Liwet, Taoco, dan Peuyeum, Kuliner Sunda Bikin Bangga Nusantara hingga Dunia
Durasi penyajian makanan di Jawa barat bervariasi. Ada yang supercepat, tetapi ada pula yang membutuhkan waktu lama. Namun, semuanya membuat jejak peradaban panjang bagi bangsa dan perkembangan dunia.
Liwet, pepes, taoco, hingga lalap dan peuyeum muncul dari dapur sederhana atau pekarangan rumah orang Sunda. Namun, jejak kuliner Sunda ini terbukti panjang hingga bisa membanggakan Nusantara di kancah dunia.
Akibat pandemi, rindu Abdul Latief (40), warga Bandung, pada nasi liwet belum terbayar tuntas. Lebih dari sekadar rasa nikmat, dia kangen cara menyantap secara bersama-sama. Covid-19 rentan menular di kerumunan manusia.
Mengaku tidak pandai memasak, Latief selalu didapuk menjadi koki nasi liwet. Bumbunya ada bawang merah, bawang putih, daun jeruk, hingga daun salam.
Ditambah garam atau kaldu ayam, rasa terbaik bisa didapatkan saat dimasak menggunakan kastrol, periuk dari aluminium. Setelah bumbu dan beras dicampurkan ke dalam kastrol, tinggal tunggu nasi matang sebelum siap disantap.
”Kunci kelezatan lainnya adalah menghidangkan dengan ikan asin dan sambal pedas. Rasanya bikin nagih,” katanya.
Menjadi salah satu kuliner khas, belum diketahui pasti kapan nasi liwet muncul di tanah Sunda. Wawan Aldo Supriyatna, penikmat kuliner dari Sumedang, mengatakan, dulu nasi liwet menjadi santapan utama petani. Mereka membutuhkan makanan yang sederhana, cepat, dan nikmat agar tetap fit menyediakan ketahanan pangan bagi keluarganya.
”Dulu, banyak petani adalah lelaki. Saat itu, belum banyak lelaki terbiasa memasak,” kata Wawan.
Baca juga : Fermentasi, Memperpanjang Napas Kuliner Tradisi Jawa Barat
Kini, nasi liwet tidak hanya dimakan di sawah. Pesona makan bersama membuat liwet bisa ditemui di restoran ternama. Peringatan hari istimewa juga kerap menggunakan liwet sebagai sajian utama.
Wawan mengatakan, di Kecamatan Pamulihan, Sumedang, liwet menjadi sajian menyambut bulan Ramadhan. Dinamakan gembrong liwet, warga bakal makan bersama sebelum menunaikan kewajiban di bulan Ramadhan.
Di Kabupaten Tasikmalaya, yang dikenal dengan sebutan 1.000 pesantren, nasi liwet erat dengan hidup para santri. Nasi liwet kerap dibuat santri lelaki untuk mengakrabkan diri. Tidak ada kasta. Siapa saja bisa ikut serta dari sajian liwet yang sama.
Budayawan Tasikmalaya, Acep Zam Zam Noor, mengatakan, nasi liwet adalah contoh sifat praktis orang Sunda yang egaliter dan apa adanya. ”Orang Sunda spontan, memanfaatkan apa yang ada di alam, dan tidak suka berbelit-belit,” kata Acep.
Akan tetapi, liwet bukan yang paling cepat. Ada lalap yang jauh lebih singkat. Lalap adalah sumber makanan nabati, baik berupa daun maupun pucuk daun, bunga, buah muda, dan biji-bijian.
Keberadaannya mudah didapat, mulai dari halaman depan rumah hingga pematang sawah. Tinggal petik, cuci, lalu santap. Namun, di balik kesederhanaan itu tersimpan jejak panjang yang melatarbelakanginya.
Sejarawan Universitas Padjadjaran Fadly Rahman dalam tulisan Sunda dan Budaya Lalaban: Melacak Masa Lalu Budaya Makan Sunda mengatakan, ada beragam alasan lalapan populer. Pertama, lalapan sudah mengakar sangat lama. Kuat dugaan lalap yang dikonsumsi mentah dan dimasak disebut dalam Prasasti Panggumulan dari abad ke-10 Masehi.
Jenis lalapnya dibagi dua, dimakan mentah dan direbus. Saat itu, lalap kemungkinan tumbuh liar, seperti tespong, antanan, bunut, hingga putat.
Selain natural, ada faktor politik dan ekonomi di masa kolonial yang secara tidak langsung turut memengaruhi kondisi lingkungan dan budaya Sunda.
Di Jawa Barat, sektor agraria memang lebih cenderung diarahkan pada aspek vegetasi. Apalagi saat itu konsentrasi kolonial masih tinggi pada perkebunan teh dan kopi. Hal ini berbeda dengan Jawa Timur dan Jawa Tengah yang dikenal sebagai sentra peternakan.
Punya kuliner supercepat, tanah Sunda juga punya sajian yang butuh waktu lama membuatnya. Salah satu yang populer adalah taoco dari Cianjur.
Dalam acara diskusi ”Aneka Fermentasi”, Hardian Eko Nurseto, antropolog makanan dari Universitas Padjadjaran mengatakan, butuh waktu tiga bulan dari bahan mentah kacang kedelai menjadi taoco siap konsumsi.
Memasaknya menggunakan prinsip fermentasi di dalam wadah tanah liat. Sekilas caranya mirip dengan pembuatan kimchi asal Korea Selatan. Meski taoco juga dikenal di daerah lain di Indonesia, cita rasa taoco dari Cianjur disebutnya berbeda.
Seto mengatakan, jika taoco asal Medan berwarna merah dan beraroma kuat serta Kalimantan yang bening dengan rasanya lebih asin, taoco asal Cianjur punya banyak rasa. Ada proses penambahan dengan cita rasa warga setempat lewat rempah dan gula jawa saat proses pembuatannya.
Makanan fermentasi lawas asal tanah Priangan lainnya adalah oncom. Ada dua jenis oncom berbeda, merah dan hitam. Oncom merah biasanya terbuat dari ampas tahu. Teksturnya lembut dan empuk, sedangkan oncom hitam terbuat dari bungkil kacang atau kelapa yang dicampur ampas tahu.
Fadly mengatakan, salah satu momennya ada di awal abad ke-20. Saat itu, meluasnya pembudidayaan membuat produk kedelai banyak dipasarkan dan dikonsumsi. Jika di Jawa Tengah dan Jawa Timur tempe menjadi produk paling umum dipasarkan, maka di Jawa Barat oncom banyak dikonsumsi masyarakat Sunda.
Tidak hanya nikmat disantap, kisah sejarahnya juga menarik diingat kembali. Nama Garut di dunia internasional yang mashyur dengan julukan ”Paradijs van Het Oosten” atau ”Surga dari Dunia Timur”, tidak bisa lepas dari kiprah Nyonya Van Horck, istri pemilik Hotel Van Horck di Garut. Keahliannya memasak kuliner lokal yang dihidangkan dalam sajian rijsttafel di awak abad ke-20 menjadi modal utamanya.
Rijsttafel berasal dari kata rijst yang berarti nasi dan taffel yang artinya meja atau makna kiasan dari hidangan. Dalam penyajiannya, disediakan belasan hingga puluhan menu makanan.
Untuk menemani nasi, ada makanan khas, seperti pepes ikan, pepes jamur, hingga lotek. Ada juga sajian fermentasi tradisional lainnya seperti ulukutek (oncom) leunca sambal terasi.
”Kue-kue khas Parahyangan seperti dodol garut hingga bandros," tulis Haryoto Kunto dalam buku Seabad Grand Hotel Preanger 1897-1997.
Meski sederhana, kata Fadly, lalap ikut menyelamatkan banyak orang dari masa sulit akibat Perang Dunia II.
Dalam sebuah buku masak yang diterbitkan oleh Departement van Oorlog (Departemen Perang) tahun 1940, Kookboek ten dienste van menages in het garnizoen en te velde(buku masak untuk pelayanan makan di garnisun dan di lapangan), kangkung dan genjer yang biasa jadi lalap dianjurkan untuk dikonsumsi saat masa perang.
Selain itu, lalap juga menjadi penyelamat saat krisis ekonomi menjelang berakhirnya kekuasaan kolonial. Hal itu tertulis dalam artikel terbitan tahun 1949, ”Indonesische groenten alss urrogaat voor Hollandse taffel (sayur-sayuran Indonesia sebagai pengganti hidangan Belanda)”.
Di zaman Indonesia tengah menjadi bangsa yang disegani, giliran makanan fermentasi mencuri panggung lewat Konferensi Asia Afrika 1955 lewat sajian colenak bikinan Murdi Putra.
Kudapan itu dibuat dari peuyeum (tape), fermentasi singkong, yang dibakar. Penyajiannya ditambahkan gula aren dan kelapa.
Boleh jadi tekstur lembut dan rasa manis menjadi pilihan netral bagi ajang internasional itu. Tercatat ada 29 perwakilan negara Asia-Afrika yang hadir dalam acara itu.
Selain itu, tidak menutup kemungkinan ada pertimbangan politis penguasa saat itu. Singkong kerap disebut simbol makanan merakyat. Namun, saat dijadikan colenak, makanan ini ternyata disukai oleh orang kaya Bandung saat itu.
Dalam buku Behind the Scenes : Story of The Bandung Conference Committee, Sulhan Syafii mengatakan, setelah menjadi salah satu sajian dalam KAA, colenak Murdi Putra kian ternama. Banyak surat kabar menulis tentang kehebatan colenak terlibat dalam KAA.
Kini saat pandemi menguasai bumi, ragam sajian di atas kembali naik daun. Seiring tren hidup sehat dan diet semasa pandemik, menu makanan Sunda kerap jadi rekomendasi.
Dimasak dan disajikan segar tanpa minyak dan gula berlebihan, kuliner Sunda semacam lotek hingga gado-gado jadi rekomendasi restoran sehat yang bermunculan di banyak daerah. Makanan fermentasi seperti peuyeum juga direkomendasikan karena baik untuk metabolisme dan pencernaan.
Dalam berbagai kesempatan, praktisi gaya hidup sehat Ade Rai juga merekomendasikan makanan Sunda untuk asupan makanan sehat. ”Selain lalapan dan pepes, sambal dadak yang dibuat dengan bahan segar jadi pilihan tepat,” ujarnya.
Selain itu, di tengah gempuran kuliner luar negeri, menu tradisi tetap punya taji. Seto membuktikannya saat melahirkan menu coletot awal Desember 2021.
Ia memadukan makanan khas Jabar, yaitu colenak, dan kuliner khas DIY, gatot. Keduanya berbahan dasar singkong.
Penamaan colenak merupakan lakuran dari kata ”dicocol enak”. Terbuat dari peuyeum, kudapan ini disantap dengan dicocolkan pada gula merah cair bercampur kelapa serutan. Seperti colenak, pembuatan gatot juga melalui fermentasi singkong.
Nama coletot dari Gubernur Jabar Ridwan Kamil. Ia mencicipi inovasi kudapan itu saat meresmikan Jabar Motekar bersama Ketua Perhimpunan Usaha Taman Rekreasi Indonesia DI Yogyakarta Gusti Kanjeng Ratu Bendara.
”Saya kasih nilai sembilan. Ini hasil kolaborasi dua makanan khas daerah yang dieksekusi dengan baik. Rasa manisnya pas. Coletot ini lahir dari gabungan dua budaya. Rasa bintang lima, harga kaki lima,” ujar Emil, sapaan Ridwan Kamil.
”Saya kasih nilai 9,5 kalau ada porsi tambahan,” ucap GKR Bendara disertai tawa. Tawa yang bisa jadi meluluskan coletot sebagai kuliner pemersatu dua budaya.
Kekayaan kuliner tanah Parahyangan lebih dari sekadar nikmat. Ada rasa bangga dalam setiap cita rasanya. Supercepat atau butuh waktu lebih lama bukan masalah utama.
Baca juga : Kisah dari Jabar Sarat Pesan yang Terus Menghidupi