Menko PMK: Pandemi Salah Satu Kendala Tekan Angka Tengkes
Presiden menginstruksikan jajarannya untuk menurunkan angka tengkes dari 24,4 persen pada 2021 menjadi 14 persen pada 2024. Meskipun pandemi dinilai menjadi kendala mencapai target itu, angka tengkes tetap turun.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, pandemi menjadi salah satu kendala untuk menekan angka tengkes atau stunting menjadi 14 persen. Sebelumnya, Presiden menginstruksikan jajarannya untuk menurunkan angka tengkes dari 24,4 persen pada 2021 menjadi 14 persen pada 2024.
”Kendala terutama, Covid-19. Kalau nanti pandemi bisa diatasi insya Allah target itu akan lebih mudah. Kenapa? Karena selama Covid-19 dua tahun terakhir, meski Covid, angka statistik (tengkes) kita turun,” ujarnya.
Muhadjir mengatakan hal itu pada acara Dialog Percepatan Penurunan Angka Stunting di Balai Diklat Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Minggu (20/3/2022).
Hadir pada kesempatan ini, antara lain, Wakil Bupati Malang Didik Gatot Subroto, beberapa kampus yang tergabung dalam Konsorsium Perguruan Tinggi se-Jawa Timur, serta tim pendamping keluarga di Malang Raya.
Biaya pulsa sudah diberi bantuan oleh BKKBN. Jadi, mereka bisa kirim pesan perkembangan stunting di daerah, yang paling bawah di tingkat desa, sehingga kita bisa segera buat tindakan atau langkah apabila ada masalah di lapangan.
Menurut Muhadjir, angka tengkes turun dari sebelumnya 27,6 menjadi 24,6 persen. ”Kira-kira per tahun turun 1,7 persen. Kalau mau jadi 3 persen sebenarnya tinggal menaikkan 1,3 persen per tahun saja dan itu insya Allah bisa dengan kebijakan yang sudah diarahkan Presiden,” ucapnya.
Salah satu arahan yang dimaksud adalah saat ini penanganan urusan tengkes di lapangan dialihkan dari Kementerian Kesehatan ke BKKBN. Istilah stunting tidak lagi dikaitkan semata-mata akibat penyakit, tetapi lebih ke pembangunan keluarga, termasuk pola hidup keluarga yang kurang pas.
Selain itu, pendamping keluarga di desa, termasuk kepala desa, juga telah diberikan aplikasi yang bisa memberikan laporan langsung ke pusat secara real time.
”Biaya pulsa sudah diberi bantuan oleh BKKBN. Jadi, mereka bisa kirim pesan perkembangan tengkes di daerah, yang paling bawah di tingkat desa, sehingga kita bisa segera buat tindakan atau langkah apabila ada masalah di lapangan,” katanya.
Mengenai kondisi wilayah di Indonesia yang berbeda satu dengan lainnya, Muhadjir mengatakan saat ini ada program prioritas terhadap beberapa provinsi di wilayah timur Indonesia yang kemudian di breakdown ke kabupaten/kota. Wilayah tersebut akan dipelototi sampai tingkat kecamatan yang angka tengkesnya tinggi.
Menurut Muhadjir, ada dua hal yang menjadi landasan prioritas penanganan tengkes, yakni pertama angka absolut dari masing-masing provinsi. Kedua, angka prevalensi di masing-masing provinsi. Ada satu provinsi di Indonesia yang angka absolut dan prevalensi sama-sama tinggi dan menjadi perhatian khusus, yakni Nusa Tenggara Timur (NTT).
”Jadi, ada provinsi yang persentasenya kecil, tetapi penduduk banyak sehingga absolutnya menjadi banyak. Namun, ada yang prevalensi tinggi, tetapi penduduk sebenarnya tidak banyak, tetapi karena prevalensi tinggi tetap jadi prioritas. Tetapi ada juga,” katanya.
Didik Gatot Subroto mengingatkan petugas dan kader untuk membuka data yang sebenarnya tentang tengkes. Tujuannya agar bisa dilakukan penanganan secara tepat. Angka tengkes di Kabupaten Malang berdasarkan data Studi Status Gizi Indonesia tahun 2021 sebanyak 25,7 persen.
”Hari ini kita ubah pola-pola bapak suka atau bapak senang dalam rangka menjalankan tugas. Kita open data, ini menjadi hal yang penting dalam rangka menentukan treatment ke depan,” ujarnya.
Selain tugas kader, menurut Didik pendampingan dari perguruan tinggi juga punya posisi penting dalam menekan angka tengkes sebagaimana ditargetkan oleh Presiden. Adapun dinas kesehatan dan BKKBN di daerah sebagai pemangku kepentingan akan melanjutkan dengan rencana aksi.
Dalam dialog di depan Menko PMK, akademisi Universitas Airlangga Surabaya, Prof Sri Sumarmi, yang juga dari Konsorsium Perguruan Tinggi (KPT), mengatakan, BKKBN bekerja sama dengan Forum Rektor Indonesia (FRI). Dari FRI Indonesia telah terbentuk KPT dalam pendampingan percepatan penurunan tengkes di seluruh provinsi.
Adapun di Jawa Timur sudah terbentuk KPT yang terdiri 19 kampus. Nanti, dalam perjalanan akan ditambah lagi oleh perguruan tinggi (PT) lain yang sejauh ini belum bergabung.
Selama ini, menurut Sri Sumarmi, PT punya gagasan yang bisa diimplementasikan dalam pendampingan. PT punya inovasi masing-masing dalam penanganan stunting. Beberapa kabupaten yang telah didampingi oleh Unair, seperti Probolinggo dan Sampang, telah mencapai penurunan prevalensi tengkes yang signifikan.
”Salah satu konsep yang kami lakukan adalah pencegahan stunting sejak dini. Rupanya ini bersambut dengan konsep Pak Hasto, kita intervensi sejak hulu. Calon pengantin menjadi salah satu sasaran utama selain keluarga 1.000 HPK (hari pertama kehidupan),” katanya.
Menurut Sumarmi, saat ini pihaknya tengah menggodok rancangan pola pendampingan yang disinkronkan dengan program BKKBN dan organisasi perangkat daerah lainnya, terutama untuk penguatan lima pilar, mulai dari komitmen hingga ketahanan pangan.