Dago hingga Pasupati, dari Kursi Roda sampai Kekayaan Maritim Nusantara
Ragam seremoni dilakukan berbagai kalangan di Bandung pada 1 Maret, baik untuk memperingati Hari Kursi Roda Internasional atau peresmian nama jalan layang. Ujungnya demi kesejahteraan rakyat yang sangat dinantikan.
Pada 1 Maret 2022, jalan-jalan di Kota Bandung, Jawa Barat, merayakan pentingnya kesetaraan dan kesejahteraan. Di Jalan Dago, kalangan disabilitas mengkritisi negara saat memperingati Hari Kursi Roda Internasional.
Sementara itu, di Jalan Layang Pasupati, peran pemerintah daerah besar mendorong Mochtar Kusumaatmadja menjadi pahlawan nasional. Namun, lebih dari sekadar seremoni, kedua momen itu seharusnya berujung pada kualitas manusia yang lebih mulia.
Arus lalu lintas di Jalan Dago, Selasa siang, padat. Mobil dan motor terlihat berdesakan mengantarkan pengemudinya ke tujuan. Namun, melintas di salah satu jalan terbaik di Kota Bandung, ada banyak panorama yang dinikmati, mulai dari jalan besar untuk empat kendaraan jalur hingga ragam infrastruktur yang bisa digunakan untuk berswafoto.
Akan tetapi, semuanya tidak lantas menjadi indah bagi tujuh orang berkursi roda saat melintas di sana. Mereka menemukan banyak kesulitan.
Tinggi antara ram trotoar dan pinggir jalan aspal yang tidak setara membuat ban kursi roda tersendat. Permukaan jalan yang tidak rata semakin memperparah keadaan.
Di titik perempatan Dago-Cikapayang, di pelintasan zebra cross, mereka disambut batu besar. Butuh bantuan sejumlah orang untuk menggeser batu itu.
”Pada Hari Kursi Roda Internasional ini, Kota Bandung masih jauh dari ideal bagi (penyandang) disabilitas,” kata Djumono, satu dari tujuh pengguna kursi roda. Acara ini rutin digelar setiap tahun di banyak negara setiap 1 Maret sejak tahun 2008. Penggagasnya adalah warga Inggris, Steve Wilkinson atau disapa Wheelchair Steve (Steve si Kursi Roda).
Bersama kawan–kawannya, Djumono melintasi rute sepanjang 1,6 kilometer, dari Jalan Penatha Yudha menuju Dago. Dengan beberapa menit beristirahat di sekitar perempatan Dago, mereka butuh sejam untuk menuntaskan misi siang itu.
Djumono (55), yang juga Wakil Sekretaris National Paralympic Committee Indonesia (NPCI) Kota Bandung, mengatakan, kurang dari 10 persen jalan di Kota Bandung yang bisa mereka lintasi secara mandiri. Selebihnya, mereka harus sering berhati-hati dan terpaksa meminta bantuan orang lain.
”Kalau dilihat-lihat, yang bisa kami akses secara mandiri itu baru Jalan Dago, Asia Afrika, Sudirman, dan Jalan Riau. Selebihnya sulit,” ujarnya.
Djumono merasakan kekhawatiran itu saat menggunakan kursi roda di awal 2001-2008. Dia harus melintasi jarak hingga 5 kilometer dari rumahnya dengan kursi roda saat bekerja di Gelanggang Olah Raga (GOR) Pajajaran.
Setiap perjalanan, mau tidak mau dia menggunakan jalan aspal karena trotoar saat itu tidak ramah untuk kursi roda. Permukaan yang tidak rata bisa membuat rodanya lebih cepat aus.
”Selama delapan tahun saya bolak balik seperti itu. Memang khawatir, tetapi yang penting ada uang untuk anak dan istri makan. Dari 2008 sampai sekarang, alhamdulillah sudah pakai motor,” ujar Djumono.
Baca juga: Beban Ganda Penyandang Disabilitas demi Dapatkan Vaksinasi
Meskipun telah menggunakan motor, Djumono tetap memperhatikan pengguna lainnya. Dia juga aktif terlibat diskusi dengan pengguna kursi roda lainnya dan melihat kebutuhan akses bagi mereka terus bertambah.
”Sekarang ada lebih dari 400 pengguna kursi roda di Kota Bandung yang saya kenal. Kalau pengguna total pasti lebih banyak karena (warga) lansia yang menggunakan kursi roda juga akan terus bertambah, belum lagi angka (penyandang) disabilitas yang terus naik setiap harinya,” ujar Djumono.
Karena itu, Djumono beserta enam rekannya ingin menyadarkan pemerintah untuk lebih memperhatikan kebutuhan mereka. Saat ini sektor yang memberikan dukungan optimal bagi para penyandang disabilitas baru ketenagakerjaan dan olaharaga.
”Di bidang olahraga, kami selalu diperhatikan, terutama jika berprestasi. Untuk ketenagakerjaan, sudah ada kuota bagi penyandang disabilitas. Sayangnya untuk akses publik masih sangat minim sehingga kami sulit untuk mandiri,” ujarnya.
Akses yang masih minim ini bisa dilihat dari sulitnya mereka mengakses angkutan umum. Djumono mengingat kembali pengalamannya saat menggunakan angkutan umum yang sering meminta bantuan orang lain saat keluar sendirian.
”Kami juga harus bayar dua kali lipat karena kursi kita kan makan tempat. Kalau naik bus, tempatnya masih terlalu tinggi. Oleh karena itu, kami juga sulit ke mana-mana sendiri,” ujarnya.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Cucu Saidah (47), peserta lainnya. Sebagai konsultan inklusi disabilitas, dia melihat jalan yang mereka lintasi sulit dilintasi oleh pengguna kursi roda secara mandiri.
Di satu sisi mereka tidak bisa menggunakan sebagian besar trotoar yang lebih tinggi dan banyak penghalang, seperti pohon, bebatuan, hingga lubang akibat pengerjaan jalan hingga lantai trotoar yang patah karena dilintasi kendaraan.
Padahal, membangun trotoar yang ramah penyandang disabilitas menjadi sebuah kebutuhan di kota besar seperti Bandung. Cucu mencontohkan, sejumlah persyaratan harus dipenuhi dalam membangun trotoar, seperti kemiringan yang bisa ditoleransi dari zebra cross ke pinggir trotoar hingga tidak ada gap antara batas aspal dan trotoar yang landai tersebut.
Akan tetapi, hampir di semua tempat penyeberangan di Kota Bandung, lanjut Cucu, tidak memenuhi hal tersebut. Selalu ada jarak yang membuat roda menyangkut dan menyulitkan sehingga harus dibantu pendamping atau pengguna jalan lainnya. Tanpa pendamping, artinya mereka berjalan penuh kekhawatiran.
”Ini terjadi karena seringkali user (pengguna) tidak dilibatkan, mulai dari perencanaan hingga pembangunan. Kami berharap, pemerintah mau mendengarkan kebutuhan kami agar bisa mandiri,” ujarnya.
Dalam peringatan Hari Disabilitas Internasional akhir 2021, Pemkot Bandung berjanji melibatkan difabel dalam pengembangan kota. Perbaikan infrastruktur juga dilakukan. Janji itu masih terus dinanti.
Ketika perjalanan melelahkan difabel baru saja usai, giliran Jalan Pasupati menjadi tempat merayakan pentingnya kesetaraan. Kali ini, didukung pemerintah daerah, jalan itu punya nama baru, Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja, sejak Selasa (1/3/2022).
Hadir dalam kesempatan itu, Gubernur Jabar Ridwan Kamil dan Pelaksana Tugas Wali Kota Bandung Yana Mulyana. Ada juga perwakilan keluarga, Sarwono Kusumaatmadja.
Ada beragam pertimbangan di balik penamaan itu. Mochtar disebut sosok inspiratif, tidak hanya bagi Jabar, tetapi juga Indonesia.
Dikenal sebagai pemikir hukum internasional, Mochtar dijuluki Bapak Hukum Internasional Indonesia. Salah satu gagasan Mochtar ialah negara kepulauan yang melandasi lahirnya wawasan Nusantara.
Wawasan Nusantara berawal dari gagasan batas teritorial laut RI pada 1957 melalui Deklarasi Djuanda. Konsep ini diakui konstitusi internasional tahun 1982 setelah Mochtar berjuang 25 tahun dan pernah ditolak banyak negara. Hasil itu lantas tidak sia-sia. Konsep itu diakui dan membuat perairan Indonesia bertambah sekitar 3 juta kilometer persegi.
Ridwan Kamil yang biasa disapa Emil mengatakan, Mochtar adalah sosok berjasa merumuskan batas negara Indonesia. Ia menjelaskan, dahulu batas wilayah laut di Indonesia berjarak 3 mil.
Dengan begitu, pulau-pulau yang dipisahkan laut dengan jarak lebih dari 3 mil dikategorikan menjadi kawasan internasional sehingga kapal asing bebas melintasi jalur tersebut.
”Semua melakukan pengorbanan dan berjasa di zamannya masing-masing,” ucap Emil.
Yana Mulyana menyebut perubahan nama Jalan Pasupati ini merupakan penghormatan bagi kiprah Mochtar. Ia juga berharap pemberian nama ini juga menjadi momentum positif peningkatan pembangunan infrastruktur, khususnya di Kota Bandung.
Sementara itu, Sarwono menyampaikan apresiasi atas penamaan baru itu. Menurut dia, kenangan baik atas peran Mochtar semasa hidup terasa begitu merata di Kota Bandung dan Jabar.
”Ini membuat kami lega. Apalagi ada gagasan menjadikan beliau sebagai pahlawan nasional,” ungkapnya.
Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran yang juga anggota Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Jabar Reiza D. Dienaputra mengatakan, masih ada beberapa dokumen yang harus dilengkapi. Setelah bangunan monumental, pihaknya tengah menuntaskan biografi Mochtar dan wawancara dengan beberapa tokoh.
”Mudah-mudahan pekan kedua Maret, usulan ini sudah bisa disampaikan ke Kementerian Sosial,” ucapnya.
Akan tetapi, semuanya seharusnya tidak berhenti di seremoni, terutama saat pandemi Covid-19 masih terjadi. Kritik difabel harus menjadi perhatian penting. Hal ini sejalan dengan klaim Kota Bandung dan Jabar sebagai ramah difabel. Apabila terus dipusingkan dengan akses jalan dan transportasi yang ideal, sulit bagi difabel untuk sejahtera.
Kenangan terhadap Mochtar juga sebaiknya melebihi penamaan jalan atau bahkan status pahlawan nasional saja. Bakal sangat ideal jika kemampuan Mochtar diabadikan dalam ketangguhan bangsa ini menawarkan beragam solusi bagi permasalahan maritim hingga banyak masalah di dalamnya, seperti kesejahteraan manusia.
Kini, daerah pesisir seperti Cirebon, Garut, Cianjur, Tasikmalaya hingga Indramayu, masuk 10 besar daerah dengan kemiskinan tertinggi di Jabar berdasarkan data Badan Pusat Statistik Maret 2021. Fakta ini menunjukkan, kekayaan maritim masih belum sepenuhnya dinikmati orang di sekitarnya.
Baca juga : Jasa Mochtar Tak Terlupakan