Salah satu diplomat terbaik RI yang juga Bapak Hukum Internasional Indonesia, Mochtar Kusumaatmadja, berpulang meninggalkan legasi yang akan terus dikenang negeri ini.
Oleh
MH SAMSUL HADI, LUKI AULIA, DAN CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
·5 menit baca
JULIUS
Mantan Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja (kedua dari kanan) menerima Anugerah Pahlawan Nasional Dr Ide Anak Agung Gde Agung untuk Keunggulan dalam Diplomasi 2011 yang diserahkan Menlu Marty Natalegawa (kedua dari kiri) di Jakarta, Senin (25/7/2011). Mochtar meninggal dalam usia 92 tahun, Minggu (6/6/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia kehilangan Mochtar Kusumaatmadja, salah satu putra terbaiknya. Mochtar adalah seorang diplomat ulung, Bapak Hukum Internasional Indonesia, pionir diplomasi kebudayaan, ilmuwan, pendidik, negarawan, dan pemilik sederet penghargaan lainnya atas jasa dan perjuangannya bagi bangsa. Mochtar, mantan menteri kehakiman dan menteri luar negeri, berpulang pada Minggu (6/6/2021) pagi di kediamannya di Jakarta.
Ia meninggal dalam usia 92 tahun, meninggalkan dua putra dan satu putri serta enam cucu. Istrinya, Siti Chadidjah, meninggal pada tahun 2014.
Mochtar dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, Minggu sore. Upacara pemakamannya, menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, dipimpin Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar dalam upacara yang dipersingkat guna mematuhi protokol kesehatan.
Selain menjabat menteri dalam periode 1974-1988, termasuk menlu selama dua periode (1978-1988), Mochtar tokoh penting dalam pengembangan pemikiran hukum dan pendidikan tinggi hukum di Indonesia. Dikenal sebagai pemikir hukum internasional, Mochtar dijuluki Bapak Hukum Internasional Indonesia. Salah satu gagasan Mochtar ialah negara kepulauan yang melandasi lahirnya wawasan Nusantara.
Diuraikan di situs Universitas Padjadjaran, kampus tempat almarhum menjadi guru besar fakultas hukum dan menjabat rektor pada 1973-1974, wawasan Nusantara berawal dari gagasan batas teritorial laut RI pada 1957 melalui Deklarasi Djuanda. Konsep ini diakui konstitusi internasional tahun 1982 setelah Mochtar berjuang 25 tahun di PBB. Hingga kini, wawasan Nusantara menjadi landasan RI dalam menentukan batas teritorial.
KOMPAS/KARTONO RYADI
Pembicaraan antara Portugal dan Indonesia di kantor Departemen Luar Negeri, Jakarta, 29 Agustus 1975. Pihak Portugal diketuai Dr Almeida Santos (sisi kiri) dan pihak Indonesia oleh Prof Mochtar Kusumaatmadja (sisi kanan).
”Beliau memiliki karier yang cemerlang dalam pemerintahan maupun sebagai ilmuwan, pendidik, dan negarawan. Beliau juga dikenal sebagai pakar hukum internasional dengan reputasi dunia,” ujar Mahendra.
”Beliau penyusun konsep negara kepulauan yang diformulasikan dalam Deklarasi Djuanda 1957 yang akhirnya diakui internasional dengan diterimanya konsep negara kepulauan dalam Konvensi Hukum Laut 1982,” tambah Mahendra.
Mochtar juga merupakan orang Indonesia pertama yang terpilih sebagai anggota Komisi Hukum Internasional. ”Perjuangan, pengabdian, dan kontribusi beliau bagi kepentingan Indonesia memberikan keteladanan bagi kita semua,” kata Mahendra lagi.
Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Damos Dumoli Agusman menyebutkan, konsep negara kepulauan yang disusun Mochtar pernah dikritik sebagai ”pelanggaran hukum internasional”. ”Ia mengembangkan konsep itu, yang akhirnya mengantarkan Indonesia sebagai salah satu (negara) yang membuat hukum internasional, bukan (pihak) yang melanggar,” kata Damos di Twitter.
Diplomasi perbatasan
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 diadopsi di Montegay Bay, Jamaika, 10 Desember 1982, sebagai bagian dari tatanan hukum internasional. Di tengah konflik dan sengketa perbatasan laut yang meningkat akhir-akhir ini, termasuk di perairan Laut China Selatan, posisi UNCLOS sebagai panduan dan rujukan hukum makin penting.
”Indonesia memberi penghargaan tertinggi dan tertulus kepada perjuangan diplomasi perbatasan atau border diplomacy RI yang dipimpin Prof Mochtar Kusumaatmadja secara gigih dan heroik selama 25 tahun proses diplomasi,” kata Shiskha Prabawaningtyas, Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy, Universitas Paramadina, Jakarta.
Lahir di Jakarta, 17 Februari 1929, Mochtar menerima tanda jasa Bintang Mahaputra Utama dan Bintang Mahaputra Adipradana. Setelah menamatkan pendidikan hukum dengan spesialisasi hukum internasional di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1955, ia mendapat gelar master of laws (LL.M.) dari Yale Law School, AS, pada 1956. Sejak 1959, ia mengajar di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, lalu meraih gelar doktor pada 1962.
Kompas/JB SURATNO
Dubes AS yang baru Edward E Masters (kanan) dan Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja (kiri) menandatangani dan mempertukarkan nota perubahan persetujuan bantuan pangan AS, 16 Desember 1977. (Dari kiri ke kanan) Mochtar, Dubes RI untuk Amerika Serikat D Ashari, dan Dubes AS Masters beramah-tamah seusai penandatanganan di kantor Departemen Luar Negeri, Jakarta.
Di bidang keilmuan, Mochtar adalah pakar hukum laut dan internasional. Guru Besar Fakultas Hukum Unpad sejak 1970 ini menjabat rektor periode 1973-1974. Masa jabatannya sebagai Rektor Unpad terbilang singkat. Presiden Soeharto mengangkatnya sebagai Menteri Kehakiman Kabinet Pembangunan II periode 1974-1978. Setelah itu, Mochtar diangkat menjadi Menteri Luar Negeri Kabinet Pembangunan III dan IV pada 1978-1988.
Penghargaan
Pada 2011 Mochtar dianugerahi penghargaan Pahlawan Nasional Dr Ide Anak Agung Gde Agung untuk keunggulan dalam diplomasi oleh Kemenlu RI. Tokoh nasional lain yang memperoleh penghargaan yang sama adalah Proklamator dan Wakil Presiden pertama RI Mohammad Hatta (2014).
Namanya juga diabadikan sebagai penghargaan, yakni Anugerah Mochtar Kusumaatmadja, di Unpad. Anugerah itu salah satunya diberikan kepada akademisi dan diplomat asal Singapura, Prof Tommy Koh.
Saat menyampaikan sambutan seusai menerima anugerah, Tommy memaparkan mengenal Mochtar saat dirinya menjadi guru besar di National University of Singapore. Dengan dasar keilmuan yang sama, keduanya lantas menjalin berbagai program kerja sama akademik dan pertukaran pelajar.
Kompas/Samuel Oktora
Tommy Koh
”Ia tahu konsep negara kepulauan ini tidak mungkin disetujui internasional jika tidak didukung dua negara tetangga serumpun, seperti Malaysia dan Singapura. Akhirnya dia mendapat dukungan dari Malaysia dan Singapura melalui kemampuan negosiasinya,” kata Tommy.
Tommy juga berpandangan, saat menjabat Menteri Kehakiman, Mochtar mengembangkan sistem hukum modern di Indonesia. Di tingkat ASEAN, ketika menjabat menlu, Mochtar berkontribusi penting menangani konflik di Kamboja.
Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI dan Rektor Universitas Jenderal A Yani yang pernah mendapat bimbingan (mentee) Mochtar, menyebut almarhum sebagai sosok legenda hidup (living legend). ”Saat menjadi menteri luar negeri, beliau sangat piawai dan sangat disegani oleh banyak negara dan tokoh pemerintahan,” ujar Hikmahanto.
Ia menuturkan, setelah menjadi Menlu, Mochtar dipercaya sebagai anggota Komisi Hukum Internasional yang bertugas merumuskan norma-norma dalam hukum internasional. Mochtar juga dipercaya untuk menjadi Ketua Komisi Perbatasan Irak dan Kuwait.
Diplomasi kebudayaan
Sebagai menteri luar negeri, Mochtar dikenal sebagai diplomat yang ahli bernegosiasi. Dikutip dari buku Biografi Rektor-rektor Universitas Padjadjaran tahun 2019, selama menjadi diplomat, Mochtar mencetuskan perlunya diplomasi kebudayaan.
Ia berpandangan, diplomasi kebudayaan bertujuan memperkenalkan citra budaya Indonesia di luar negeri agar tercipta pemahaman yang lebih baik mengenai masyarakat Indonesia. Harapannya, akan tercipta kerja sama pembangunan melalui hubungan pariwisata, penanaman modal, dan ekspor nonmigas.
”Terima kasih, Pak Mochtar. Kerja dan jasa Bapak untuk Kementerian Luar Negeri dan Politik Luar Negeri Indonesia tak akan pernah kami lupakan,” cuit Menlu Retno LP Marsudi, yang dilaporkan Antara saat berada di China ketika Mochtar berpulang, lewat Twitter. (PASCAL S BIN SAJU)