Jejak Bandung Lautan Api Masih Menanti Menjadi Inspirasi
Peristiwa Bandung Lautan Api sudah terjadi 76 tahun lalu. Namun, semangatnya masih dinanti di zaman kiwari untuk menjadi inspirasi.
Sebagian Bandung, Jawa Barat, pernah dibakar api pada 76 tahun lalu. Dikenal dengan nama Bandung Lautan Api, jejaknya tertinggal di 10 stilasi. Semangat peristiwa yang terjadi pada 23 Maret 1946 ini menanti menjadi inspirasi di masa kiwari.
Berada di sebelah Bank BJB di Taman Braga, tinggi monumen berbentuk prisma itu hanya sekitar 1 meter, Rabu (23/3/2022). Namun, monumen beton yang kemudian disebut stilasi itu punya arti penting. Dibuat seniman Sunaryo pada tahun 1997, jejak perjuangan bangsa diabadikan di sana.
Pada Oktober 1945, di tengah euforia kemerdekaan Republik Indonesia, dua pejuang Moeljono dan Endang Karmas merobek bendera Belanda yang berkibar di atap Bank Dennis. Biru pada bendera tiga warna dirobek menyisakan merah dan putih. Dari sana, gelora dan semangat masyarakat Indonesia terus membara. Melawan dan mati lebih mulia ketimbang tunduk kembali dijajah.
Kedatangan tentara sekutu pada 12 Oktober 1945, yang membonceng Belanda setelah Perang Dunia II usai, ke Bandung menjadi salah satu pemicu gelora dan semangat warga kala itu.
Di bawah komando Brigadir Jenderal MacDonald dari Divisi ke-23 Hindia-Inggris, kekuatan sekutu diperkirakan mencapai 2.000 orang. Tujuan awalnya, membebaskan dan memulangkan APWI (Allied Prisoners of War and Internees).
Sejarawan Universitas Padjadjaran Nina Herlina Lubis dalam tulisannya ”Siapa Peduli Bandung Lautan Api?” (Kompas, 24 Maret 2006) mengatakan, APWI adalah tawanan militer Belanda yang dipenjarakan Jepang dan interniran yang berada di kamp-kamp di Jawa Barat. Di Bandung ada 13 tempat. Kamp lain tersebar di Cimahi, Cicalengka, Sukabumi, Cirebon, Bogor, Tangerang, dan Jakarta.
Akan tetapi, tujuan awal itu tidak tulus. Sekutu lebih berpihak pada Belanda. Bentrokan Sekutu-Belanda dengan tentara-warga Indonesia kerap terjadi.
Baca juga : Sejarah Peristiwa Bandung Lautan Api
MacDonald bahkan mengeluarkan empat butir ultimatum. Pertama, tentara Sekutu akan menembak semua orang Indonesia yang kedapatan membawa senjata. Kedua, semua orang Indonesia yang berada di sekitar rintangan-rintangan jalan akan ditembak mati.
Ketiga, semua orang Indonesia yang berada dalam jarak 200 meter dari pos-pos tentara Inggris, Jepang, dan markas kamp pengungsian akan ditembak mati. Keempat, orang Indonesia agar menyingkir dari Kota Bandung sebelah utara jalan kereta api yang melintang dari timur ke barat.
Saat itu, rel kereta api di Bandung menjadi garis pembatas yang vital. Utara untuk pasukan sekutu dan Nederlands Indie Civil Administration (NICA). Sementara daerah selatan dikuasai tentara Indonesia. Banyak pertempuran mewarnai separasi itu.
Stilasi dan pertempuran
Stilasi di Braga tidak sendiri merekam perjuangan orang Bandung lepas dari cakar Sekutu-Belanda. Ada sembilan stilasi lain yang berdiri menjadi pengingatnya.
Di kawasan Bandung utara, ada stilasi di Jalan Juanda, gedung bekas kantor berita Jepang Domei. Bangunan yang dibuat tahun 1937 itu kini menjadi Kantor Bank BTPN. Di sana, teks proklamasi disiarkan ke khalayak luas pada 17 Agustus 1945.
Selanjutnya, ada stilasi di depan asuransi Jiwasraya di seberang Alun-alun Kota Bandung. Dulu di sana berdiri gedungNederlandschIndische Levensvezekerings en Liffrente Maatschappij (NILLMIJ) dan menjadi markas Resimen 8 Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Didirikan Oktober 1945, resimen ini dipimpin Letnan Kolonel Omon Abdurrahman. Saat bumi hangus dimulai pada peristiwa Bandung Lautan Api, gedung NILLMIJ ini menjadi salah satu gedung yang dibakar pertama kali.
Stilasi lainnya di rumah di Jalan Simpang Lima (Simpangsteeg) No 7. Di tempat ini, para pejuang berencana dan memutuskan untuk membumihanguskan separuh Bandung.
Selanjutnya, stilasi kelima berdiri di SD Dewi Sartika di Oto Iskandardinata-Kautamaan Istri. Situs ini dahulu digunakan sebagai dapur umum bagi TKR dan para pemuda pejuang dari berbagai laskar lainnya. Dapur umum ini dikelola oleh Laskar Wanita (Laswi) yang tediri dari para pemudi yang berjuang di garis belakang.
Laskar Wanita juga ikut berjuang di garis depan sebagai laskar medik. Namun, ada juga yang bertempur di garis depan melawan tentara Gurkha—pasukan Inggris dari India—kala itu sangat ditakuti para pejuang umumnya.
Stilasi lain di Jalan Dewi Sartika. Kawasan ini pernah menjadi markas Komando Divisi III Siliwangi pimpinan Kolonel AH Nasution. Dia mengambil keputusan untuk mematuhi pemerintah pusat meninggalkan Bandung, tapi tidak akan menyerahkan Bandung bulat-bulat. Bandung Selatan akan dibumihanguskan.
Kemudian, ada stilasi di Pertigaan Lengkong Dalam-Lengkong Tengah. Di tempat ini terjadi banjir besar yang mengakibatkan banyak warga Bandung meninggal pada 25 November 1945.
Di tempat yang sama, sekutu menyerang warga. Salah satu pemicunya saat tentara sekutu mengira kentongan tanda bencana diartikan sebagai tanda bahaya pertempuran.
Sementara itu, stilasi di Jalan Jembatan Baru dulunya pernah menjadi kawasan tempat tinggal Belanda dan Indo-Belanda. Di sini terjadi pertempuran Lengkong pada 2 Desember 1945.
Pesawat pengebom Inggris membombardir daerah Lengkong dan Lengkong Tengah. Banyak rumah dan gedung yang hancur. Puluhan penduduk sipil tewas.
Sementara stilasi Jalan Asmi mengisahkan persaudaraan para pejuang. Sebelum Bandung Lautan Api, SD ASMI sempat menjadi markas para pemuda pejuang. Gedung ini dipakai sebagai markas oleh Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan Barisan Rakjat Indonesia (BRI).
Keakraban kedua organisasi pejuang itu ditunjukkan dengan tukar menukar senjata saat perintah mengungsi dan bumi hangus gedung ini ditinggalkan penghuninya mengungsi.
Stilasi terakhir ada di Gereja Gloria bekas Nederlandsch-Indische Radio Omroep Mij(NIROM) dan Radio Hoshokyoku di Jalan Mohammad Toha. Di sini, naskah proklamasi disebarkan ke seluruh dunia.
Siaran dalam bahasa Indonesia dan Inggris itu ditangkap di Amerika Serikat dan ke seluruh dunia. Dan dalam siaran malam itu, untuk pertama kalinya, panggilan yang digunakan adalah ”Radio Republik Indonesia”.
Hingga akhirnya, rangkaian peristiwa yang terekam dalam stilasi itu berujung pada kisah besar Bandung Lautan Api. Dalam keadaan hujan gerimis, Minggu, 24 Maret 1946 sore, rakyat mulai meninggalkan rumah. Ada yang menggendong bayi. Sebagian menjinjing kopor sambil membawa ayam.
Bumi hangus terjadi pukul 21.00. Peledakan dimulai dari Bank Rakyat, disusul peledakan bangunan lain. Pembakaran juga dilakukan di Cicadas, Banceuy, Braga, dan Tegallega.
Semoga semangat Bandung Lautan Api ini mengingatkan kita selalu optimistis dalam menghadapi Covid-19. Semua harus yakin ke depan Bandung lebih baik dari hari ini.
Pejuang membakar sendiri markas dan asrama serta bangunan penting lainnya. Rakyat bahkan membakar sendiri rumah-rumah mereka. Namun, Robert Voskuil dalam Bandung: Citra Sebuah Kota menyebutkan, ada juga yang warga yang terpaksa mengungsi karena kediamannya telanjur dibakar.
Di mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Di sisi lain, bumi hangus tersebut menandai dimulainya serangan Operasi Sam Sekutu untuk menguasai Kota Bandung.
Seiring pembakaran, Kota Bandung diterangi cahaya api yang membakar bangunan dan rumah, seperti di Ciroyom, Tegallega Utara, Cikudapateuh, Cicadas, sepanjang Jalan Otto Iskandardinata, Cibadak, Kopo, dan Babakan Ciamis.
Selain itu, jalan ke luar kota mulai dari barat (Cimahi) hingga timur (Ujungberung) dipadati 200.000 orang yang mengungsi dengan membawa sendiri harta yang dapat mereka selamatkan. Mereka mengungsi melalui Margahayu dan Dayeuhkolot ke daerah Bandung selatan, yaitu ke Ciparay, Majalaya, Banjaran, dan Soreang.
Jalan-jalan penuh sesak oleh pengungsi, baik di jalan menuju Cilampeni, Dayeuhkolot, Banjaran, Ciparay, Cipamokolan, maupun Ujungberung. Jalanan basah kuyup bercampur keringat yang hangat, berbaur dengan latar belakang pemandangan Bandung yang memerah.
Pengorbanan rakyat Bandung jelas tidak sia-sia. Meski kehilangan rumah hingga terusir dari tanah kelahiran, Indonesia tetap merdeka. Sekutu dan NICA angkat kaki dari Nusantara. Peristiwa itu jadi inspirasi dari masa ke masa.
Komponis Ismail Marzuki yang ikut mengungsi ke Bandung Selatan bersama istrinya, Eulis Zuraida, menciptakan lagu-lagu perjuangan. Salah satunya, ”Halo-halo Bandung”.
Pelaksana Tugas Wali Kota Bandung Yana Mulyana menyatakan, saat Bandung Lautan Api terjadi, rakyat Kota Bandung berkorban harta hingga jiwa. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar ruhamnya dan meninggalkan kota agar para penjajah tidak mendapatkan apa-apa saat merebut kota.
Yana berharap, semangat perjuangan ini tetap menyala di tengah badai pandemi yang menerpa Kota Bandung. Ribuan korban meninggal dunia tercatat di Kota Bandung, sementara itu warga lainnya masih berjuang untuk tetap bisa bertahan dalam pandemi Covid-19.
Berdasarkan data Pusat Informasi Covid-19 Kota Bandung, hingga Rabu (23/3/2022) tercatat 1.472 orang meninggal akibat pandemi Covid-19 di Kota ini. Sementara itu, 2.725 pasien lainnya masih terkonfirmasi aktif Covid-19 dan dalam isolasi atau perawatan. Total ada 84.087 warga Bandung telah terpapar Covid-19.
”Semoga semangat Bandung Lautan Api ini mengingatkan kita selalu optimistis dalam menghadapi Covid-19. Semua harus yakin ke depan Bandung lebih baik dari hari ini,” ujar Yana.
Bandung yang dilahap api bisa jadi sudah lama terjadi. Namun, seperti Yana, pandemi Covid-19 kini menjadi tantangan yang harus dilawan.
Tidak hanya itu, kelangkaan minyak goreng hingga kenaikan sejumlah komoditas juga butuh perhatian. Bila dibiarkan, semua rentan memicu penderitaan yang bertolak belakang dengan tujuan besar Bandung Lautan Api.
Baca juga : Meniti Pertempuran Menuju Bandung Lautan Api