Pembacok yang Tewaskan 3 Orang di Kediri Dikenal Pendiam
Peristiwa pembacokan di Kediri menewaskan tiga orang dan melukai tujuh orang. Selama ini pelaku dikenal pendiam. Sebelum peristiwa terjadi, pelaku cekcok dengan orangtuanya.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
KEDIRI, KOMPAS — Rianto (35), warga Dusun Bangunmulyo, Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, yang membacok kerabat dan tetangganya dikenal memiliki kepribadian pendiam. Akibat aksi membabi buta yang dilakukannya, Senin (7/3/2022), tiga orang meninggal dan tujuh orang lainnya menderita luka sabetan benda tajam.
Menurut keterangan aparat desa, korban meninggal adalah tetangga pelaku, yakni Azis (75), Trinah (90), dan Binti Mujayanah (40). Sementara korban luka, antara lain Siswo (60) dan Tuminah (60), yang merupakan orangtua pelaku. Selain itu, ada adik pelaku, Sani dan Riyanti (34).
Kepala Desa Pojok, Darwanto, saat dihubungi dari Malang, Selasa (8/3/2022) pagi, menuturkan, sejak kecil pelaku pendiam dan penyendiri. Selama ini pekerjaannya serabutan, mulai dari buruh tani sampai kuli bangunan. ”Kesehariannya diam, tetapi ibadahnya baik. Dia baru menikah 2,5 tahun ini dan belum memiliki anak,” ujarnya.
Jika siang, lanjut Darwanto, pelaku tinggal bersama orangtuanya. Saat malam, pulang ke rumah istrinya di desa tetangga. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan masalah ekonomi.
Mengenai kemungkinan gangguan jiwa, Darwanto mengatakan tanda-tanda itu tidak tampak pada diri pelaku. Sikapnya biasa saja seperti orang normal. Bahkan, sehari sebelum peristiwa, pelaku juga masih melaksanakan ibadah shalat Jumat.
”Kalau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), biasanya depresi, stres. Tapi, selama ini (pelaku) tidak menunjukkan kalau ODGJ. Kalau ODGJ, pasti sudah ditangani desa, tetapi ini tidak ada. Biasa-biasa saja orangnya,” ucapnya.
Pihak desa mendapat informasi bahwa pada Sabtu pagi, sebelum peristiwa terjadi, pelaku cekcok dengan ibu kandungnya. Namun, setelah itu hubungan keduanya kembali normal hingga akhirnya terdengar kabar memilukan itu.
”Pagi ini kedua orangtua pelaku (korban luka) dan adiknya masih dirawat di RS Surya Melati. Ini mau dirujuk ke RSUD Simpang Lima Gumul,” ujarnya.
Peristiwa pembacokan berlangsung cepat, tidak sampai 15 menit. Siapa pun yang bertemu dengan pelaku dibabat menggunakan sabit. (Darwanto)
Menurut Darwanto, peristiwa pembacokan berlangsung cepat, tidak sampai 15 menit. Siapa pun yang bertemu dengan pelaku dibabat menggunakan sabit (bukan celurit). ”Siapa pun dibabat, yang melerai juga dibabat,” katanya.
Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Kepolisian Resor Kediri Ajun Komisaris Rizkika Atmadha mengatakan, pelaku sudah diringkus beberapa saat setelah peristiwa terjadi. Pelaku memang sempat lari ke kebun, tetapi kemudian berhasil diringkus saat berada di dalam rumah.
Karena ada luka di tubuhnya, pelaku dibawa ke RS Bhayangkara Kediri. Menurut Rizkika, pelaku masih bungkam sehingga belum banyak keterangan yang bisa digali, termasuk yang mendasari perbuatannya. ”Kami akan cek kondisi kejiwaan dan sebagainya melalui dokter,” ujarnya.
Rizkika pun memperbarui data total jumlah korban meninggal sebanyak tiga orang, satu orang kritis, dan enam lainnya terluka (sebelumnya tiga meninggal dan enam terluka).
Sementara itu, Bupati Kediri Hanindhito Himawan Pramono, Senin malam, menemui keluarga korban untuk menyampaikan belasungkawa dan santunan. Saat itu, sebagian korban yang menjalani perawatan di rumah sakit telah memilih pulang. Dhito pun meminta korban bersedia dirawat di RSUD Simpang Lima Gumul.
Sebelumnya, kriminolog Universitas Brawijaya Malang, Prija Djatmika, mengatakan, dari kasus pembacokan yang terjadi secara umum, kejadian itu bisa dipicu kelainan jiwa atau depresi sosial dari pelaku. ”Jadi, yang dibunuh acak tidak? Kalau acak, mungkin akibat depresi sosial. Kalau yang dibunuh keluarga atau orang yang dia kenal, yang ada story (hubungan) sebelumnya, mungkin akibat dendam,” ujarnya.
Untuk menentukan hal itu, menurut Prija, bisa dilacak dari kehidupan ekonomi dan keluarga pelaku. Membunuh secara membabi-buta dalam konsep kriminologi dikenal dengan istilah anomi atau kehilangan nilai (degradasi nilai).
”Benar atau salah, dia (pelaku) tidak mikir, yang penting sudah melampiaskan. Dia tidak punya keterikatan sosial, dia mengalami anomi,” ucapnya.
Terkait depresi sosial, hal itu muncul karena kondisi kesulitan ekonomi akibat pandemi. Prija lebih memperhitungkan faktor yang menumpuk pada diri pelaku. Menurut dia, ada depresi, tekanan psikologis yang kuat, sedangkan yang bersangkutan tidak memiliki jalan keluar yang tepat. Hal itu akan menjadi pemicu yang bersangkutan melakukan aksi secara brutal.
”Kecuali gangguan jiwa. Kalau gila di luar kontrol. Jadi, polisi tinggal melacak background-nya bagaimana, kesehariannya bagaimana. Lalu pemicunya apa,” ucapnya.