Tak Ada Tempat Layak, Pemkab Bireun Minta Pengungsi Rohingya Segera Dipindahkan
Pemerintah Kabupaten Bireuen bukannya tidak mau menampung 114 pengungsi Rohingya, tetapi mereka tidak punya tempat yang layak. Pemerintah pusat diminta segera turun tangan.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BIREUEN, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Bireuen, Aceh, meminta para pengungsi Rohingya yang sudah 18 hari terakhir tinggal di Desa Alue Buya, Kecamatan Jangka, Bireuen, agar segera dipindahkan. Pemerintah setempat tidak memiliki fasilitas penampungan sehingga dikhawatirkan keberadaan pengungsi tersebut memicu ketidaknyamanan warga.
Asisten I Pemkab Bireuen Mulyadi saat dihubungi, Rabu (23/3/2022), menuturkan, sebagai upaya tanggap darurat, warga dan Pemkab Bireuen telah memperlakukan 114 pengungsi Rohingya yang terdampar di Bireuen pada 5 Maret 2022 tersebut dengan baik. Kapal kayu yang membawa mereka juga ditarik ke darat oleh warga dengan alasan kemanusiaan.
Setelah itu, pengungsi ditempatkan di balai desa atau meunasah Desa Alu Buya. Namun, meunasah juga digunakan sebagai tempat ibadah dan pusat kegiatan warga sehingga pengungsi direlokasi ke kantor kecamatan.
Mulyadi mengatakan, tempat penampungan darurat tidak memenuhi standar penampungan pengungsi. ”Kami tidak punya tempat penampungan. Apalagi, Bireuen tidak ditunjuk sebagai lokasi penampungan pengungsi,” katanya.
Awalnya, para pengungsi Rohingya ini akan direlokasi ke Lhokseumawe. Akan tetapi, belakangan, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI meminta mereka direlokasi ke Pekanbaru, Riau. ”Misi kemanusian di masa tanggap darurat sudah selesai. Warga Bireuen sudah menunjukkan sikap kemanusiaan yang tinggi. Kami tidak menolak, tetapi di sini tidak ada tempat khusus,” ujar Mulyadi.
Mulyadi mengatakan, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI telah mengeluarkan surat yang meminta Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) segera memindahkan para imigran Rohingya tersebut. Dalam surat yang ditandatangani Asisten Deputi 3/V Kamtibas Bambang Pristiwanto pada 16 Maret 2022 itu disebutkan, para pihak agar segera mengurus pemindahan pengungsi.
”Kota Pekanbaru merupakan satu-satunya kota yang paling siap menerima kehadiran para pengungsi Rohingnya ini,” kata Bambang secara tertulis.
Sekretaris International Concern Group for Rohingya (ICGR) Adli Abdullah menuturkan, nasib pengungsi Rohingya kini semakin tidak menentu. Setelah terusir dari tanah kelahiran, kini mereka diusir dari tempat penampungan.
Adli mengatakan, hal ini menunjukkan betapa kehidupan warga Rohingya sangat berat. ”Padahal, mereka ke sini bukan karena keinginan sendiri, melainkan keterpaksaan karena kondisi politik di negaranya yang sedang tidak baik,” kata Adli.
Adli berharap para pihak segera mencari solusi terbaik. Untuk saat ini, pemindahan mereka ke tempat yang layak menjadi jalan keluar jangka pendek. ”Sebagai manusia, warga Rohingya berhak hidup layak seperti kita. Persoalan Rohingya harus diselesaikan oleh negara anggota ASEAN mengingat masalah itu telah mengganggu politik negara-negara di ASEAN,” kata Adli.
Gelombang migran Rohingya pertama kali datang ke Aceh pada 2011. Saat itu warga Aceh kaget dengan kehadiran perahu berisi manusia dengan kondisi memprihatinkan. Mereka kekurangan makanan dan banyak yang sakit. Warga bahkan menyebut pengungsi Rohingya sebagai ”manusia perahu”.
Lokasi pertama mereka terdampar adalah Pantai Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar. Peristiwa itu menjadi pembuka datangnya kapal-kapal Rohingya berikutnya.
Nyaris setiap tahun, selalu ada kapal yang membawa migran Rohingya terdampar di Aceh. Catatan Kompas, sejak 2011 hingga 2022, sebanyak 1.802 pengungsi Rohingya terdampar di Aceh. Di Indonesia mereka hanya ditampung sementara hingga dikirimkan ke negara ketiga sebagai tempat migrasi permanen.