasarkan permintaan BKB. Produksi sandal tersebut dilakukannya dengan melibatkan tiga karyawan serta empat anggota keluarganya.
Tahun 2021, dia juga terlibat dalam pelatihan, lokakarya khusus sandal upanat Borobudur. Ketika itu, puluhan perajin yang dilibatkan terdiri dari pelaku usaha sandal, tas, gantungan kunci, dan penjahit.
Kini, Basiyo terus menjalankan aktivitas produksi upanat. Selain melibatkan tenaga kerjanya sendiri, dia juga bekerja sama dengan satu kelompok perajin pandan asal Desa Kenalan.
Kelompok usaha asal Desa Kenalan tersebut menjadi satu-satunya kelompok usaha sekaligus peserta pelatihan sandal, yang mau dan bersemangat terlibat dalam produksi upanat.
”Banyak perajin, peserta pelatihan yang hingga saat ini masih enggan membuat sandal. Mereka mengeluh tidak memiliki fasilitas alat, sarana parasana pendukung produksi, dan juga tidak tahu harus mencari bahan baku sandal di mana,” ujarnya.
Padahal, menurut Basiyo yang sudah menekuni industri kerajinan sejak tahun 1970-an, masalah semacam itu semestinya tidak menjadi kendala yang cukup berarti bagi seorang perajin. Pasalnya, berdasarkan pengalaman pribadinya, keterbatasan alat bisa disiasati dengan menggunakan alat-alat sederhana. Adapun terkait bahan baku, dia pun sudah menawarkan membantu menyediakannya. Namun, hal itu tidak cukup mengundang minat perajin lain.
”Setiap kali saya mengajak mereka memproduksi upanat dan menjelaskan prospek positif dari produksi sandal ini di masa mendatang, beberapa perajin justru mencemooh, mengatakan saya terlalu banyak berceramah,” ujarnya.
Para perajin peserta pelatihan itu pun, pada akhirnya hanya sibuk menjalankan aktivitas usaha kesehariannya saja.