Kisah Perjuangan Hidup-Mati 12 Nelayan Rote Ndao di Perairan Australia
Kisah perjuangan hidup dan mati 12 nelayan asal Rote Ndao di Perairan Australia selama 3 hari dan 3 malam tanpa makanan dan minuman.
Perjalanan awal, Kamis (17/3/2022), berlangsung aman. Perahu motor Kuda Laut berbobot 30 GT itu mulai dihadang Badai Siklon Tropis di Perairan Australia pada pukul 23.30 Wita hari itu juga. Perahu pecah dan tenggelam. Sebanyak 12 nelayan berjuang merakit tiang kayu penyelamat. Tiga hari tiga malam mereka terombang-ambing diguncang gelombang setinggi 4-5 meter. Sembilan orang meninggal dan hilang, tiga lain selamat, satu di antaranya kritis.
Pice Remirdo Arianto Naluk (33), salah satu dari 12 nelayan asal Desa Hundihuk, Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, Kamis (17/3/2022) pukul 13.00 berpamitan dengan tiga anak dan istri, Heny Lete (30), di desa itu. Heny Lete tidak memiliki firasat apa pun mengenai musibah yang bakal menimpa suami dan kawan-kawannya.
”Sudah hampir 15 tahun bapak melaut. Ia kenal betul kondisi perairan di wilayah Laut Timor, sampai perairan Australia, jika terbawa gelombang laut. Tetapi, suami dan rekan-rekan sulit memprediksi kemunculan Badai Siklon Tropis di perairan itu, terutama jelang awal dan akhir musim hujan. Badai Seroja 2021 bertepatan dengan Hari Raya Paskah sehingga mereka tidak melaut,” kata Heny Lete di Desa Hundihuk, Rote, Kamis (24/3/2022).
Para nelayan itu mengikuti informasi BMKG mengenai kondisi cuaca setiap hari, tetapi tidak rutin. Kuota internet terbatas, juga tidak semua nelayan memiliki ponsel pintar, kecuali ponsel jadul yang hanya bisa untuk telepon dan pesan singkat. Ponsel jadul ini dinilai lebih tahan baterai dan mudah dihubungi saat berada di laut.
Baca juga : Sembilan Nelayan Rote Ndao Hilang, Tiga Selamat di Perairan Australia Setelah Perahu Motor Tenggelam
Sejak keberangkatan Pice Naluk sampai dengan berita kecelakaan laut, Heny sulit menghubungi suaminya. Kamis sore, cuaca mulai gelap, Heny berulang kali menelepon Pice, tetapi hanya mendapatkan jawaban, ”Nomor yang Anda tuju sedang di luar jangkauan.”
Anak bayi perempuan dari Pice dan Heny, Selya Mariana Naluk (4 bulan), saat ayahnya berangkat melaut terus menangis, meski ibunya berupaya menenangkan sang bayi mungil itu. Tangisan Selya tidak biasanya, dan terus berlangsung sampai ada kabar datang hari Minggu, 20 Maret 2022, bahwa ayahnya bersama 11 nelayan lain tenggelam di Perairan Australia.
Kepala Desa Hundihuk, Rote Ndao, Yunus Modokh mengisahkan hidup dan mati 12 nelayan itu setelah berkomunikasi melalui ponsel dengan Habel Kanuk (44), salah satu dari tiga nelayan selamat, dari Darwin. Habel Kanuk tidak bisa dihubungi secara bebas oleh siapa saja termasuk insan pers karena sedang trauma dan ingin memulihkan kondisi kesehatan.
Badai Siklon Tropis, Kamis (17/3/2022) pukul 23.30 malam, menerjang perahu motor Kuda Laut berbobot 30 GT. Badan perahu pecah, hancur, dan satu demi satu bagian perahu hanyut.
Baca juga : Pihak Keluarga dari 9 Nelayan Hilang Menunggu Kepastian Informasi
Dalam kegelapan malam itumereka masih berjuang merakit satu jenis kayu rakitan, penyelamat sementara berbentuk salib tak beraturan dengan tiang menancap ke udara. ”Mereka manfaatkan tiang dan kayu kapal yang hancur, mengikat satu sama lain dengan alat jaring, memiliki panjang masing-masing sekitar 20 meter. Para nelayan itu berpegangan di rakit buatan itu, Kanuk sendiri berada persis di tiang rakit,” kata Modokh seperti disampaikan Kanuk.
Tidak hanya perahu naas itu, dua sampan dengan lebar 40 cm dan panjang 2 meter yang diikat pada perahu motor bermesin 640 HP itu pun hilang malam itu. Sampan itu biasanya membantu nelayan untuk naik dan turun ke laut saat mencari ikan, sekaligus memuat ikan hasil tangkapan sebelum diangkut ke dalam Kuda Laut.
Kondisi cuaca di laut malam itu begitu pekat, gelap, di tengah kedahsyatan gelombang laut yang terus menerjang dan mengombang-ambingkan mereka tak karuan.
”Di tengah situasi itu, mereka bertarung hebat dengan sekuat tenaga menyelamatkan nyawa masing-masing,” kata Modokh.
Keesokan hari, yakni Jumat (18/3/2022), belum ada kapal yang lewat. Sekitar pukul pukul 23.00 Wita para nelayan mulai kelelahan. Saat itu mereka semua masih bertahan di kayu rakitan yang dibuat darurat. Tetapi, pada malam kedua itu, satu demi satu di antara mereka mulai berteriak, mengerang, dan mengeluh lapar dan tak berdaya lagi. Tubuh yang tidak disuplai makanan dan minuman lebih dari 40 jam itu mulai kelelahan, tak berdaya.
Baca juga : Tiga Nelayan yang dinyatakan Selamat Masih Berada di Australia
Gemuruh gelombang dan arus laut begitu dahsyat sehingga jeritan dan teriakan antarmereka malam itu terdengar samar-samar saja, kecuali yang berada dekat sekitar 1-3 meter. Suara itu makin lama menghilang, satu demi satu.
”Mereka kehabisan napas, tenaga, dan perjuangan sehingga tenggelam. Mereka meninggal dunia, lalu hilang di dalam laut,” kata Modokh.
Ada beberapa nelayan yang telah meninggal diikat di kayu rakitan, tetapi terus menerus diterjang gelombang sehingga terlepas, dan hanyut dibawa air laut. Jumlah korban meninggal dan hanyut terbanyak saat memasuki hari Sabtu (19/3/2022). Hari itu belum ada satu kapal pun yang lewat di lokasi kejadian. Sementara makanan dan air minumtidak ada lagi. Pakaian di badan pun sebagian sudahterlucut gelombang laut.
Memasuki hari ketiga, Minggu (20/3/2022) dini hari, Kanuk masih melihat dua rekan sedang berjuang melawan arus dan gelombang, yakni Frengki Balu dan Riki Balu (17). Sementara Sembilan rekan yang hanyut tidak kelihatan sama sekali.
Riki Balu terus mengerang kelaparan, dan tak berdaya. ”Ia malah sudah pamitan dengan Kanuk dan Frengki, tetapi keduanya minta bertahan karena sudah masuk siang hari, Minggu, 20 Maret,” tutur Modokh.
Baca juga : Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan Berpotensi Menangkal Tengkes di NTT
Sekitar pukul 10.00 Wita ada patroli laut oleh Angkatan Laut Australia. Dengan bantuan teropong, mereka menyaksikan kejadian itu dari udara. Saat itu pula datang sebuah kapal kargo dari Singapura, ”Bulk Carrier PSU Sixth”, menuju Pulau Broom, Australia Barat. Sementara kayu rakitan itu sedang bergerak menuju Pulau Ashmoore Reef, Australia.
Angkatan Laut Australia meminta Bulk Carrier PSU Sixth mengevakuasi nelayan yang masih selamat ataupun yang sudah tidak bernyawa lagi. Kapal itu merapat ke arah Kanuk dan kawan-kawan. Cuaca siang itu cukup cerah,arus dan gelombang laut relatif tenang.
”Gambar kayu rakitan yang diambil dari udara oleh aparat Australia beredar di media sosial,itu yang mereka buat. Cuaca saat evakuasi itu cerah,” katanya.
Kapal Bulk Carrier mengevakuasi tiga korban selamat ke dalam kapal. Ketiga korban itu kemudian dipindahkan ke Kapal “Australia Border Force”, persis di perbatasan perairan RI-Australia. Hari itu juga, Australia Maritim Safety Authority (Amsa) berkoordinasi dengan Basarnas Pusat, mengevakuasi ketiga korban selamat ke Pulau Broom, Australia Barat, untuk mendapatkan pertolongan.
Dua korban selamat telah dipindahkan dari Broom ke Darwin untuk mendapatkan pemulihan kesehatan, yakni Frengki Habel Kanuk dan Frengki Balu. Frenggki Balu terpapar Covid-19 sehinga harus menjalani isolasi di salah satu rumah sakit di Darwin.
Baca juga : Nelayan Kupang dan Rote Ndao Belum Melaut Pasca-Badai Seroja di NTT
Sementara Riki Balu (17) yang dirawat di Royal Perth Hospital, Australia Barat, masih menjalani perawatan intensif. Korban sampai hari kelima dievakuasi dari laut belum sadarkan diri.
”
Korban punya riwayat sakit asma, sesak napas, sehingga pemulihan bisa butuh waktu. Kita berdoa supaya korban segera pulih,” kata Modokh.
Amsa dan Basarnas Pusat pun saling berkoordinasi untuk melakukan pencarian terhadap sembilan korban yang belum ditemukan. Pencarian sampai hari ini masih dilakukan pihak Amsa dan Angkatan Laut Australia, dan terfokus di Laut Australia.
Anggota keluarga dari para korbansangat sedih dan terpukul atas kejadian itu. Mereka terus menangis meratapi kehilangan orang-orang terdekat. Semua korban berasal dari keluarga miskin dan tak berdaya. ”Salah satu korban meninggal adalah ponakan saya, yakni Yunus Modok Satu,” kata Modokh.
Korban Dominggus Busu, yang hilang, memiliki enam anak dan seorang istri. Salah satu anak masih bayi. Kehidupan keluarga ini sangat memprihatinkan dari sisi ekonomi. Pemkab Rote Ndaomemberi bantuan berupa bahan pokok kepada keluarga korban.
”Mencari ikan di laut lepas untuk menyelamatkan nyawa, malah kehilangan nyawa. Ini pengalaman pahit, tetapi bermanfaat bagi semua pihak mengenai nasib nelayan kecil NTT. Sudah berapa nyawa nelayan yang hilang sia-sia saat melaut?” kata Modokh.
Baca juga: 11 Nelayan Kapal Tenggelam di Kupang Masih dalam Pencarian