Jejak Panjang Balapan di Tanah Priangan, Unjuk Kreativitas, Kerja Sama, dan Kebaikan Manusianya
Jejak panjang balapan terentang di Priangan. Kini, saat ajang MotoGP hadir Mandalika, pesona dari Jawa Barat itu tidak ingin ketinggalan.
Tahun ini, demam MotoGP yang digelar di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, melanda negeri. Salah satu yang tersengat adalah Jawa Barat.
Disebutkan, penonton terbanyak datang dari Jabar. Beragam produk UMKM bertema balap motor asal Jabar juga dipamerkan dan disebut laris manis di sana. Semua menjadi secuil bukti perjalanan panjang Jabar dengan dunia balapan berkelas internasional.
Sejak abad ke-19, ajang balapan sudah jadi tren di tanah Priangan. Kisahnya semakin terdengar di abad ke-20 saat mesin kendaraan bermotor mulai dikenal di Nusantara.
Salah satu puncaknya saat Jabar menjadi rumah bagi pebalap ternama lewat Sirkuit Sentul di Bogor yang rampung dibangun tahun 1994. Jauh sebelum Mandalika muncul, ajang GP 500, kemudian dikenal dengan MotoGP, digelar di sana tahun 1996 dan 1997.
Selama itu, lebih dari sekadar hobi dan prestasi. Keberadaannya juga punya misi memperkenalkan Nusantara ke seantero dunia sekaligus menyebarkan pesan baik khas orang Indonesia. Demamnya diduga masuk ke perkampungan menyebar nilai baik, seperti kerja sama, kegembiraan, syukur, dan kreativitas.
Ajang balap tertua yang pernah tercatat dalam sejarah tanah Priangan adalah pacuan berkuda. Dimulai dari Tegalega, Bandung, ajang ini menyebar ke Sukabumi, Tasikmalaya, hingga Sumedang.
Atep Kurnia, dalam tulisan Sejarah Pacuan Kuda di Priangan 1853-1899, menyebutkan, acara ini tumbuh seiring minat berkuda pegawai Eropa dan para bupati Priangan.
Pada 1853, pegawai Eropa dan bupati mengajukan permohonan membentuk klub pacuan kuda kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda AJ Duymaer van Twist. Pertimbangan utamanya, sebagai sarana hiburan dan keuntungan publik hingga mempromosikan Hindia Belanda yang tenar.
Permohonan pencinta kuda pun disetujui. Kelompok itu lantas diberi nama Preanger Wedloop Societeit (PWS). Besar kemungkinan, PWS adalah organisasi olahraga tertua di Hindia Belanda.
Pacuan kuda pun digelar pada akhir Juli-awal Agustus 1853 selama tiga hari berturut-turut. Belakangan, acara ini dilakukan juga untuk memperingati ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina dan ibunya, Emma.
Pesertanya tidak jauh dari orang kaya saat itu. Selain bupati Bandung dan menak, pengusaha perkebunan teh ikut serta. Tercatat nama-nama semacam AW Holle, pengelola Perkebunan Parakan Salak dan EJ Kerkhoven (Perkebunan Sinagar). Banyak orang dari sejumlah daerah hingga mancanegara juga ikut serta.
Kuda yang digunakan beragam, mulai dari lokal hingga Australia. Hadiahnya pun lumayan bergengsi hingga ratusan gulden, tergantung kategori lomba.
Uniknya, persaingan ternyata tidak hanya ada di pacuan kuda. Bagi orang berduit masa itu, pacuan kuda yang dihadiri ribuan orang itu dianggap tempat tepat memamerkan status hingga harta benda.
Haryoto Kunto dalam Balai Agung di Kota Bandung mengatakan, penonton perempuan biasanya datang mengenakan kebaya Bandung terbaik bermotif penuh warna. Aksesori pemanis, seperti emas dan berlian, terpasang berkilau. Bagian rambut juga dihiasi secantik mungkin, seperti konde dengan rangkaian bunga.
Lelaki juga tidak kalah genit. Untuk orang tua, biasanya memakai jas dengan sapu tangan di saku hingga topi laken merek borsalino. Sementara anak muda memakai baju bahan wol, kemeja lengan panjang, dan topi singkayo.
Beragam kisah pun muncul kemudian. Katanya, ada saja istri yang marah kepada suami karena tidak memiliki pakaian terbaik. Tidak jarang muncul kabar suami yang kepergok selingkuh setelah kepincut lawan jenis di pacuan kuda. ”Ujungnya bisa sampai memicu perceraian,” tulis Kunto.
Pesertanya bisa jadi orang kaya. Namun, penonton dan kalangan yang meramaikan suasana tetap saja warga jelata. Banyak pedagang, pemilik warung, hingga pemilik toko yang menjajakan dagangan mencari laba besar. Sedikit banyak, acara sebesar ini memberikan keuntungan bagi pencari rezeki.
Akan tetapi, keramaian pacuan kuda Tegalega mulai tidak terdengar di awal abad ke-20. Menurut data yang dihimpun Atep dari koran Java-Bode hinggaPreanger-Bode, antara tahun 1853 dan 1899 paling tidak dilakukan 32 kali pacuan kuda.
Penyebab di balik tidak setiap tahun ada perlombaan adalah penurunan minat terhadap pacuan kuda. Bisa jadi, alternatif berwisata sudah lebih beragam pada abad ke-20 ikut membuat pacuan kuda kehilangan pamornya.
Saat pacuan kuda kehilangan pamor, giliran reli wisata mobil dan sepeda motor jadi primadona. Pengagasnya adalah Vereeninging Bandoeng Vooruit (Perhimpunan Bandung Maju). Tujuan, mempromosikan Bandung pada dunia.
Dalam buku Pariwisata di Hindia Belanda (1891-1942), Achmad Sunjayadi mengatakan, Bandoeng Vooruit ikut membangun akses jalan mobil menuju Kawah Tangkubanparahu. Dibuka pada 1928, ada sistem pembayaran seperti jalan tol untuk biaya pemeliharaan jalan.
Dibuka pada 1928, ada sistem pembayaran seperti jalan tol untuk biaya pemeliharaan jalan.
Tahun 1935, Bandoeng Vooruit juga membangun jalan menuju Gunung Papandayan dari Pangalengan. Obyek wisata gunung api memang menjadi salah satu bahan jualan Bandoeng Vooruit. Sesuai dengan motonya ”Bezoek Bandoeng! En z’n vulkanen” (Kunjungi Bandung dan gunung berapinya).
Adrenalin ikut dipacu saat mempromosikan wisata Bandung. Salah satu ajang fenomenal adalah reli wisata mobil dan sepeda motor Bandoeng Sterrit pada 1941. Pesertanya datang dari sejumlah daerah di Hindia Belanda. Ada 208 peserta, sebanyak 43 orang di antaranya menggunakan sepeda motor.
Pelaksanaan lomba pun progresif untuk masanya. Peserta bisa memilih tempat start dari kota masing-masing, lalu finis di Bandung. Mereka seperti ingin memberikan pengalaman mengemudi dengan Bandung sebagai tujuan akhirnya.
Tercatat peserta datang dari Semarang, Solo, Yogyakarta, hingga Batavia (Jakarta). Tiba di Bandung, peserta dijamu di Hotel Savoy Homann, saat itu adalah salah satu yang terbaik di Hindia Belanda. Keesokan harinya mereka pergi ke Tangkubaparahu dan menginap di Lembang.
Achmad mengatakan, Bandoeng Vooruit punya majalah bulanan untuk promosi bernama Mooi Bandoeng. Tidak sembarangan, majalah ini begitu diminati. Pada 1933, oplahnyamencapai 5.000 eksemplar. Sirkulasinya di Pulau Jawa hingga Sumatera Selatan.
Dengan promosi dan kreativitas sebesar itu, Bandoeng Vooruit ikut berperan mewarnai masa keemasan Bandung antara 1920 dan 1940. Saat itu, Bandung menjadi laboratorium arsitektur, pusat mode yang semakin cemerlang, hingga puncaknya dirancang menjadi ibu kota baru menggantikan Batavia.
Baca juga:Miguel Oliveira, Juara MotoGP di Sirkuit Mandalika
Nilai baik
Uniknya, demam adu cepat ini menelusup dalam kehidupan masyarakat hingga ke pedesaan saat itu. Buktinya, ragam permainan tradisional mengusung konsep serupa, kecepatan dan roda, yang dikenal sejak awal 1900-an.
Salah satu yang terkenal adalah rorodaan. Pendiri Komunitas Hong, yang banyak meneliti permainan tradisional, Zaini Alif, menyebutkan, rorodaan awalnya menjadi alat bantu untuk memudahkan warga mengangkut barang. Namun, saat tidak dipergunakan lagi, alat bantu ini dimainkan anak-anak di waktu luangnya.
Menurut Zaini, rorodaan merupakan salah satu permainan tradisional yang masih bertahan. Permainan ini masih bisa ditemui di sejumlah daerah, seperti bagian selatan daerah Subang, Cianjur, hingga Garut.
Sama seperti balapan pada umumnya, rorodaan memicu adrenalin anak-anak. Mereka saling berpacu di turunanan dengan mengandalkan alat dan keahlian mereka menguasai medan. Tidak jarang anak-anak yang bermain terjatuh karena tergelincir di lumpur atau terguling karena gundukan tanah.
Selain hiburan, anak-anak yang bermain ini sekaligus belajar bekerja sama, kreativitas, hingga sportivitas. Mereka harus bisa membuat roda yang bisa melaju cepat hingga bisa mengalahkan temannya.
”Permainan tradisional ini tidak akan hilang di saat anak-anak masih memainkannya. Dengan ini, pola pelestarian pasti akan berlangsung,” ujarnya.
Di Batu Loceng, Kabupaten Bandung Barat, misalnya, rorodaan masih dimainkan. Setiap Agustus setelah musim panen ada kompetisi yang digelar warga setempat. Di sana, rorodaan dikenal dengan nama kadaplak, diambil nama sejenis kupu-kupu.
Kostruksinya dibuat seperti mobil beroda empat. Konstruksi dan rodanya menggunakan kayu dan bambu. Tidak memiliki mesin, pesertanya memulai dari dataran tinggi meluncur ke kawasan lebih rendah. Peserta tercepat turun ke bawah menuju garis finis menjadi juaranya.
Waktu berjalan, perkembangan teknologi membawa balapan di Indonesia ke level yang lebih tinggi. Jabar kembali ambil peran lewat Sirkuit Sentul yang rampung dibuat di Bogor tahun 1994.
Salah satu pencapaian besar sirkuit yang dibangun dengan biaya Rp 120 miliar itu adalah menjadi tuan rumah GP 500, cikal bakal MotoGP, tahun 1996-1997. Tak kurang 90 pebalap motor dari mancanegara berlaga di tiga kelas, yakni 500cc, 250cc, dan 125cc.
Saat itu, pemerintah dan swasta saling menopang, mulai dari membenahi infrastruktur hingga mencari pembiayaan yang diduga lebih dari 2 juta dollar AS (atau saat itu sekitar Rp 5 miliar).
Bukan hanya menjadi saksi para pebalap beraksi, ajang ini disebut memperkenalkan Indonesia ke dunia internasional. Ada 152 negara menyiarkan acara itu secara langsung.
”Di sini kita juga menjual urusan pariwisatanya,” ujar Presiden Direktur PT Sarana Sirkuitindo Utama Tinton Soeprapto. Jadi, bukan lagi menjelaskan hal klise ”Indonesia bagian mana dari Pulau Bali” (Kompas, 7/4/1996).
Akan tetapi, upaya itu tidak berjalan mulus. Ragam kendala, terutama di bidang politik dan ekonomi, membuat ragam serupa sulit terus dilakukan di Indonesia. Baru 26 tahun kemudian, Mandalika menjadi saksi ketangguhan negeri ini menggelar ajang balap internasional.
Jabar tidak ingin ketinggalan ambil bagian dalam perhelatan MotoGP di Mandalika, Minggu (20/3/2022) ini. Ajang balap internasional ini menjadi momentum untuk memperkenalkan produk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kepada para pengunjung.
Ada 60 UMKM asal Jabar yang adu cepat menggaet pelanggan dalam ajang ini. Kolaborasi dan lokakarya telah terselenggara sejak Desember 2021 atas persetujuan Gubernur Jabar Ridwan Kamil dan Gubernur NTB Zulkieflimansyah.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jabar Iendra Sofyan menjelaskan, progress kerja sama antara dua daerah ini telah dimulai untuk produksi bersama. Pengembangan produk, mulai dari kopi sampai gerabah, telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas produksi UMKM di kedua daerah ini.
”Ada beberapa workshop hasil kolaborasi yang telah terlaksana. Yang menjadi fokus akselerasinya adalah pengembangan produk dan investasi. Itu yang dilaksanakan di NTB,” ujarnya.
Menurut Iendra, ada tujuh poin yang menjadi fokus kerja sama. Hal ini terdiri dari pemenuhan kebutuhan pokok di setiap daerah, fasilitas pengembangan, promosi, temu usaha bisnis, pembinaan, pertukaran data komoditas, hingga pengujian mutu barang.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil pun tidak ingin ketinggalan dalam perhelatan kelas dunia ini. Dia bahkan mengajak legenda balap Indonesia, Tjetjep Euwyong Heryana, menyaksikan MotoGP di Mandalika. Pembalap asal Cimahi ini yang berkarier dari 1954-1974 pernah menggapai podium ketiga Grand Prix Macau tahun 1970, salah satu perlombaan bergengsi di dunia kala itu.
”Saya punya warga yang ternyata pahlawan balap pada zamannya, sampai naik podium di Makau. Di usianya yang sudah 83 tahun, dia punya keinginan untuk nonton balap. Jadi, saya hadiahkan tiket MotoGP,” ujar Emil.
Akan tetapi, dibonceng Emil menggunakan sepeda motor sidechair berkeliling Mataram pada Minggu, Tjetjep menginginkan lebih. Dalam akun instagramnya, Emil mengatakan, diprotes Tjetjep.
”Kurang cepet Pak Gub (gubernur),” katanya.
”Saya dulu bisa 225 kilometer per jam,” lanjut Tjetjep sambil tertawa lepas.
Ajang balapan lebih dari hanya menang kalah atau soal teknologi. Di Indonesia, balap menjadi sarana promosi keunggulan negeri, kreativitas, hingga kebaikan manusianya.
Juara MotoGP 2022 Seri Mandalika Miguel Oliveira tampaknya mengakui pesona itu. Buktinya, ia mendedikasikan kemenangannya untuk Risman, staf hotel selama dia berada di Indonesia. Risman disebut sebagai pendukung terbesarnya di Indonesia untuk menjadi juara di seri kali ini.
Baca juga: Jabar Ingin Berbagi Gagasan Kreatif Sambut MotoGP Mandalika